Kelas Mikayla sedang ada pelajaran matematika, mereka begitu fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana.
Pelajara kedua sudah matematika saja, padahal mereka ingin pelajaran yang lebih santai saja, tapi itu hanya berlaku untuk sebagian saja karena bagi sebagian lagi memang menyukai pelajaran tersebut.
Termasuk Mikayla, wanita itu memang tidak pintar dalam pelajaran matematika tapi tidak terlalu bodoh juga, Mikayla bisa mengerti dengan semua rumus meski harus perlahan.
"Baiklah, Bapak akan buat soal di papan tulis dan kalian harus kerjakan 10 menit saja."
Mereka langsung mengeluh mendengar kalimat itu, malas sekali kalau sudah seperti itu dan kenapa juga harus seperti itu.
Mereka menyiapkan alat tulisnya dan menunggu guru sampai selesai menulis di depan sana, sesaat menunggu mereka lantas mulai mengerjakannya di buku.
Guru itu kembali duduk dan terdiam memperhatikan anak didiknya, sebagian dari mereka terlihat malas mengerjakannya tapi ada juga yang tampak semangat dan serius berusaha.
Beberapa waktu terlewat, guru kembali bangkit dan meraih spidolnya.
"Baiklah, coba silahkan Dimas, kamu kerjakan soal di depan."
"Kenapa harus aku sih, Pak?" tanya Dimas.
"Ya memangnya kenapa, kamu sudah selesai kerjakan di buku kan, kamu tinggal salin jawaban kamu di papan tulis."
Dimas bangkit dan berjalan lesu, Dimas menulis jawabannya di sana, biarkan saja salah atau pun benar yang penting Dimas sudah menuruti perintah gurunya.
Sesaat menunggu Dimas berbalik dan kembali ke tempatnya, guru terlihat meneliti jawaban Dimas dan menggeleng.
"Kamu yakin ini jawaban kamu?"
"Sama kok Pak, itu yang aku tulis di buku."
"Kerjakan ulang, jawaban kamu salah."
Dimas mendapatkan sorakan kompak dari seisi kelasnya, tapi Dimas justru tersenyum tak peduli dengan itu.
"Ayo siapa yang bisa mengerjakan ini?"
Mikayla mengangkat tangannya bersamaan dengan Niara, keduanya saling lirik dan tersenyum bersamaan.
"Jadi, mau siapa?"
"Niara saja/Mika saja," ucap keduanya bersamaan.
Mikayla menggeleng, guru lantas menujuk Mikayla untuk maju lebih dulu, Niara mengangguk setuju dan membiarkan Mikayla maju untuk menuliskan jawabannya.
Mereka memperhatikan kegiatan Mikayla termasuk juga gurunya, Mikayla tidak membawa buku tulisnya dan mencoba mengerjakannya sendiri.
Ditengah keheningan mereka yang fokus memperhatikan Mikayla, fokusnya seketika pecah saat mendengar jeritan dari luar sana.
Mereka kompak melihat pintu dan langsung berhamburan keluar saat jeritan itu kembali terdengar, Mikayla melirik guru yang masih ada di kelas dan langsung menyusul mereka semua.
Area sekolah tampak dipenuhi siswa dan siswi baik dilantai atas bahkan di bawah, Mikayla menorobos kerumunan agar bisa melihat ke bawah sana.
Mikayla kaget melihat Aljuna dan Gavin yang berkelahi di lapangan sana, Mikayla melirik Devan yang baru sampai di sampingnya saat ini.
"Kenapa tuh?" tanya Devan.
Mikayla menggeleng, ingin sekali Mikayla turun ke sana dan memisahkan keduanya, tapi tidak mungkin karena terlalu banyak orang yang menghalangi jalannya.
Mikayla memejamkan matanya saat melihat Gavin yang terkapar tak berdaya, tak lama dari situ beberapa guru dan satpam terlihat datang dan membawa Gavin juga Aljuna.
"Sudah, bubar .... bubar kalian semua, bubar."
Mereka membubarkan diri setelah mendengar perintah dari sang guru, mereka memasuki kelasnya masing-masing meski masih dengan kebisingan mulut mereka.
Penghuni kelas Mikayla pun sudah masuk semua, mereka telah kembali ke tempatnya masing-masing.
"Mika, ayo masuk, yang lain sudah di kelas semuanya" ucap Devan.
Mikayla menoleh dan mengangguk, keduanya lantas masuk bersamaan.
"Pasti rebutan si Mika tuh dua cowok itu."
Mikayla menunda niatnya untuk duduk saat mendengar celetukan salah satu temannya.
"Iyalah, lagian kenapa sih kamu, sok cantik sekali pakai gaet Kakak kelas segala."
Mikayla mengernyit, apa maksudnya, memang apa yang sudah dilakukan Mikayla.
"Dia mau tenar, makanya langsung incar Kakak kelas yang tenar juga di sekolah."
"Peletnya bagus, buktinya langsung berhasil."
Kakak kelas tenar, apa benar Gavin terkenal di sekolah itu, tapi kenapa Mikayla tidak tahu tentang itu sendangkan mereka mengetahuinya.
"Kalau sudah seperti ini, gimana?"
"Ada apa ini?" tanya guru.
"Itu tuh Pak, Mika tadi pagi datang boncengan sama Kakak kelas yang dipukuli itu, dan pasti karena dia jalan sama Mika."
Mikayla melirik guru, apa guru itu akan percaya dengan semua perkataan siswi tersebut.
"Sudah sudah, sudah tenang, kalian masih harus belajar sekarang, jadi silahkan duduk dan kerjakan soal yang akan saya berikan."
"Yaaa .... kok soal lagi sih."
"Sudah diam."
Guru itu lantas menuliskan soalnya di papan tulis, Mikayla lantas duduk dan terdiam memikirkan kalimat yang didengarnya tadi.
Kenapa jadi Mikayla yang disalahkan, pergi bareng Gavin juga bukan kemauan Mikayla, dan lagi apa urusannya dengan Aljuna kalau memang Mikayla pergi bareng Gavin.
"Ayo kerjakan, kalian boleh istirahat setelah selesaikan soal ini."
Mereka kembali mengeluh dengan keputusan yang diberikan guru, bagaimana nasib mereka yang bodoh dengan matematika, apa mereka harus menahan lapar sampai jam pulang.
Mikayla menatap soal di papan tulis, tapi meski matanya terarah pada soal, fikirannya justru terarah pada Gavin dan Aljuna, bayangan Gavin yang tergeletak tadi tak bisa hilang dari ingatan Mikayla.
Bagaimana keadaan lelaki itu sekarang, dan apa benar jika semua itu adalah kesalahan Mikayla, apa benar jika Aljuna adalah pengagum rahasia Mikayla seperti apa yang Niara katakan kemarin.
Mikayla memejamkan kuat matanya, dan langsung menulis soal di papan tulis itu, tidak ada yang bisa Mikayla fikirkan sekarang.
Mikayla akan fokus kerjakan soal tersebut dan saat telah selesai, Mikayla akan langsung mencari Gavin atau paling tidak mencari Aljuna, Mikayla akan cari kejelasan tentang semuanya.
Mikayla tidak merasa membuat masalah dengan mereka berdua, tapi kalimat teman sekelasnya cukup mengusik ketenangannya saat ini.
Mikayla menghembuskan nafasnya sekaligus, saat ini Mikayla berusaha fokus mengerjakan soalnya tersebut.
Niara melirik Mikayla dan terdiam menatapnya, bukankah benar apa yang jadi fikiran Niara tadi pagi.
Dan detik ini adalah awal dari penderitaan Mikayla ada di sekolah tersebut, Niara menunduk kasihan sekali Mikayla.
"Apa yang kamu fikirkan?" ucap Devan pelan.
Niara menoleh dan menggeleng, entahlah lagi pula Devan juga belum tentu terima dengan apa yang akan dikatakan Niara.
Tadi pagi Niara sudah katakan semua kekhawatirannya, tapi Devan tak percaya dan sekarang Devan belum tentu bisa percaya, meski telah mendengar perkataan mereka tadi.
Devan melirik Mikayla di sana, sebenarnya Devan juga merasakan hal yang sama seperti Niara, tapi Devan hanya ingin berfikir positif saja tentang semuanya.
Dan semoga setelah ini pun, tidak akan ada hal buruk yang terjadi pada Mikayla, sekali pun dia dianggap sebagai penyebab keributan dua kakak kelas itu.