Masih seperti mimpi rasanya bagi Lareina ketika mengetahui bahwa ia benar-benar melakukan perjalanan waktu. Setelah kelelahan mencoba menelan berbagai informasi mengenai hal tersebut, ia akhirnya dapat pulang dari sekolah dan beristirahat. Meskipun kata pulang ini tidak tepat karena ia tidak tahu tempat asing apalagi yang akan didatanginya.
Lareina memperhatikan Papanya yang duduk di kursi pengemudi dan Mamanya yang duduk di baris depan, bersebelahan dengan Papanya. Ia tidak menyangka bahwa dari sekian banyak pekerjaan yang ada di muka bumi, Mama dan Papanya di semesta lain memilih bekerja sebagai guru dan kepala sekolah. Dimana pekerjaan itu tidak sama sekali cocok dengan image dari orang tuanya.
Wanita yang berubah menjadi seorang gadis berusia 17 tahun itu kemudian mengalihkan pandangannya kepada sosok pria-atau yang lebih pantas disebut bocah laki-laki- yang duduk di baris kedua bersamanya.
"Lo ngapain ikut gue pulang?" tanya Lareina kepada Radithya, pria yang duduk disampingnya.
"Ya karena gue mau pulang lah. Pertanyaan yang gak perlu dijawab."
Lareina memutarkan bola matanya kesal, "Maksud gue, lo ngapain pulang bareng gue?"
"Nona, bisakah kau sudahi aktingmu ini? Pertama oke lah, lama-lama gue getok kepala lo pake sepatu bola juga nih," balas Radithya tak kalah kesal.
"Hush! Enak aja anak tante main kamu getok kepalanya. Entar kalau jadi seret otaknya kayak kamu, gimana?" sahut Mama Lareina dari baris depan.
"Hehe, bercanda tante. Abis Lareina daritadi gini mulu. Ngeselin tahu."
"Lareina, Papa juga denger tadi dari Pak Rian, katanya kamu ngelawan Miss Nada. Bikin Papa malu aja kamu, Rei." sambung Papa Lareina.
"Pak Rian siapa lagi coba," gumam Lareina sembari mangut-mangut kesal karena Papanya ikut memarahinya.
Perjalanan dari sekolah menuju ke rumah hanya memakan waktu 20 menit menggunakan mobil. Mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah berukuran sedang dengan halaman yang dipenuhi berbagai tanaman didepannya.
Asing. Itulah satu kata yang cocok menggambarkan rumah dan semua situasi yang menimpa Lareina. Rumah itu memang berukuran normal, tetapi bagi Lareina, rumah itu terlalu kecil jika dibandingkan rumah aslinya yang berada di tahun 2022. Bahkan semasa hidupnya, Lareina tidak pernah tinggal di tempat sekecil itu. Rumah Lareina yang sesungguhnya setidaknya empat kali lebih besar dari rumah yang ada dihadapannya sekarang. Namun, tidak ada yang bisa Lareina lakukan selain masuk ke 'rumah'nya itu.
"Lo ngapain lagi masuk? Gak pulang ke rumah lo?" tanya Lareina kepada Radithya yang berusaha mendahuluinya untuk masuk ke dalam rumah.
"Rumah gue di jerman anjir."
"Hah?"
"Ya masa lo nyuruh gue pulang ke jerman sekarang. Aku menumpang tinggal dirumahmu, nona."
Lareina menatap jijik Radithya yang sedari tadi menggunakan bahasa formal dan memanggilnya nona, "Sebebasnya lo aja deh."
Di dalam rumah yang terkesan kecil bagi Lareina itu ternyata terdapat dua lantai. Lareina diam sesampainya di tanggal. Ragu untuk naik atau tidak karena ia tidak mengetahui letak kamarnya. Radithya memperhatikan Lareina yang masih terdiam lalu menepuk bahu sepupunya tersebut, "Kenapa ngelamun?"
"Kamar gue yang mana?"
Radithya menggelengkan kepalanya, "Di atas, paling ujung, sebelah kamar gue. Gila sih, gak pernah gue liat orang sededikasi ini buat akting. Fix lo pemeran utama terbaik piala citra 2013," ujar Radithya sembari menunjukkan dua jempolnya ke wajah Lareina.
"Tahun 2013 gue belum jadi artis, tapi tahun 2020 kemarin gue menang pemeran wanita utama terbaik." balas Lareina lalu pergi menuju kamar yang ditunjuk oleh Radithya.
Lareina mengitari sebuah ruangan berbentuk persegi berukuran sedang yang disebut dengan kamarnya itu. Sederhana dan dihiasi berbagai pernak-pernik serba pink. Lareina tidak suka warna pink atau warna-warna terang lainnya. Ia lebih suka warna-warna netral seperti putih, hitam, beige, dan warna lainnya agar suasana kamarnya terkesan minimalis dan bersih tetapi mewah.
Gadis itu menghampiri meja belajar yang penuh dengan berbagai buku. Ia mengambil sebuah map besar yang bertuliskan laporan hasil belajar atau rapot. Lareina tersenyum puas ketika melihat nilai-nilai yang semuanya di atas 90. Setidaknya ia dan Lareina dari semester berbeda ini memiliki persamaan, sama-sama siswi berprestasi. Namun, senyumnya memudar ketika ia melihat kolom peringkat di setiap rapot semester yang semua bertuliskan peringkat ke-2 dari 105 siswa.
Lareina mengernyitkan dahinya, "Apa-apaan nih ranking dua?" Lareina pun bergegas keluar kamar dan membuka dengan kencang pintu kamar yang ada disebelahnya , kamar Radithya.
"Astaga kaget! Rei! Ketok dulu bisa gak sih kalau mau masuk?" tanya Radithya yang terjatuh dari kursi belajarnya karena terkejut.
Lareina menghiraukan pertanyaan Radithya lalu menunjukkan rapot yang sedang ia pegang, "Kenapa gue ranking dua disini?" tanya Lareina emosi.
Radithya melongo mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut sepupu perempuannya itu, "Rei, lo ngedobrak pintu gue cuma buat nanya gituan?"
"Gak usah balik nanya! Jawab."
"Karena lo pinter, makanya lo ranking dua. Puas?"
"Gak. Kalau gue pinter, kenapa gue gak ranking satu? Seumur-umur, gak pernah gue ranking dua."
Radithya menghembuskan nafasnya yang terasa berat hari ini karena harus meladeni tingkah aneh Lareina, "Mungkin, karena ada yang lebih pinter dari lo. By the way aja nih, agak gak sopan ya ngeluhin ranking dua ke orang yang rankingnya 87," jawab Radihtya dengan sisa tenaganya.
"Siapa yang ranking satu?"
"Sean."
"Sean? Anak yang tadi bareng gue ke ruang guru? Ketua kelas?"
Radithya hanya mengangguk. Biasanya, Radithya selalu memiliki kalimat untuk membalas Lareina, tetapi kali ini ia memilih untuk mengiyakan perkataan gadis itu karena sudah muak. Sedangkan Lareina yang sepertinya sudah mendapatkan jawaban yang ia inginkan pun langsung keluar dari kamar Radithya.
"Kampret," ujar Radithya yang melihat Lareina yang keluar begitu saja tanpa menutup kembali pintu kamarnya.
…
"Jangan lupa besok ada simulasi try out, hasil sama ranking langsung ditempel di mading setelah simulasinya," kata Mama Lareina sembari menyendokkan nasi ke piring Lareina."
"Eh, Ma, aku gak makan nasi. Biasanya, kan, buah," ujar Lareina bingung ketika piring dihadapannya sudah dipenuhi dengan nasi.
"Ngaco. Mana ada kamu gak makan nasi. Jangan sok-sokan diet, nanti kalau maag kambuh, Mama-Papa yang repot," tukas Papa Lareina.
Radithya hanya terkekeh melihat Lareina di ceramahi oleh Om dan Tantenya. Pukul tujuh malam adalah waktu yang biasa mereka gunakan untuk makan malam bersama. Lareina tidak ingat kapan terakhir kali ia makan malam bersama keluarganya di rumah. Lareina dan kedua orang tuanya selalu sibuk. Meskipun ada waktu untuk makan bersama, mereka selalu makan di restoran mahal dengan pemandangan Kota Jakarta dari lantai 40. Jarang sekali ia melihat Mamanya memasak makanan rumah.
"Tante, kok baru masuk udah ada try out lagi sih? Kan belum beres belajar pelajaran kelas 12-nya? Mau jawab apa nanti pas try out?" protes Radithya.
"Buat nguji kemampuan kalian lah. Kelas 12 itu gak lama, paling cuma satu semester. Sisanya, kalian sibuk ujian-ujian. Udah dipersiapkan dari kelas 11 harusnya."
Lareina menangguk setuju dengan perkataan Mamanya. Sedangkan Radithya hanya mangut-mangut malas.
"Eh, tadi Mama bilang ada perankingan?" tanya Lareina.
"Iya, ada. Mama gak khawatir sih sama kamu. Radit nih yang jadi masalahnya. Belajar, Dit, setidaknya bisa 50 besar aja, pasti Mama kamu seneng."
"Ih, Tante, aku lagi yang kena. Iya-iya belajar. Rei, minjem catetan lo dong, mau gue pelajarin," pinta Radithya.
Lareina mengembangkan senyumnya ketika mendengar kata perangkingan. Ia berdiri dan pergi begitu saja yang membuat Mama, Papa, dan Radithya menatapnya heran.
"Lareina! Kamu mau kemana? Gak makan?!" teriak Mamanya yang masih duduk terpaku.
"Belajar!" balas Lareina berteriak tanpa sembari melanjutkan langkahnya menjauh dari meja makan.