Lareina menunggu kedua orang tuanya menyelesaikan pekerjaan mereka sebagai staf sekolah bersama dengan Moezza yang juga belum dijemput oleh Papanya. Radithya tentu saja ikut menunggu karena pria itu mengikuti kemana Lareina berada.
Mereka memutuskan untuk menunggu di kantin sekolah yang sudah mulai sepi dan hanya diisi oleh beberapa murid yang sibuk bergosip satu sama lain. Letak kantin berdekatan dengan lapangan sehingga suara sorakan murid-murid perempuan sedang menyemati anggota ekstrakulikuker basket yang sedang berlatih dari arah lapangan terdengar sangat jelas sampai ke kantin
Lareina tidak menghiraukan suara bising itu dan terus memainkan sedotan yang tenggelam dalam segelas jus stroberi dalam keadaan melamun. Lareina sedang memikirkan kejadian siang tadi. Ia tidak menyangka bahwa ia mengiyakan persaingan merebutkan pria yang terlalu kekanak-kanakan untuk dilakukan oleh seseorang yang sudah berusia 26 tahun. Namun, mungkin karena Lareina sendiri memang kekanak-kanakan dan memiliki jiwa kompetitif tinggi, ia dengan mudahnya menyetujui persaingan tersebut dengan alasan Aradia merupakan orang yang menarik.
Ingatan itu membuat Lareina akhirnya tidak bisa menahan tawanya. Radithya dan Moezza saling bertatapan bingung ketika melihat Lareina yang tertawa tanpa sebab.
"Eh, Rei, lo kenapa ketawa-ketawa sendiri? Jangan bikin takut deh, udah sore nih," sahut Radithya dan menghentikan kegiatan menyantap baksonya.
"Gue deket sama lo berdua, kan" tanya Lareina kepada Radithya dan Moezza yang masih kebingungan.
"Deket lah. Ini aja duduk mepet bertiga," jawab Radithya polos.
Lareina memukul bahu Radithya pelan, "Bukan itu. Maksud gue, kita temen deket gitu, kan?"
Moezza mengangguk sedangkan Radithya menatap Lareina dengan tatapan jijik, "Ogah banget gue jadi temen lo."
"Radithya, lo bacot sekali lagi, gue usir dari rumah."
"Udah, jangan berantem. Emang kenapa, Rei, tiba-tiba nanya gitu?" ujar Moezza lalu menyedot jus jeruk yang ada dihadapannya.
"Emang gue suka sama Sean, ya?"
Byurr…
Pertanyaan Lareina itu membuat Moezza menyemburkan jus jeruk yang baru saja ia minum. Radithya pun tidak kalah terkejutnya hingga tidak jadi menyendokkan bakso ke mulutnya.
Moezza mengelap mulutnya yang penuh dengan jus jeruk, "Hah? Gimana? Lo suka sama siapa?" tanya Moezza terkejut.
"Sean. Lo gak pernah denger gue ngomongin itu anak gak?" Lareina pun kembali bertanya.
"Lo sekelas sama Sean aja baru tahun ini. Kayaknya pas kelas 10 sama 11, lo gak pernah nyebut dia deh. Kenalan aja baru minggu kemaren," jelas Moezza.
Radithya memperhatikan Lareina dengan seksama, "Lo suka sama Sean?"
Lareina menggeleng, "Gak. Lebih tepatnya gak tau sih."
"Lah, yang bener aja lo, Rei. Masa gak tau sih?" tanya Moezza.
"Gue sih gak suka. Tapi gak tau gue yang di dimensi ini suka ama itu anak apa enggak."
"Boleh tolong pakai bahasa yang bisa dingertiin sama umat manusia gak?" pinta Radithya kembali menyendokkan bakso ke mulutnya.
Lareina mengerutkan dahinya dan menggunakan otaknya untuk berpikir, "Kalau misalkan gue gak suka, gak mungkin, kan, gue saingan sama Aradia buat deketin Sean. Duh, gak paham banget dah gue."
"Uhuk…uhuk…" Kalimat Lareina membuat Radithya tersedak bakso yang sedang ia makan. Dengan segera, Moezza memberikan minum kepada Radithya.
"Apa? Saingan apa?" tanya Moezza dengan segala ekspresi kebingungannya.
"Males ngulang. Lo denger gue, kan?"
Setelah selesai dengan insiden tersedak bakso, seketika wajah Radithya menjadi muram. "Aradia suka sama…Sean…," ucap Radithya dengan nada sedih yang terdengar jelas.
"Kalau lo sampe saingan sama Aradia, berarti lo suka sama Sean si harusnya," balas Moezza lalu menoleh ke arah Radithya yang masih terlihat sedih dengan fakta bahwa Aradia suka dengan Sean, "Sabar ya, Dit. Emang lo tuh gak cocok sama Aradia Hahaha," tawa Moezza.
Moezza tiba-tiba terdiam lalu merasakan terdapat sesuatu yang janggal, "Tunggu, lo kok gak bilang-bilang kalo lo saingan sama Aradia buat dapetin Sean? Terus, masa lo gak inget kalo lo suka sama Sean atau engga? Terus lo tadi ngomong seakan-akan lo gak inget pernah ada percakapan soal saingan sama Aradia. Belakangan ini juga lo nanya-nanya mulu seakan lo gak inget apa-apa. Lo kenapa deh, Rei?" Moezza menghujam Lareina dengan berbagai pertanyaan setelah menyadari keanehan temannya itu.
"Gue juga ngerasa sifat lo berubah. Lebih…nyeremin. Dulu kan lo tipikal anak diem." lanjut Moezza.
Lareina menghela nafasnya. Akhirnya seseorang akhirnya menyadari bahwa ia ia tidak sedang berakying. Ia tahu bahwa tidak akan ada yang percaya jika ia mengatakan bahwa ia seorang penjelajah waktu yang berasal dari dimensi yang berbeda.
"Anggep aja gue yang dulu bukan gue yang sekarang," jawab Lareina pasrah.
"Dih, emang lo tegar. Kayak lagu aja, aku yang dulu bukanlah yang sekarang," celetuk Radithya yang akhirnya kembali bersuara.
"Pada ngomongi apa sih serius amat? Pulang sana."
Suara yang datang dari arah belakang membuat ketiganya terdiam. Orang itu adalah Sean dengan rambut berantakannya dan sudah tidak menggunakan kemeja seragam, melainkan hanya kaus putih penuh keringat.
"Eh, Sean. Gak ngomong apa-apa kok, ini nunggu dijemput baru kita bisa pulang," ujar Moezza yang sedikit terkejut dan berusaha untuk berbicara tanpa terbata-bata.
Sean kemudian duduk di kursi hadapan mereka lalu meminum air mineral dari botol plastik yang ia bawa. Lareina menatap Sean dan tanpa sadar sudah menopangkan dagunya. Lareina sedikit merasa berdosa karena menikmati pemandangan yang sayang untuk dilewatkan ini. Logikanya mengatakan bahwa pria dihadapannya ini adalah remaja berusia 17 tahun dan ia merupakan wanita dewasa yang berusia 26 tahun. Tetapi Lareina memutuskan untuk menghirauka logika tersebut dan terus menatap Sean.
"Lo punya hobi ngeliatin gue deh kayaknya," ujar Sean yang tersadar bahwa gadis didepannya ini terus menatapnya.
Lareina hanya tersenyum kecil lalu menolehkan pandangannya, "Bukan kayaknya, emang iya."
Moezza dan Radithya yang melihat tingkah blak-blakan Lareina itu menutup wajah mereka karena malu.
…
Lareina membuka laci kamarnya satu-satu. Setelah puas mengerjakan latihan soal untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi, Lareina itu berniat untuk menggeledah kamarnya. Berusaha untuk lebih mengenal kembaran beda tahun dan dimensinya ini.
Walaupun dalam hatinya enggan, tetapi mau tidak mau ia harus menjalankan hidupnya sebagai gadis berusia 17 Tahun selama waktu yang tidak bisa menentukan. Setidaknya dengan sedikit mengenal gadis ini, kemungkinannya untuk beradaptasi dengan kebidupan ini lebih mudah.
Buku dengan sampul kanvas berwarna cokelat dan bertuliskan 'My Life Journal" yang berada di laci kedua yang terletak disamping kamarnya itu berhasil membuat Lareina bergidik geli. Ia mengambil buku yang ia tebak sebagai diary atau buku hariannya.
Lareina membuka halaman pertama. 17 Juli 2002. Buku harian tersebut telah ada ketika ia masih berada di bangku kelas satu SD. Lareina mendudukan dirinya dikasur, mencari posisi ternyaman untuk membaca buku harian ini. Gadis itu hanya tertawa kecil karena kehidupan yang tertulis di buku harian ini sangat berbeda. Lareina di dimensi ini terlihat seperti anak normal pada umumnya yang kehidupannya hanya dihabisi dengan sekolah dan bermain. Berbeda dengan dirinya yang sudah disibukkan dengan berbagai macam latihan dan pertandingan.
Halaman demi halaman Lareina terusuri dengan cermat. Dan sampailah ia di tahun 2011, tahun dimana ia resmi menjadi siswi SMA tahun pertama. Tidak ada yang terlalu mengejutkan dari isi buku harian di tahun itu, hanya berisikan curhatan Lareina mengenai sulitnya beradaptasi dengan lingkungan dan teman-teman baru di bulan pertama, hingga ia akhirnya berteman dekat dengan Moezza.
Lareina terus membalikan halaman dari buku harian tersebut dan menemukan tanggal 5 Juni 2012. Tanggal dimana dibagikannya rapor kenaikan kelas dari kelas 10 ke kelas 11. Di dalam halaman itu, Lareina mengeluh bahwa nilainya menurun sebesar dua poin dari semester pertama.
Lareina mengernyitkan dahinya ketika melihat sesuatu yang menarik, yakni terdapat nama Sean dan kata 'suka' dalam sebuah kalimat di paragraf terakhir. Lareina tersenyum menyadari bahwa memang benar bahwa 'dirinya' di dimensi ini menyukai Sean, bahkan sebelum kenaikan kelas 11.
Lareina kembali membalikkan halaman buku harian dengan semangat. Ia tertawa ketika melihat alasan Lareina di dimensi ini menyukai Sean dan bagaimana buku diari ini menjabarkan sosok Sean. Benar-benar seperti pengenalan karakter pemeran utama pria dalam drama sekolahan.
Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Lareina berhenti membaca dan meletakkan kembali buku harian itu ke dalam laci. Gadis itu kembali tersenyum kecil sembari berpikir bagaimana cara mendekati Sean.
Tentu saja Lareina tetap tidak menyukai Sean, ia ingin mendekati Sean karena persaingan yang ia lakukan dengan Aradia. Gadis itu tidak akan membiarkan orang yang mengambil semua gelar yang ia milikinya mendapatkan semuanya dengan mudah. Tetapi setidaknya dengan pengakuan suka yang ada di diari ini, Lareina memiliki alasan yang lebih valid dibandingkan hanya sekedar iri.