Chereads / BERSEMAYAM DALAM DOA / Chapter 19 - Dua Wanita Mencintai Satu Pria

Chapter 19 - Dua Wanita Mencintai Satu Pria

Bulan dan madu...sebuah kata yang bila dipadukan menjadi dua suku kata yang menggambarkan keindahan mendekati lereng-lereng surgawi. Bulan yang tinggi, dipandang dari kejauhan dengan gagah memamerkan cahayanya yang temaram keemasan serta madu yang kaya akan manfaat dan kemanisan yang luar biasa.

pernahkah ada yang terfikir bahwa bulan yang indah tersebut tidak semulus kelihatannya. Torehan-torehan permukaan merupakan luka yang berusaha ditutupi dengan cahayanya yang menumpang dari lawannya. Lalu, dimana kenikmatan madu itu, bila lidah terasa kelu saat terus-menerus mengecapnya. Aku menikmatinya, menikmati tiap detiknya yang beradu dengan goncangan dan aroma yang kadang terlalu menusuk hidungku. Masa indah tanpa kecacatan itu hanya sementara, sekejap mata dan kini telah berlalu dan menghilang. aku menikmati bulan dikala malam dan hati yang sendu, mengecap madu sedikit saja agar lidahku tak mati rasa.

Kehidupan sebenarnya dimulai dari sini, saat bulan madu tak lagi seindah kemarin.

dr. Erlinda Usman, Sp. OG.... kutatap lekat-lekat papan nama yang bertengger dimeja kayu dihadapanku. Fatih meremas jemariku yang terasa kaku dan dingin, kutatap matanya dan dia memberiku senyuman yang menghalau kegelisahanku.

"Selamat Bapak akan segera menjadi seorang ayah"

air mataku luluh seirih takbir dan Hamdallah yang terucap dari bibir suamiku.

"Bagaimana keadaannya dok" Fatih kembali fokus.

"Usia Kandungan sekitar 6 minggu, janin berkembang sehat namun melihat kondisi rahim ibu mira maka saya sarankan agar Ibu mengurangi kegiatan yang berat, banyak istirahat dan tidak lalai dengan vitamin dan susu"

aku menekankan tatapanku pada Fatih, menembus fikirannya mungkin tak bisa kulakukan, tapi ,menebak ekspresinya adalah suatu kebiasaanku.

aku dan Fatih akan menjadi orang tua, ah aku mengelus perutku yang masih rata.

disana, ditempat yang kadang terasa seperti diaduk-aduk itu tengah hidup buah cinta kami, buah dari manisnya bulan madu kami yang sebenarnya lebih tepat dibilang pulang kampung atau bagi ibuku itu adalah liburan keluarga.

tapi lihatlah, bulan madu bisa dimana saja bukan??

aku tersipu, mengingat malam yang mana yang berhasil membuat anak ini menempel didinding rahimku.

Fatih meraih tanganku, aku menoleh. tepat pada segaris senyum yang melintang diantara wajahnya yang putih.

***

Fatih sibuk dengan handphonenya sejak pagi tadi, aku sedikit kecewa dengan perlakuannya padaku. bukankah seharusnya dia melarangku membuat sarapan??

dokter bilang aku tidak boleh capek. lalu mengapa dia diam saja bahkan saat aku mengangkat pakaian kotor yang akan dijemput laundry.

aku menatapnya kesal, dia hanya mengabaikan gerutuanku dan malah asik dengan layar ponselnya.

"aku mau kerumah mama..." geramku sambil merampas ponsel yang sejak tadi lebih diperhatikannya.

"sekarang?" aku diam saja.

"kamu lebih cinta sama ponsel ketimbang aku, buat apa aku disini."

Fatih terkekeh sambil berdiri. tangannya meraih kedua lenganku lalu menatapku dengan tatapan yang...ah membuat jantungku berdebar. kutepis tangannya lalu berbalik, aku tak mau Fatih melihat wajahku memerah karena rasa cintaku yang meluap untuknya.

"Umi sedang dalam perjalanan ke Jakarta" tubuhnya kini menempel bagai cicak dibelakangku.

aroma mint semakin kuat menusuk hidungku. aku menyukai aroma itu sejak beberapa hari lalu, atau mungkin sejak aku menjadi istri lelaki pencinta ponsel ini.

"Umi? kamu bilang Umi yah"

"iya...Buya juga, mereka gembira mendengar kamu sudah hamil sayang" aku berbalik, kini kami saling berhadapan. Fatih memberikanku senyumnya yang manis, namun entah mengapa berita tadi tidak membuat hatiku bahagia, rasanya seperti ada yang mengganjal dihatiku. aku menarik nafasku dalam-dalam.

Bukan sesuatu yang salah jika mertuamu datang mengunjungimu...

tapi, aku belum terlalu mengenal watak mereka, apakah mereka bisa menerima keadaanku yang manja dan, lagi-lagi aku teringat gadis impian mertuaku...aku jauh darikriteria itu mengingat gadis pujaan mertuaku adalah sahabatku yang paling sempurna sisi wanitanya.

"apa yang harus kita siapkan?"

Fatih tidak menjawab, kali ini dia sibuk dengan laptopnya. aku penasaran dan menghampirinya.

"ada hal yang mendesak?" tanyaku seraya melongo kelayar laptopnya.

"mahasiswa bimbingan, minggu depan dia sudah harus seminar" jawab Fatih ringkas seraya menggeser laptopnya karena terhalang kepalaku.

"jadi? apa yang harus kita siapkan, pesan makanan diluar atau kita makan malam diluar saja?"

tanyaku lagi, namun belum mendapat respon dari Fatih.

"oh iya, Umi sukanya makan apa ya? aku rasa kalau makanan padang pasti bosankan?" cecarku, lagi-lagi Fatih diam seribu bahasa, dan sibuk dengan laptop dan buku ditangan kirinya.

aku mulai geram, kurampas bukunya lalu kubuang dilantai. Fatih berdiri dan mengeram. lalu dia memejamkan matanya dan menarik nafas dala-dalam, seolah-olah menahan sesuatu yang sangat berat.

"ada apa ini Mira?"

"kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, kamu lupa aku juga dosen sepertimu, tapi aku juga mengerjakan segalanya untuk keluarga kita padahal kondisiku sedang hamil..." suaraku lantang dan tinggi.

"kamu dosen dan kamu taukan tugasseorang pembimbing?"

"ya Muhammad Al Fatih aku tau dan sangat tau, tapi aku bisa menjalani keduanya dan memisahkan keduanya"aku mendelik.

fatih diam dan kembali duduk, memalingkan wajahnya beberapakali lalu memegang kedua tanganku.

"baiklah, umi bukan orang yang suka sesuatu yang berlebihan, siapkan apa adanya saja..."

"bagaimana kalau dia menganggapku meremehkannya."

"Mira, jangan berburuk sangka pada umi, dia sangat menghargai apapun yang kamu lakukan" Fatih melepas genggamannya.

"harusnya memang begitu, karena mengurus anaknya saja bukan suatu hal yang mudah"

aku melengos dan berlalu.

tidak, bukan seperti ini pernikahan yang kumau.

aku bukan wanita biasa yang tugasnya mengerjakan urusan rumah tangga yang sepele namun menggerahkan ini.

aku seorang wanita karir yang mandiri finansialnya.

sudah seharusnya kami mengerjakan pekerjaan rumah tangga ini berdua.

aku hamil muda dan rahimku tidak begitu kuat, bersama itu romantis pula. ah, tak ada ibunya saja aku dibiarkan mengerjakan semua sendiri apalagi kalau ada ibunya.

"sayang" Fatih melongo didepan pintu, lalu melonyor kearahku dan menghambur kepelukanku.

"maaf, maaf, maaf" ujarnya, tiba-tiba senyumku turun kebawah bak tertarik gravitasi, hatiku berair dan membanjiri mataku hingga basah dan tumpah.

semudah itulah aku marah pada suamiku, semudah itu pula semua masalahnya selesai, semudah itu juga keadaan membaik, semudah aku meneteskan air mata.

***

matanya mengitari meja persegi yang dipenuhi makanan sederhana hasil karya tangan aku dan suamiku. manik hitam itu begitu tajam dan penuh menunjukan otoritasnya dan ketegasannya.

tangannya yang keriput meraih sendok dan menghirup sup daging buatan suamiku. kami menahan nafas, bagai peserta kompetisi menanti penilaian juri.

matanya menari liar sesaat setelah kuah sup itu menyentuh lidanya. sundok ditangannya kini diletakkan dengan malas dipiring putih yang berkali-kali ku lap dan kupastikan ke higenisannya. beliau menarik nafas panjang lalu menatap tajam pada Fatih sebelum menatap abah.

"angku lelaki, kapala rumah tanggo. patut kironyo angku menghidupkan kompor?"

dia berdiri dan menggeser kursinya.

"umi nak bicaro ampat mato, Mir?" tiba-tiba malam itu menjadi dingin. aku menatap Ftih penuh tanda tanya.

ada apakah ini?

aku, seorang wanita mandiri yang memegang ototritas diriku sendiri dengan teguh dan percaya diri. sejak kecil tak ada satupun yang ku izinkan mengatur hidup dan pola fikirku kecuali Allah SWT yang mengatur hukum dihidupku melalui ayat-ayat Al Qur'an dan Hadits nabi Muhammmad SAW serta pemerintah.

kini lihat wanita ini seperti Ibu Suri yang memanggil dayang-dayangnya yang berbuatsalah dan siap mengeksekusinya.

Hellaawww.... sedang bermain drama apa kita sekarang?

aku menyusul Umi yang telah duduk melipat kedua tangannya diatas dada-dada. meliriku sekilas lalu menghempaskan pandangannya kesembarang arah

Allahu, siapakah gerangan wanita ini

"ada apa Umi?"

dia menatapku lagi sepertimeremehkanku atau justru geram padaku, entahlah aku tak paham.

"kamu tau derajat suamimu?" suaranya tegas dengan logat bahasa yang terdengar dipaksakan.

aku diam saja, aku berencana mengikuti alur pembicaraan yanga kan dibuatnya.

"surga dan nerakamu sekarang tergantung padanya" tegas dan membanting.

aku masih diam, belum memiliki bahan untuk menyanggah.

"Umi mengajarkan anak umi, laki dan perempuan semua harus pandai memasak untuk bekal mereka ditanah rantau" nafasnya tersengal.

"BUKAN UNTUK MENJADI PELAYAN ISTRINYA"

suaranya bergetar hebat, namun jangan kira aku gentar.

"pelayan? siapa?" aku berusaha tenang.

"kamu tau mengapa tadinya dia bukan untuk kamu"

aku mulai terpancing, apa maksudnya bukan untukku.

"karena wanita yang modern kerap tidak sadar kodratnya, tidak tau adatnya, tidak paham menempatkan posisinya"

perut bagian bawahku, tiba-tiba nyeri, kepalaku semakin berat.

apa beliau bilang, aku tak tau adat???

"maaf umi, maksud umi apa?" kuabaikan rasa sakit yang kian membuncah itu.

"kamu menikah bukan diusia anak-anak lagi, sudah dewasa bahkan...kamu harus tau dimana kamu harus meletakkan kehormatan suamimu"

aku menelan ludahku yang kian terasa kental, tapi aku harus membuat umi meralat ucapannya. bagaimana mungkin Umi tiba-tiba memvonisku tak tau diadat. tapi bibirku tak dapat mengucapkan sepatah katapun, pandanganku justru kian menggelap.

"kamu ingat satu hal Mira, sebelum kamu menjadi wanita suamimu, ada wanita lain yang lebih dulu mencurahkan segenap cintanya untuk suamimu. memberikan hidupnya untuk suamimu,mengabdikan hidupnya untuk suamimu. kalau kamu tak bisa menghargai suamimu, maka wanita itu akan membelanya walaupun nyawa taruhannya"

aku tak peduli lagi dengan kata-kata Umi, kini isi perutku terasa akan tumpah.

"Wanita sudah pernah bertaruh nyawa untuk Fatih, tidak mungkin kubiarkan orang lain mengacungkan hidupnya"

ini salah paham, batinku...

fatih kemana kamu, bela aku....

aku berusaha berdiri,namu gagal dan aku rubuh.

"Mira...,........" pekik Umi sambil menyanggah tubuhku.

"Umi..." bisikku lalu semua menjadi gelap dan sunyi.