mataku nanar melihat noda merah kental itu, kutegakkan wajahku hendak menyeru Dira agar lekas tancap gas, tapi yang kudapati adalah Nizam yang lekat menatap telapak tanganku yang kian banjir oleh darah yang mengalir dari telinga ibunya.
kutarik segera tanganku, dia menolehku lalu kuberikan senyuman setipis mungkin. datar...dia kembali menoleh kedepan sambil meraih kepala Nailah kepundaknya. aku merasa bersalah atas tindakanku yang panik sehingga darah itu terlihat olehnya. aku membeku menatap lurus kedepan, pada jurang-jurang dalam yang harus dilalui dua manusia yang masih lugu memandang dunia. ah, bisa saja aku yang terlalu naif memandang mereka, sedang apa yang mereka lalui jauh diluar batas yang dapat kubayangkan.
kami tiba dipelataran rumah sakit, Dira lekas keluar dan memanggil beberapa perawat yang kemudian membawa brancard. sejurus kemudian membawa tubuh lunglai Kak Rina masuk keruang IGD. Jantungku berdebar tak karuan, rasanya akan meloncat keluar. ku dekapkan kedua tanganku diwajahku, mengacak-ngacak wajahku dengan frustasi. apa...apa yang harus kulakukan.
Nizam tampak menelpon seseorang dengan handphone ibunya, sementara Nailah pulas dipangkuan kakakku. Saat seperti ini aku tak bisa terus begini aku harus menguasai keadaan, demi Nizam dan Nailah. aku tak bisa terus panik yang tak menimbulkan keuntungan sama sekali. tak membantu apa-apa.
Jariku mendial sebuah nomor telpon seseorang yang harus kuhubungi, seseorang yang bisa menenangkan jiwaku yang amburadul, porak poranda atau apalah namanya.
"Assalamu'alaikum Mira" suara Fatih diseberang sana segera menenangkanku.
"Walaikumsalam" jawabku gemetaran
"kamu kenapa Mira?" dia mulai panik.
"Fatih, temani aku dirumah sakit" rengekku.
"Rumah Sakit? kamu sakit Mir?" Fatih lebih panik lagi.
"bu...bukan,, bukan aku Fatih tapi Kak Rina?"
"Kak Rina siapa Mir?"
"ah, kamu mau nemenin atau gak sih? kok malah kayak wartawan banyak tanya"
"eh maaf...iya iya, sms alamatnya yah, aku kesana sekarang, Assalamu'alaikum"
"walaikumsalam"
aku segera mengirim alamatnya, lalu hatiku tiba-tiba kembali risau bagaimana bila Fatih salah paham lagi padaku, aku tak ingin ada yang merusak kebahagiaanku dengan Fatih.
***
setengah jam berlalu, dokter tak juga keluar, hanya seorang suster saja yang keluar memintaku mengurus administrasi. Nizam mulai lelap dipangkuanku, keringat mengucur didahinya. sungguh aku menyayangi anak ini, mengagumi sikap dan sifatnya.
Aku bahkan tak yakin apakah dia benar-benar terlelap atau hanya sekedar bersembunyi sementara. Dahinya berkerut seperti terus berfikir keras, dan segera membuka mata saat ada langkah kaki yang mendekat. kuelus ubun-ubunnya berharap dapat memberikan sedikit saja ketenangan dibatinnya.
"Assalamu'alaikum...."
"Walaikumsalam.." dua suara itu bersahutan, dua suara yang sangat kuhafal.
"Papa..." Nizam terjaga dan menghambur kepelukan Mas Fandy.
aku berpaling pada sosok lain yang tampak sedikit terkejut.
"Fatih...emhh..." gumamku salah tingkah.
eh...mengapa aku salah tingkah...aku bukan penjahat yang kepergok melakukan kejahatan. Tapi entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang salah disini, Mas Fandy, ya...ada nya Mas Fandy diantara kami, itulah yang salah.
dokter keluar dari ruang IGD, wajahnya masam seperti belimbing. bibirnya kering dan tak jelas warnanya.
"Ibu keluarga Pasien Nisrina?" dia berkata padaku.
"saya suami pasien dok" serobot Mas Fandi seraya melepaskan pelukan Nizam.
"mari ikut keruangan saya" keduanya melangkah menjauh lalu tenggelam pada ruang kecil dipojok sana.
aku menatap Nizam, matanya mengerdip seperti berkata " jangan cemas tante, i'm okey"
aku meringis dibuatnya, seluruh persendianku terasa ngilu.
"Nizam, sudah berdo'a buat ibu?" Fatih menepuk pundak Nizam.
"oh iya, Nizam lupa Om..." dia menepuk dahinya.
"Om mau membantu Nizam mendo'akan ibu?" kali ini sepasang tangannya bertaup menghiba.
Fatih menganggul lalu menggendong Nizam.
"Nah, tante cantik kami berdo'a dulu yah" aku tersipu digoda Fatih seperti itu. aku hanya bisa mengangguk.
"Tante, Nizam titip Nailah ya"
"oke...siap bos" aku mengacungkan jempolku padanya.
"kalau ada apa-apa Nizam di Mushalah" dia mengingatkanku lagi, kubalas anggukan.
"ayo Om..." perintahnya setelah memastikan aku menyanggupi perintahnya.
tiba-tiba hayalanku terbang, membayangkan kami bertiga adalah keluarga yang bahagia. Nizam disana berperan sebagai anakku lalu Fatih ayahnya. bolehkah aku begitu, atau bolehkah aku berharap memiliki Nizam dalam hidupku?
seorang suster berlari serampangan kearahku, tidak dia melewatiku dan masuk IGD. disusul dokter dan Mas Fandy. jantungku jadi kacau lagi, detaknya sembarangan membuat nafasku jadi sesak. Drama indah yang tadi mengiang dikepalaku kini menjadi adegan termiris dalam hidupku. kepalaku pening demi mengusir pikiran itu pergi. ku geleng-gelengkan kepalaku, merasa dunia kini jadi oleh padaku. aku menatap Kak Dira yang kini sama bingungnya denganku.
"Mas...Mas... ada apa?" aku berusaha menghentikan langkah Mas Fandy.
"Nizam mana, Nizam Mana Al?" nada bicaranya panik.
"dimushalah Mas...ada apa?"
"tolong panggilkan dia Al,,," lalu Mas Fandy kembali berlari menyusul dokter.
aku menoleh kak Dira yang masih mendekap tubuh mungil Nailah yang terlelap.
"cepat Mira..." Kak Dira mendesakku.
Tak ambil tempo aku segera berlari sekuat tenaga menyusuri jejak Nizam. Aku berada ditahap kepanikan yang luar biasa. yang ada difikiranku hanyalah secepatnya menemukan Nizam dan membawanya kembali kedepan IGD. sial aku menabrak seorang suster dan membuat berkas yang dibawanya berhamburan dilantai.
"hati-hati buk, ini rumah sakit" tegurnya serius.
"maaf mbak..." aku bangkit dan meninggalkan suster itu yang masih saja mengoceh. maaf lirihku dalam hati. kupacu lagi langkahku sampai pada ujung gedung, tempat yang cukup damai dan sepi.
aku memelankan langkahku dan mengatur nafasku saat semakin dekat Mushalah. Aku mengintip, Nizam sedang berdo'a dengan khusuk ditemani Fatih dan beberapa bapak-bapak yang tampak mengamini do'a Nizam yang tersedu.
aku mengatup rahangku yang serasa akan jatuh kebumi. bulir-bulir air mata perlahan menuruni pipiku, aku tersedu tanpa kusadari. tubuhku gemetaran, seperti orang kedinginan.
Tuhan, pantaskah dia bersedih sementara hatinya begitu tulus dan suci. Tuhan samakah kami tercipta, sementara hatinya bagai samudra sedang aku hanya kolam kecil yang kering disapa kemarau sehari.
aku mendongak menghentikan hujan yang membasahi wajahku yang kusut.
"Assalamu'alaikum Nizam..." seruku menghentikan munajadnya yang panjang.
"Walaikumsalam..."serentak jamaah menyahut.
Fatih menolehku lalu berbisik pada Nizam. Nizam tampak beberapa kali mengangguk lalu berdiri dan berlari kearahku. disusul Fatih yang sebelumnya berpamitan dengan jamaah yang lain.
"tante menangis..."
aku terdiam dan mengusap pipiku yang sebenarnya sudah kering, ah...mungkin mataku bengkak atau merah. Fatih muncul dan langsung menggendong Nizam.
"ayo anak hebat, kita tidak boleh buang waktukan?" Fatih membujuk Nizam dan mengerdip padaku. dia tau aku tak bisa menjawab tanya Nizam, aku tak bisa apa-apa, aku bodoh.
kami melangkah, santai namun cepat, tidak buru-buru seperti tadi. semua justru terasa cepat, luar biasa ketengangan dalam tindakan mempercepat segalanya, sedang kepanikan hanya akan membawa malapetaka.
Kak Dira menyongsong kedatangan kami, Nailah masih terlelap dalam gendongannya. matanya sembab dan basah.
"Ada apa kak?" panikku.
dia menggeleng, namun tangisnya bertambah parah.
"Esto es malo, Mira (ini buruk Mira...)" isaknya, agaknya dia sengaja memakai bahasa Spanyol agar Nizam tak tau.
"Qué tan malo es kak????" (seberapa buruk kak?) timpal Fatih.
"No sé, pero te siento... saber el significado de mi derecha" (aku tak tau, tapi aku merasa ....kau tau maksud ku kan) Kak Dira tersedu.
Fatih menurunkan Nizam dan memintaku untuk menggandeng Nizam. lalu dia mengambil Nailah dari gendongan kak Dira.
"Ada apa tante....?" Nizam mendongak memburu jawaban pada kak Dira.
kak Dira menatapku dan membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri.
"Tante..." Nizam meremas jari-jariku yang bertengger dibahunya. aku tak tau harus bagaimana menenangkannya, aku hanya diam sambil mengigit bibir bawahku. akupun butuh sandaran saat ini, bagaimana mungkin aku harus menjadi pohon tempat anak ini bersandar.
Mas Fandy keluar bersama dokter, dia menghampur pada Nailah dan mengambilnya lalu meraung sejadi-jadinya. Nailah terkejut dan terbangun lalu menangis karena shock. tangan Nizam yang tadi masih menggenggamku kiri luruh jatuh kebawah, aku menoleh kearah lain tak kuasa melihat ekspresi Nizam. aku tak mendengar suara tangisnya, mungkin tenggelam dalam raungan papa dan adiknya yang sahut menyahut.
Fatih mendekat, lalu menggenggam tangan Nizam seperti dua sahabat yang saling menguatkan.
"it's ok... menagislah tapi jangan meratap" bisik Fatih.
Nizam seketika menarik leher Fatih lalu kepalanya bertengger dibahu Fatih yang lebar. suara tangisnya perlahan terdengar perlahan. tubuhnya bergetar seperti orang menggigil.
"Ibu sudah berjuang, ini saatnya kita mengikhlaskannya" Fatih membujuk Nizam dengan pelan.
Nizam tak bergeming justru mempererat pelukannya.
Aku lunglai, kakiku tak lagi bisa menahan beban tubuhku yang ditarik daya gravitasi. Dira mendekat dan memelukku, tumpahlah semua disana.
Piatukah mereka kini, hatiku miris menatap kecilnya tubuh Nailah dalam dekapan Mas Fandy. bumiku berguncang memandang beban yang dipikul Nizam sedini itu.
suara raungan sahut menyahut menyayat hati siapapun yang mendengar.
aku adalah benih yang diminta kak Rina untuk bertahan menjadi pohon peneduh hidup malaikat-malaikat kecilnya. aku adalah tangan yang dimintanya sampai akhir untuk mengelus tubuh putra-putrinya. aku adalah tubuh yang dipilihnya untuk mendekap tubuh orang-orang yang dia sayang.
sampai akhir dia meminta, sampai akhir pula aku tak bisa. jika orang yang dia sayang adalah orang yang pernah merusak hatiku berkeping-keping. bolehkah aku hanya menjaga kedua malaikat ini tanpa harus berhubungan lagi dengan ayahnya. bolehkah Kak??? bolehkah aku mengabaikan siapa ayah kedua anakmu hanya memandangmu saja...aku mencintai anakmu tapi aku membenci ayahnya.
***
Gumpal demi gumpalan tanah merah jatuh pada kafan suci yang membalut tubuh sang ratu yang telah berjuang sepanjang hidupnya. hidungnya yang bangir pasrah mencium perut bumi yang hangat memeluk tubuhnya yang kini sedingin balok es. Wajah itu pucat karena darah tak lagi mau mengalir disana.
Tak ada yang bisa tersenyum disana, semuanya meringis menatap kedua bocah yang kini saling dekap. Kini tubuh sang mawar putih kian menghilang, tertimbun tanah merah yang kian menggunduk. Aku menatap Nizam, dia memalingkan wajahnya seperti enggan menatapku. Matanya terpejam saat do'a-do'a dipanjatkan untuk ibunya. aku taku dia kehilangan senyumnya, aku ingin memeluknya, tapi aku tak bisa.
Kini dimata Nizam, hanya ada Nailah. sampai pemakaman usai tubuhnya terus menjadi tameng untuk Nailah. Tak ada yang bisa menyentuh adiknya, tak ada yang bisa bicara pada adiknya. Bahkan banyak yang menawarkan diri untuk menggendong Nailah, ditepisnya, dia sendiri yang menuntun adiknya kemobil saat pemakaman usai. Nailah satu-satunya milik Nizam yang paling berharga, dia pasti tak ingin kehilangan Nailah. Dunianya hanya berpusat pada Nailah, tak ada yang lain.
"Nizam butuh seseorang..."
aku bangkit dari lamunanku.
"Aku takut kalau berlangsung terus menerus sikapnya bisa jadi hal yang serius kemudian hari" aku menatap pada Fatih yang tetap fokus pada kemudi, karena jalanan cukup macet oleh para pelayat.
"Maksudmu..." Entah mengapa aku tak terima dengan ucapan Fatih.
"Menurutmu bisakah Fandy dan keluarganya mengurus Nizam dan Nailah"
"Entahlah"
Fandi menatapku dan menyunggingkan senyum.
"Masihkah kamu berfikir untuk menjadi ibu mereka"
"Fatih..." bentakku. apa-apaan bicara begitu disaat penikahan kami didepan mata.
Dia kembali tersenyum, dan kini aku benci senyumnya itu.
"Aku takut saja Mira..."
"Aku bukan wanita murahan yang gampang berpindah hati..."
"Hatimu padaku kah?"
"Ya..."jawabku mantap.
"Tapi kamu juga ada hati pada Nizam"
"Ah,,,kau cemburu" teriakku. Fatih tertawa lantang, tapi aku tak melihat tawa dimatanya, aku melihat secerca kekhawatiran disana.
aku mencoba menerkanya, namun aku khawatir sendiri jadinya...aku takut apa yang kupikirkan ini benar. Aku takut dia melakukannya. Aku takut dia berkorban sementara aku tetap ingin dia bertahan. Aku yakin Allah menakdirkan kami lalu apa gunanya khawatir.
kak Rina...andai kau disini, masihkah kau ingin aku menjadi ibu dari anak-anakmu
Kak Rina andai kau disini, masihkah kau mengharap aku menjadi istri dari suamimu
Kak Rina andai kau disini, relakah kau merenggut kebahagiaanku dengan lelaki disampingku ini....
Kini kakak telah tiada, tapi bila kakak memintaku seperti saat itu, aku akan menerima menjadi ibu anak-anakmu, menjaga dan mendidik mereka semaksimal mungkin, tapi aku akan menolak menjadi istri suamimu karena lelaki disampingku ini adalah dunia dan akhirat ku
***
aku mematut wajahku lagi dicermin, kuamati lagi wajahku lalu kulirik pigura yang bertengger dimeja riasku. kutatap lekat-lekat wajah yang tersenyum disana, kulihat lagi pantulan wajahku dicermin.
"Mirip,,,ya Mirip" gumamku seraya mengabsen satu persatu anggota wajahku.
"bibir ya bibir...ah mirip" gumamku lagi.
"hidung, ah mirip walau dia sedikit lebih mancung" kulirik lagi wajah dipigura itu, kini dia menertawakanku.
gemas aku dibuatnya, ku ambil pigura itu lalu ku sejajarkan wajah kami.
"tuh kan kita mirip, apa kubilang kita ini jodoh" kutunjuk-tunjuk wajahnya, amun dia masih saja tersenyum renyah.
"fatih? apakah ada yang pernah menyangka kalau kita ini jodoh?" aku berbisik padanya.
"aku tak perduli, aku ini jodoh terbaikmu,,,ingat itu" kudekap foto itu.
dddrrrt....
ponselku bergetar.
"InsyaAllah kami kesana ba'da Maghrib, kita Isya bersama..." aku tersipu membacanya. kutarik nafasku dalam-dalam. kulirik jam, pukul 15.00, ah maghrib kurang lebih tiga jam lagi, haruskah aku berdandan sekarang juga.
tok...tok...tok...
"Assalamu'alaikum Mira..."
"Walaikumsalam kak, masuk"
aku paham betul itu suara Dira.
"kamu ini apa-apaan sih..."dia menghardikku.
"apa sih kak" kataku berlagak tak tahu apa-apa.
"jangan sembunyikan apapun dariku, Ridho itu suamiku, dia tak bisa bohong padaku"
"aih..."aku mengelus tengkukku. geram aku dengan sikap Bang Ridho yang tak bisa jaga rahasia...
"papa tau rencana ini" geram Dira lagi.
aku menggeleng.
"ini surprise..."
"surprise katamu??? tu cerebro donde Mira??"
"todavía aquí" aku menunjuk kepalaku.
"Si un ataque al corazón como papa, usted podría tener la responsabilidad???"
"kenapa gitu, ini kan bagus....lagian kenapa paki bahasa spanyol segala sih???" sergahku
"Tía de Atia en la habitación de al lado. Qué pasa si él oyó?"
"Si es así, no discutir !!"
"Mira kamu ini benar-benar yah....?"
"Tengo miedo de perder le.." jawabku takzim.
Adira melirik pigura yang tergeletak dihadapanku. lalu menatapku aneh.
"do you want to, I could not intervene" dia bergerak meninggalkanku.
"Gracias por apoyarme para esto" aku tak lagi perduli pada rencana orang tentang hidupku. aku hanya percaya pada keyakinanku dan ini yang kulakukan sekarang.
mencoba merancang masa depanku sendiri, hanya berdiskusi dengan Rabb-ku. aku tak peduli aku dikatakan gila atau apapun. aku yakin ini yang terbaik dalam hidupku, akubtak bisa terus sendiri, aku butuh seseorang.....
***
ratapku menggema dimalam-malam panjang menanti seseorang menjemputku dengan keseriusan dan ketulusannya.
aku tak sedang menunggu pangeran berkuda putih, dia berjalan kaki juga tak apa. aku hanya menunggu seseorang menjemputku dan membawaku bersamanya.
kini aku melihat seseorang menghampiriku, izinkan aku tak lagi membuang sia-sia...
aku ingin sedikit menjebaknya dengan jeratku agar dia tak bisa mengelak.
terpaksa atau tidak, aku ingin dia menyeretku dalam pusaran hidupnya yang runyam.
aku telah membuang banyak waktu, ini yang harusnya kulakukan dari dulu, sedikit jebakan.