Chereads / BERSEMAYAM DALAM DOA / Chapter 17 - Pernikahan?

Chapter 17 - Pernikahan?

Hari kian petang, aku merasa ada yang mengganjal dalam hatiku. Tidak, ini bukan tentang keyakinanku yang menghilang tapi justru keyakinan calon imamku yang kupertanyakan. Satu jam yang lalu dia mengatakan akan datang Ba'da Maghrib, tapi kini dia selalu menanyakan hal-hal yang membuatku merasa bahwa ada keraguan dihatinya.

Bahkan kami telah menunda rencana luar biasa ini selama seminggu, itu juga atas permintaannya. Dia kini jadi rajin mengunjungi Nizam dan Nailah, kadang malah bukan denganku, dengar itu??? Bukan denganku, tapi bersama wanita yang paling kucemburui, Hanna Al Hamid. Air mataku menetes tiap kali aku mengingat itu, kemarin aku diberi tau Hanna sendiri bahwa dia mengajak Nizam dan Nailah ketaman bermain bersama Fatih. Hufft Nafasku terasa berat. Ini kah cobaan menghadapi pernikahan, atau ini petunjuk dari Rabb-ku bahwa Fatih bukanlah jodohku.

Aku masih saja duduk didepan cermin sejak berjam-jam yang lalu, berbalas pesan dengan orang yang menawarkan diri untuk menjadi imamku.

"Mengapa selalu bertanya tentang Nizam?" Aku mengirim pesan padanya. hatiku geram tiap membaca pesan darinya.

"Aku khawatir akan masa depannya" Balasnya.

"Dia punya keluarga, punya papa. Dia bukan tanggung jawab kita"

"tidakkah hatimu iba melihatnya" jariku lemas saat membaca pesan itu. Ponsel yang semula mantap digenggamanku kini telah terhempas dilantai.

Iba...aku iba, Fatih. Tapi apa yang harus kulakukan,,,

Haruskah aku menjadi ibu anak tersebut???

Lalu maukah kau menjadi ayahnya...

Apakah kita harus mengadopsinya....

Atau jangan-jangan hatimu tidak sekeras baja dalam menginginkanku???

Drrrtttt... sebuah pesan masuk lagi. Ponsel itu bergoyang-goyang dilantai. kulirik sekilas, "SUA" kuambil ponsel itu lalu ku simpan di laci nakas tanpa kulihat lagi pesannya. Aku tak ingin memulai pertengkaran dengannya, sementara aku sudah menyiapkan rencana untuk membungkam mulutnya. Tidak aku akan menjebaknya, aku tak peduli walau caranya menjijikan.

***

Usai Shalat Ashar aku turun melihat persiapan keluargaku. Mama sibuk dengan masakannya yang khusus dimasak sendiri. Sementara Papa asik ngobrol dengan Uwak Risman, Kakak tertua Papa dan Om Agusta suami Tante Atia. Tante Atia adalah adik bungsu Papa, kuliah dan bekerja di Spanyol sampai akhirnya bertemu Om Agusta. Lelaki yang memberinya mahar terindah seperti Abu Thalhah memberi mahar kepada Ummu Sulaim. Om Agusta memiliki nama Islam Umar, tapi aku, Kak Dira dan semua sepupuku lebih suka memanggilnya Om Agusta.

"Assalamu'alaikum...." aku menoleh sumber suara. Hanna dan Sarah datang dengan membawa plastik belanjaan.

"Walaikumsalam..." Bibi Atia menyambut mereka, seraya berbincang karena cukup lama tak bertemu. terutama dengan Sarah, ah, keduanya heboh sekali kalau ketemu.

Hanna berjalan kearahku meninggalkan dua insan terheboh didunia itu melepas rindu dan berbagi kisah kehamilan karena keduanya memang tengah mengandung.

"aih, aih....kok belum dandan..." Hanna meledekku.

"hemh, kamu ih" aku mencubit pipi Hanna dan dibalasnya mencubit pinggangku.

"kekamar aku aja yok"

"eh, aku mau bantuin mama, tau..." balasnya melengos.

"eh, eh, gak usah, kalian kekamar aja. biar urusan dapur kami yang tangani" Bibi Atia menyela.

aku menarik kedua sahabatku untuk kekamar, aku ingin berbagi keresahan dengan mereka. mungkin didunia ini, dalam beberapa hal mereka lebih mengenalku daripada keluargaku sendiri.

"kok kamu pucat sih Mir, bukannya harusnya bahagia"

"kamu gak bareng keluarga Fatih Han?" Hanna menghempaskan dirinya diranjangku, wajahnya terlihat sedikit gusar, ah, aku jadi lebih gusar. Mungkinkahhatinya terluka karena ini?

"gak Mir..."

"kamu kenapa Han? Kok, kayak ada masalah gitu?" aku mengejar informasi darinya.

"Hanna lagi jatuh cinta Mir, tapi dia takut sama kamu"

"Apa" aku terkejut, jatuh cinta dan dia takut padaku?

Jatuh cinta pada siapa? Tubuhku jadi menggigil karenanya.

"Sarah apa-apaan sih" Hanna membungkam mulut Sarah.

"tunggu dulu, jangan bilang kalau...." Aku menggeleng-geleng.

"iya Mir, tebakan kamu benar" Sarah lolos dari bekapan Hanna. Mulutku membulat utuh mendengar kata-kata dari Sarah. Aku menatap Hanna menghakimi.

"beberapa hari intens sama dia aku jatuh hati padanya, tapi jangansalah faham dulu, aku hanya jatuh cinta pada anaknya bukan bapaknya ya..." Hanna berusaha menjelaskan. Aku mengernyitkan dahi tak mengerti tapi aku menolak bertanya karena khawatir Hanna dan Sarah jadi tau kalau aku mencurigainya.

"udah ah jangan bahas, jadi mana gaun yangb akan kamu pakai untuk malam nanti?" Hanna mengalihkan pembicaraan kami. Sarah dengan segera lupa tentang yang kami bicarakan tadi dan segera menuju lemari pakaianku, memilih-milih baju yang harus aku kenakan nanti malam.

" yang ini bagus juga, eh tapi yang ini juga, aduh yang mana yah..." aku dan Hanna tertawa melihat tingkah Sarah yang bingung sendiri. Itulah Sarah, wanita yang akan menjadi ibu itu terkadang justru seperti anak kecil. Ah, bagaimanapun diantara kami dialah yang akan lebih dulu menjadi seorang ibu, wanita seutuhnya.

***

Usai Shalat Maghrib bersama, Sarah dan Hanna ikut aku kekamar. Menghiasi wajahku dengan make-up sederhana. Kupandang lagi wajahku dicermin, "it's time" Batinku.

Dira tiba-tiba masuk, wajahnya agak masam.

"Bang Ridho dan temannya udah dating, jadi gimana ni?"

"Alhamdulillah..." aku menarik nafas dalam-dalam.

Terdengar suara kendaraan agak ramai dibawah, Sarah segera mengintip.

"Mir, Fatih ama keluarganya udah dating" soraknya. Hanna berlari kedekat jendela, lalu kembali kedekatku dengan wajah yang sumringah. Dia memelukku erat, matanya sampai berkaca-kaca.

"Mir, ini akan jadi urusanmu dengan Bang Ridho, Kakak gak mau ikut campur lagi" aku mengangguk, Dira mengecup pencak kepalaku lalu keluar.

"Mir, ayo ganti baju, yang mana" Sarah mendesakku.

"kalian duluan saja...nanti aku akan turun kalau sudah waktunya."

"Loh gak bisa gitu dong Mir, kita damping kamu kebawah dong" Hanna memprotes.

"Han, Sar percaya aku deh, nanti kalau aku disuruh turun baru kalian jemput aku." Sarah dan Hanna saling toleh lalu mereka menatapku bimbang.

"iya deh..." mereka mengalah dan meninggalkanku seorang diri dikamar.

Aku menatap wajahku lagi dicermin, lalu membuka laci meja riasku, seuntai melati tersimpan disana.

"maukah kamu?" sebuah tanya mendesak dalam dadaku.

Kukeluarkan sebuah busana yang terbungkus plastik, sebuah kebaya berwarna putih dihiasi batuan disana-sini. Sederhana namun elegan, segera kukenakan lalu kusematkan melati dijilbaku. Kutatap lagi wajahku dicermin.

"Fatih, mau kah kau?"

Ku ambil Handphoneku yang tersimpan dinakas. Kulihat ada 5 pesan dari Fatih. Kuabaikan. Lalu kudial nomer Fatih yang kuberi nama SUA, tak lama Fatih menangkatnya.

"Assalamu'alaikum Mir, ada apa?"

"kamu sudah melamarku?" desakku.

"Buya sedang bicara sama Papa, kenapa? Kamu gak turun?"

"mereka butuh jawabanku kah?"

"mereka tidak butuh karena sudah tau, mana mungkin kamu menolakku" suara Fatih sedikit berbisik hatiku sedikit berbunga dibuatnya.

"tidak, jawabanku kini berbeda, kalau tepat waktunya tolong speaker telponnya, biarkan orang lain mendengar"

"Mira, apa-apaan sih kamu kenapa" suara Fatih membesar kali ini.

"Fatih ada apa?" suara seorang wanita diseberang sana.

"speaker sekarang" perintahku.

"Mir..." Fatih menghiba

"sekarang Faith" faith mengalah.

"sudah" ucapnya pelan.

"saya Al-mira Binti Bukhori, saya menolak pinangan Muhammad Al-Fatih"

Suara riuh rendah terdengar diseberang sana, ada yang beristighfar ada pula yang nertanya-tanya.

"Mira..."faith berteriak.

"Kecuali satu hal"

"kecuali apa Mira, cepat katakana" Fatih mendesak.

"kecuali kamu bersedia menikahiku mala mini juga."

Suara riuh rendah dan komentar kembali terdengar diseberang sana.

"Mira, pernikahan butuh persiapan, butuh mahar, butuh penghulu, dan harus didaftarkan"

Tok...tok...tok... seseorang mengetuk pintu kamarku.

"Mir, buka Mir..." Hanna dan Sarah rupanya.

"beri aku mahar yang kamu mampu, uang 10.000 rupiah saja, kamu punya kan. Kita daftarkan nanti saja, asalkan sah secara Agama. Syarat nikah sudah ada dibawah semua bukan, wali, saksi, mempelai laki-laki dan penghulu."

"Penghulu??"

"emh, ya... Pa, Ma, Semuanya... teman saya ini sebenarnya adalah seorang penghulu, Mira yang Minta" Suara Bang Ridho terdengar gemetar.

"Ridho,,,kamu" papa membentak bang Ridho.

"ya Mir, aku akan melakukannya, dengan mahar 10.000 rupiah yang kamu minta" Fatih mematikan panggilanku.

Air mataku menetes, haru dan bahagia bercampur aduk didalam hatiku. Ku lihat jam didinding kamarku, Jam delapanmalam lewat lima menit. Ku hapus air mataku lalu kubuka pintu kamarku.

Hanna dan Sarah yang kini sedang bertengger di tangga menolehku.

"luar biasa kamu mira..." Sarah bergumam sambil kembali melihat kebawah.

Akupun melihat kebawah, Fatih menolehku sebelum menjabat tangan Papa.

Mama menggaruk-garuk keningnya, sambil tersenyum kaku pada Umi. Mungkin Mama merasa malu dengan kelakuan anaknya yang mendesak minta dinikahi. Ah, biarlah Ma, sebentar lagi aku menjadi istri orang, orang yang mama sukai pula.

Mereka beristighfar tiga kali dipimpin penghulu lalu Papa menarik nafas panjang dan...

"Saudara, Muhammad Al Fatih Bin Zainuri Zein saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putrid saya yang bernama Almira dengan mas kawin berupa uang sebesar 10.000 rupiah, tunai"

Papa menghentak jabatannya.

"SAYA TERIMA NIKAHNYA DAN KAWINNYA ALMIRA BINTI BUKHORI DENGAN MASKAWINNYA YANG TERSEBUT TUNAI" suara Fatih terdengar keras dan lantang.

Semua mengangkat tangan dan menadah do'a. air mataku tumpah, Sarah dan Hanna menghambur kepelukanku.

Ya Rabb inilah pintaku, inilah impianku, mengikuti sunnah Rasul-Mu.

Ya Rabb, sucikanlah pernikahan ini, muliakanlah cinta kami...

Anugrahkanlah keturunan yang Shaleh dan shaleha untu kami...

Yang menegakkan panji Agama-Mu....

Mama berjalan menujuku, melambai-lambai agar kami turun. Sarah dan Hanna menggandengku, air mata tak juga berhenti mengucur kepipiku. Aku tersenyum, tapi aku tak yakin keindahan senyumku itu.

Aku melihat Papa, tinjunya diangkat padaku.

"awas kamu ya..." bisiknya seraya menepuk pundakku. Aku tak lagi bias menahan tawaku.

Aku menunduk dihadapan Fatih, tak berani menatapnya. Aku tak berani membayangkan ekspresi wajahnya.

"cium tangan suamimu nak..." aku mengankat wajahku, kulihat Umi tersenyum padaku.

Pandanganku bergeser sedikit, Fatih tersenyum riang, riang sekali.

Dia menyodorkan tangannya padaku. Aku bingung tapi dia mengangkatnya lagi.

Kusentuh tangan putih itu, ini pertama kalinya kami bersentuhan setelah sekian lama saling mengenal. Tangannya hangat, dan besar sehingga tanganku tenggelam dalam tangannya.

Kukecup bunggung tangannya, harum seperti wangi surga, ya, di tangannyalah surga dan nerakaku. Fati membisikan sebuah do'a dipuncak kepalaku, lalu mengusapnya. Ah, dia tidak segera, menciumku seperti di sinetron-sinetron.

Kami berkeliling menyalami semua yang ada malam itu, memohon do'a restu dari mereka. Sampai suatu ketika mataku menangkap sesuatu yang ganjil. Aku terpaku pada tempatku berdiri, tubuhku menolak untuk bergeser.

"aku yang mengundang mereka, sayang" Fatih berbisik ditelingaku.

Aku berbalik menatapnya penuh tanya.

"kenapa?" tanyaku.

"karena mereka menyayangimu, dan..." Fatih menunjuk kesuatu arah, aku mengikutinya. Hanna tengah menyuapi Nizam. Aku menutup mulutku, ah Hanna...mungkinkah???

Mas Fandy menghampiri kami, beruluk salam lalu memeluk Fatih. Sementara Nizam memelukku. Aku melirik Hanna yang dari jauh ternyata mengamati kami. Aku tersenyum penuh arti padanya. Dia mengulum senyumnya lalu menunduk malu.

Ah, manisnya bisik hatiku.

***

Pukul Sembilan malam, setelah Shalat Isya bersama dan makan malam semua tamu pulang. Aku masuk kekamarku, faith mengikutiku dari belakang.

"eh, kenapa..." aku menahannya didaun pintu.

"aku mau masuk" ujarnya sedikit mendorongku"

"tapi..." aku ingin mencegahnya tapi mendengar seseorang berdeham dibelakang Fatih. Om Agusta, tersenyum penuh arti pada kami lalu berlalu. Aku terpaksa membiarkan Fatih masuk.

"ini kamar pengantin kita" ujarnya mengamati isi kamarku.

"Fatih, maksudku....emh"

"kenapa??" Fatih menatapku bingung.

"bukankah kamu seharusnya pulang dulu, kita belum resmi secara hukum"

"Mira, Sayang...kamu yang memintaku menikahimu malam ini, lalu..." aku menunduk membelakangi Fatih. Haruskah aku berbagi kamar dengannya sekarang? Ah, tidak aku tidak siap.

Fatih memelukku dari belakang, mengecup leherku yang masih terbungkus hijab. Aku merinding sejadi-jadinya. Faith membalik tubuhku dan memelukku lagi lalu mengecup keningku.

"ku kira kau ingin aku segera menikahimu karena kau tak sabar untuk ini" aku menengadahkan kepalaku.

"ah, Fatih, jangan berpikir macam-macam" aku menempeleng kepalanya dengan pelan.

"lalu...jujur saja saying, aku ini suamimu" dia menggodaku lagi.

"aku takut kamu berubah pikiran" jujurku meneteskan air mata.

Fatih mengangkat wajahku.

"bila aku ditakdirkan jatuh cinta dua kali, maka itu hanya untuk mencintai jiwamu dan ragamu" dia mengecup bibirku. Aku menutup mataku, menikmati kehangatan cinta yang diberikannya.

"kita Shalat Pengantin dulu yuk" Ucapnya. Aku membuka mataku tersipu karena dia menjauh dariku sementara aku masih menikmati rayuannya.

Dia, lebih mencintai Rabb-nya dari pada aku.

Aku bahagia..............

Taukah kamu apa itu pembuktian cinta...???

Sebuah kalimat untuk mengikatmu kedalam perahu menuju surga.

Sebuah kalimat sakti perjanjian dia dengan Pencipta mu

Bahwa dia menerima Ijab yang di ucapkan oleh walimu...

"Malam ini, aku tidur didekapanmu, terlelap satu selimut dengamu, menunggu pagi menjemput, saat burung-burung berkicau berbagi kabar, kau suamiku"