Chereads / BERSEMAYAM DALAM DOA / Chapter 15 - Dua Malaikat Berwajah Pucat

Chapter 15 - Dua Malaikat Berwajah Pucat

***

Aku melihatnya seperti melihat hantu. Sungguh, malam tadi aku ketiduran hingga subuh sehingga alpa terhadap Shalat malam. Fatih... aku belum siap bertemu denganmu, lalu mengapa kau datang. Dia melangkah sambil menatapku, bibirnya seperti bulan sabit yang kemerahan. Lengan kemeja biru mudanya digulung hingga sikunya. Matanya berbinar seperti bunga matahari yang tengah merekah. Aroma cologne-nya kian mendekat.

Aku gugup saat langkahnya terhenti tepat semeter di depanku.

"jangan menatapku seperti aku ini hantu Mira" suaranya pelan.....pelan sekali.

Aku tergagap dan seketika menjatuhkan mistar yang kupegang erat. Suara kelontangnya menggema diseluruh ruangan beratap tinggi ini.

Aku menelan ludah seraya menoleh kekiri-kanan, memastikan tak ada mata yang memperhatikan, sial semua mata terlanjur mengarah pada sumber suara yang kutimbulkan, walau sesaat kemudian kembali asik dengan objek praktikum mereka.

"ini buk..." aku menoleh, Luthfi baru saja berdiri dari mengambil mistar yang kujatuhkan. Tanganku gemetaran dan tak dapat bergerak.

Fatih menyambar mistar itu dan memberikan senyum tulus pada Luthfi. Aku menunduk megap-megap mencari oksigen tiba-tiba saja bersembunyi.

"Terimakasih"ujarnya datar. aku masih menunduk, sehingga aku tak dapat melihat ekspresi Fatih. Masih menunduk, kulihat Luthfi red kakinya melangkah hilang dari areal pandanganku.

"teman-teman....perhatiannya sebentar..." aku mengangkat wajahku, kudapati Luthfi telah berdiri didepan ruangan.

"praktikum hari ini cukup sampai disini. Sesi selanjutnya kita kumpulkan artikel tentang inti sel"

Apa-apaan ini, seenaknya dia memberi arahan pada kelasku. Aku hendak menghardiknya, namun semua kuurungkan saat mataku bertemu matanya. Dia memandangku dengan cara yang aneh, datar dan nyaris murung. Aku menelan lagi kata-kata yang hampir kutumpahkan.

Dia melewatiku membereskan meja kerjanya, tak lama berlalu meninggalkan kelas disusul teman-temannya yang lain. Satu persatu pergi hingga laboratorium kosong, sementara kami berdua masih berdiri dititik yang sama, mematung dalam kecanggungan.

Aku kembali menunduk, membuang pandanganku pada ubin putih gading yang kupijak, menghitung jumlah bintik yang menjadi motif ubin tersebut.

Waktu terus berlalu, Fatih masih bisu. Mungkin menatapku atau mungkin tak menolehku sama sekali. Tengkukku terasa berat, karena sekian lama aku menunduk. Mau tak mau kuangkat wajahku. Mataku bertemu matanya, dia menatapku intens, mengabsen satu persatu anggota wajahku.

"Mira.." suaranya terdengar lirih ditelingaku.

"Ana uhibbuka fillah..." bulu kudukku berdiri, nyaris menangis dibuatnya. Kata-katanya seperti sihir yang membekukanku.

"katakan alasanmu menolak perasaanku"

"aku tak menolakmu" bantahku cepat. Aku sendiri terkejut dengan kata-kata yang menluncur begitu saja dari mulutku.

"lalu..." dia nyaris tersenyum.

"aku tak bisa memaksakan perasaanku sehingga hatimu terluka, begitupun hatinya" mataku nanar menatapnya.

"hatiku?.. terluka, kenapa?" kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar patah-patah.

"Dan siapa 'nya' yang kamu maksud itu Mira?" Fatih maju selangkah, aku pun mundur selangkah demi menjaga jarak kami.

"aku tau semuanya Fatih" kini suaraku nyaris tercekat menahan sesuatu yang sesak menghimpit dadaku.

Fatih mengerutkan keningnya, matanya menatapku seksama. Mengintimidasiku sedemikian rupa. menagih jawaban pasti dari mulutku.

"apa Mira? Apa yang kamu tau?" Fatih kembali maju selangkah memendekan jarak diantara kami. Aku mundur lagi, menatapnya seraya menggeleng-gelengkan kepalaku, air mata yang kutahan mengalir begitu saja kepipiku dan jatuh begitu saja diatas hijabku yang terurai diatas dadaku.

Aku berjalan nyaris berlari melewatinya, meraih tasku dimeja kerjaku lalu keluar begitu saja tanpa menolehnya lagi.

Aku menarik nafas dalam-dalam, menenangkan jantungku yang kepanikan, memejamkan mataku yang kian banjir.

"aku tau semuanya Fatih, semua tentangmu dan Hanna" kata-kata itu kutelan dibenakku.

Berjalan menyusuri koridor yang sebenarnya penuh mahasiswa yang menatapku bertanya-tanya. Ah...akan ada gosip hangat dikampus, bagaimana lagi, aku terlanjur memancing perhatian.

"buk...saya bisa atasi kelas, sebaiknya ibu istirahat saja" aku berhenti menatap pemuda yang kini mensejajarkan langkahnya denganku. Ku hentakkan tubuhku saat memutar menghadapnya.

"kamu ini siapa?" aku menatapnya sakartis.

"Kenapa kamu selalu ikut campur dan semena-mena memutuskan segala sesuatu tentang ku" aku tersengal melepas emosi yang bekecamuk didadaku.

Luthfi menarik nafas dalam-dalam, lalu tersenyum ramah. Aku tersinggung melihat senyumnya itu, kubuka bibirku membulat. Kuletakkan tangan kiriku dipinggang, lalu menatapnya remeh.

"wow...look at you,,,, ck..ck..ck...luar biasa..daebak" ujarku sakartis.

Ajaib, dia masih menampilkan senyumnya yang sempurna. Aku memejamkan mataku, beristighfar saat emosi mencoba merambah naik keubun-ubunku.

"Luthfi..." aku mencoba menekan emosiku sekuat tenaga.

"berhenti mencampuri urusanku, berhenti kurang ajar padaku, berhenti menoleh padaku..." tatapanku menyala. Luthfi menarik senyumnya, kini bibirnya tak lagi melengkung, sedikit terbuka seperti tak percaya atas kata-kata yang kutujukan tajam padanya.

"oke,,, hear me? Oke,,, enought" dia menatapku dengan gusar.

Kutinggalkan dia yang mematung ditempatnya. Sebuah belati menghantam dadaku, luar biasa... aku merasa satu lubang tercipta dihatiku. Aku ingin menolehnya, merasa bersalah mengatakan itu padanya. Air mataku menetes lagi, sungguh Luthfi, aku sakit saat terpaksa melukaimu.

Kutahan keinginanku untuk menolehnya, tidak...biarkan seperti ini. Aku tak ingin ada yang tersakiti lagi, apakah itu aku atau dirinya. Perasaan yang ada dihatinya, seserius apa aku tak tau. Namun ku pastikan itu tak pantas ada disana, sekecil apapun rasa dan harapanku itu, harus kubunuh sebelum itu tumbuh semakin besar.

***

Kini aku telah tiba diparkiran, energiku benar-benar terkuras hari ini. Aku harus mengisi dua kelas tatap muka dan satu kelas praktikum yang kacau. Ya... kekacauan itu lah yang melelahkan hati dan pikiranku.

Sesaat sebelum tanganku meraih pintu mobil, Fatih muncul menghadang langkah dan gerakku.

"aku tak ingin menyentuh atau menyeretmu Mira, tapi kita benar-benar harus bicara dan harus menyelesaikan semua ini"

"tak ada yang menyuruh dan mengharuskanmu begitu" aku menentang matanya.

"lihat sekelilingmu mulai menatap kita"

Aku mengedarkan pandanganku. Beberapa mahasiswa menatap kami dengan rasa ingin tau, bahkan tukang parkir dan penjual siomay juga begitu.

"ikut denganku" Fatih meraih kunci mobil yang menjuntai ditanganku.

Dia masuk mobil dan duduk dibelakang kemudi mobilku. Aku menarik nafas dalam-dalam lalu memutari mobil dan duduk di kursi penumpang disamping Fatih.

Tanpa bicara, Fatih menghidupkan mobil dan melaju keluar areal kampus. Matanya menatap lurus kedepan dan melaju dengan kencang, aku meliriknya.... takut. setitik peluh jatuh dari dahinya yang tampak kusam, tak licin seperti biasa. rambutnya juga tampak acak-acakan, tapi entah mengapa aku suka gayanya itu, gaya seperti saat kami kuliah dulu.

Kami tiba disebuah tanah lapang dipinggiran kota. Tanah itu ber-pH masam, itu jelas terlihat dengan bagaimana ilalang yang tumbuh secara brutal. Daunnya hijau dan bunganya yang jahil beterbangan mencari lahan baru untuk tumbuh.

Fatih keluar dan berdiri didepan mobil, membelakangiku. Jantungku berdegup kencang, aku tak mau keluar. Terserah saja....

Kutarik nafasku dalam-dalam lalu kukeluarkan lagi. Ah.. tak bisa, aku takut. Fatih menggedor kaca mobilku, ragu-ragu kuturunkan.

"turunlah dulu Mira" bujuknya.

"Panas..." acuhku.

"kamu mau kita bicara berdua didalam? Jangan Mira, itu mengundang fitnah"

Kulirik sekilas dia, lalu kudorong pintu mobilku...membuat Fatih ikut terdorong.

Aneh, dia tak marah malah menyunggingkan senyuman.

Deg.....

Jantungku begetar hebat dibuatnya.

"Mira aku rindu..."rengeknya.

Aku diam saja menyembunyikan debaran jantungku yang bekerja hebat.

"kenapa Mira..." Fatih berdiri didepanku.

"aku tak bisa mengatakannya Fatih"

"kenapa?"

"tidak sekarang..."

"apa bedanya besok atau sekarang?" Fatih mendesak.

"aku belum Shalat malam Fatih" jujurku. Fatih mencengkram rambutnya frustasi.

"aku bangga cara yang kamu pilih untuk menentukan keputusan, tapi, setidaknya katakan padaku alasan kamu berubah tiba-tiba"

Aku tak menjawab, namun bibirku bergetar.

"karena aku tak ingin ada hati yang terluka" Fatih menatapku dengan tanda tanya yang besar.

"Siapa? Siapa yang akan terluka Mira?"

"kita semua..."

"Mira aku berjanji tidak akan melukaimu, aku janji. Perlahan-lahan aku akan membuatmu jatuh cinta padaku. Aku janji Mira"

Aku menelan ludahku.

"cukup Fatih..." Suaraku parau

"Hati ini....,yang ini" aku menunjuk-nunjuk dadaku dengan kalap.

"bukan Cuma luka yang menyakitinya, tapi sebenarnya hati ini telah hancur" aku mengulum bibirku menahan perih.

"ini, tak bisa lagi merasakan apa-apa...kau boleh melakukan apapun yang kau suka. Silahkan aku tak akan merasakan apa-apa" Fatih menatapku terperangah.

"cukup aku saja Fatih...jangan lakukan apapun yang bisa melukaimu dan dia"

"Siapa yang luka Mira? Siapa? Tidak ada...lalu dia? Dia siapa lagi?"

Aku menghadiahinya dengan senyuman sakartis.

"kau Fatih dan dia Hanna" Suaraku menggelegar dialam terbuka.

Ilalang menari diterpa angin. Fatih memejamkan matanya, lama sekali. Wajahnya tampak frustasi.

"kau melukaiku Mira" suaranya serak.

"apa yang kamu dengar sehingga kamu tiba-tiba pulang. Seharusnya kamu bicarakan agar aku bisa menjelaskan" Fatih mencoba menekan emosinya.

"aku cukup tau semuanya Fatih. Aku tak akan menuntut apa-apa" kutentang dua bola matanya yang menatapku lekat.

"hati Hanna masih suci, jangan lukai hati itu Fatih"

Fatih tampak geram dan tertawa sakartis.

"kamu memang pintar Mira...aku akui itu. Tapi bukan berarti kamu tau segalanya"

"aku hanya percaya dengan apa yang aku dengar dan apa yang aku lihat"

Lagi...kutentang matanya yang kini memerah.

"itu salah Mira, kamu keliru...tak semua yang terlihat oleh matamu seperti apa yang kau lihat. Begitupun apa yang kau dengar tidak berarti itu kenyataan" dia menatapku dengan pandangan yang aneh. Aku menunduk tak lagi kuasa menatap matanya.

"aku tidak pernah mecintai wanita lain selain kamu Mira"

Aku mengangkat wajahku, bertemu pada dua manik hitam dimatanya. Aku melihat kejujuran disana, tulus dan damai. Rasa haru dan gugup menyapa jiwaku.

"aku tak mungkin membiarkan perasaan ini selamanya hina, aku harus menghalalkannya"

Debaran jantungku luar biasa dahsyat. Lagit biru dihiasi tumpukan awan yang berpisah pisah bak batu karang dipinggir pantai. Ilalang dengan angkuh menantang dari bawah, berayun-ayun gemulay diterpa angin yang syahdu. Hijaunya menyejukan mata yang menatapnya.

"aku tak mungkin menikahi wanita lain sementara hatiku telah kuikrarkan pada satu nama wanita yang menemaniku dalam tiap munajadku"

Aku masih terpaku pada dua manik hitam yang tegas menyerap jiwaku dalam candunya. Aku merasa berkawan dengan elang yang terbang menggoda awan.

"aku memang tak bisa menjanjikanmu surga, namun kutawarkan untuk meraih surga itu bersama denganmu"

Ini lebih indah dari pada dipeluk asa atau dikecup cinta yang biasa. Dia masih damai berdiri gagah dijarak yang cukup dijaganya.

"aku hanya mencintaimu Mira...beri alasan masuk akal bila kau hendak menolakku" teduh dan luar biasa menyergap hatiku.

"lalu Hanna..." lirihku.

"dia seperti Aisyah bagiku"

"adik"

"ya..." senyumnya sempurna.

"tapi dia mencintaimu"

"aku tak bisa mencegah dan melarangnya"

"lalu dia akan terluka...tidak aku tidak mau. Kau tau aku pernah terluka, jangan Fatih cukup aku saja yang merasakan luka itu"

"aku berjanji akan mencarikan solusi untuknya, bantu aku Mira..."

Aku mengangguk...lalu menatapnya bimbang.

"tapi hatiku tak lagi perawan, aku pernah mencintai pria lain sebelum kamu. Kamu tau itu"

"ya...aku tau" lirihnya, senyumnya tak lepas.

"aku menerima itu....hatimu akan kembali perawan dalam mencintaiku"

"aku masih perawan" luruhku tanpa sadar.

"Ya Mira...aku tau, kita sedang bicara tentang hatimu kan?"

"oh...iya ' aku tersipu malu dibuatnya.

Wajahku terasa panas. Kugembungkan pipiku lalu ku dekap dengan kedua tanganku, aku yakin kini wajahku memerah...Fatih tersenyum indah padaku. Luar biasa senyum itu...

awan masih menari diujung saja, menangkal sinar matahari yang terasa kian membakar. hembusan angin bak musik yang membuat ilalang bergoyang dengan gemulainya. bunga-bunganya masih asik beterbangan kesana kemari.

kami belum beranjak dari bunga-bunga yang bertebaran dihati. aku bahkan tak bisa berhenti tersenyum. hatiku senantiasa bertasbih, menggumamkan do'a semoga tak ada lagi halangan kami dalam menghalalkan perasaan kami satu sama lain.

tiap kami bertemu muka, saat itulah kami saling menertawakan wajah kami yang kini sama-sama memerah. dalam hati aku berjanji, aku tak akan lagi diam jika ada masalah. ternyata semua ini hanya salah faham, dari penerjemahan yang salah olehku. aku tak menyangka, begitu mudahnya aku percaya pada firasatku sendiri, dan begitu mudahnya aku percaya pada penjelasan Fatih.

malam itu aku tidur dengan nyenyak setelah sekian lama. hujan yang deras membuat malam begitu dingin memeluk mimpiku. aku ingin secepatnya hidup bersama Fatih, ah tidak... sekian lama aku menunggu pernikahan itu. kali ini aku ingin pernikahan yang sempurna, walimah yang sempurna.

aku terjaga disepertiga malam, tersenyum menghayalkan konsep walimah yang kumau, lalu menunaikan rinduku pada-Nya yang telah mengabulkan segala keinginanku. mempertemukan aku pada lelaki sebaik Fatih, setabah Fatih dan mohon ampun atas silapku pada Luthfi Hadi mahasiswaku, yang telah banyak membantu dan menghiburku.

***

seminggu berlalu sejak aku berbaikan dengan Fatih. Luthfi tak lagi menghubungiku, namun sebaliknya dia kini terlihat kian dekat dengan Nadia. tiga hari lagi, sesuai rencana Umi dan Buya akan silaturahmi kerumah kami. perasaanku campur aduk, bahagia, grogi dan tak sabaran.

kadang aku ingin hari itu cepat datang, tapi kadang aku merasa belum siap. luar biasa, aku bahkan berencana mengambil cuti dua hari kedepan. tapi mama melarangku, Dira malah mengatakan kalau aku berlebihan.

aku ditemani Dira ke Supermarket untuk membeli bahan makanan yang kami perlukan untuk menyambut keluarga Fatih. Mama ingin memasak makanan spesial, tak ingin kalah dengan gelar orang minang yang terkenal dengan masakannya.

Dira seperti mama, ahli dalam memilih bahan makanan yang bagus. bahkan dia tadinya mau mengajakku kepasar tradisional, tapi aku menolak. aku beralasan di Supermarket juga banyak bahan yang segar dan berkualitas tinggi. setelah tawar-menawar Dira akhirnya mengalah dan menuruti usulku walau sedikit menggerutu.

kami sedang sibuk memilih sayuran ketika tiba-tiba pengunjung Supermarket didekat kami berlarian kesatu arah. aku menoleh kearah tempat orang berkumpul, namun apa ya ng dikerumuni tersebut tak lagi kelihatan karena sudah ditutupi oleh orang-orang.

"aku yakin itu bukan sale " ujar Dira yang langsung menahan lengan seorang SPG yang baru saja keluar dari kerumunan itu.

"ada apa mbak?" tanyanya.

"ada ibu-ibu pingsan" jawab SPG tersebut lalu kembali berlari.

"Innalillahi..." Dira menyeretku menuju kerumunan tersebut.

"baut apa sih kak, orang pingsan dikerumuni malah tambah panas" liriku, namun aku tetap mengikuti langkahnya.

"bagaimana kalau wanita itu kita kenal, lalu bagaimana kalau mereka hanya berkerumun tapi tidak menolong"

"memangnya kita bisa apa?" gumamku. Dira menatapku dengan kesal. aku jadi diam, tak berani lagi membantahnya.

Dira mengajakku menerobos kerumunan tersebut, lalu apa yang kulihat disana....wanita yang pingsan tersebut adalah 'kak Rina. Nailah meraung mendekap tubuh Ibunya, sementara Nizam mengguncang tubuh ibunya dengan tabah, kepala 'kak Rina dipangkunya.

aku bergetar melihatnya, jantungku terasa akan copot rasanya. lututku kian bergetar dan menjadi lemas tatkala melihat noda merah yan keluar dari hidung 'kak Rina.

"Astaghfirullah..'kak Rina" semua mata menoleh ku. aku segera berlutut meraih kepalanya dan meletakkannya ke pahaku. Nailah tanpa komando berganti memelukku.

"mbak kenal ibu ini?" seorang wanita berseragam keamanan menegurku. aku mengangguk saja.

"kami sudah menghubungi ambulan mbak" aku abaikan saja.

"tidak mbak ambulans terlalu lama...tolong bawa ibu ini kemobil saya saja" Dira menjawab lalu berlari sambil menggendong Nailah dengan cekatan.

beberapa pria dengan seragam keamanan membantu membopong tubuh 'kak Rina yang lunglai kedepan pintu utama Supermarket. aku menggandeng Nizam sambil menunggu Dira dan mobilnya dengan tak sabar.

tak lama mobil Dira muncul, dan aku meminta agar tubuh kak Rina dibawa masuk mobil dengan posisi kepalanya dipangkuanku. sementara Nizam dan Nailah berbagi tempat duduk dijok depan. bibirku bergetar mengucap do'a-do'a semoga tak ada sesuatu yang gawat dengan kak Rina. pipiku telah basah sejak tadi, ketakutan dan miris saat menatap dua malaikat kecil yang kini berwajah pucat menahan sesak didada mereka.

Dira melaju dengan kencang, sering kali mengklakson panjang pada kendaraan yanng melaju sembarangan. mengapa tiba-tiba rumah sakit menjadi jauh...jauh sekali. aku makin tak sabaran dibuatnya.

udara kian panas, dua makhluk serupa malaikat berwajah pucat meringis dalam doa-doa tak terucap.

kendaraan lalu lalang semerautan seperti hatiku yang makin gusar. dua malaikat berwajah pucat kian tak sabar menanti tambah berwarna merah.

aku merajuk pada hatiku,,,,,, bahagia masa kecil yang hilang dari dua malaikat berwajah pucat.

tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengalir ketelapak tanganku yang memegang tepi kepala kak Rina. kepalaku kian pening mentapa noda merah yang kental menempel ditelapan tanganku. bau amis menyeruak dari noda merah itu.....tubuhku makin bergoncang dibuatnya.

***