Bel sekolah berbunyi sebanyak empat kali. Menandakan bahwa jam pelajaran terakhir telah berakhir. Semua murid kelas 12-A sibuk membereskan meja belajar mereka dan memasukkan buku-buku ke dalam tas. Bersiap untuk pulang.
"Oh iya, untuk ketua dan wakil ketua kelas, jangan pulang dulu. Ada rapat mengenai informasi yang mau disampein sama kesiswaan. Kalian bisa langsung ke ruang multimedia abis ini, ya," ujar Pak Ali, guru pengajar geografi kelas 12.
Sean mengangguk mengiyakan, sedangkan Lareina menghela nafasnya keberatan. Belum saja memasuki dua minggu ia berada di kelas ini, tugasnya sebagai wakil ketua menambah beban hidupnya yang sudah berat sejak awal.
"Tante sama Om mau ke rumah sakit dulu, kan, ya? Berarti gak bisa anter pulang dong," tanya Radithya yang masih sibuk memasukkan buku-buku yang ada di meja ke dalam tasnya.
"Iya. By the way, gue gak tau ini rapatnya lama atau engga, jadi lo pulang duluan aja," balas Lareina.
"Gak mau gue tungguin aja?"
"Gak usah. Gue bisa pulang sendiri."
"Ya udah, kalau ada apa-apa, telepon gue aja ya," ujar Radithya yang dibalas dengan anggukan oleh Lareina.
Sean menghampiri bangku Lareina, "Ayo ke multimedia."
Sesampainya di ruang multimedia yang terletak di lantai satu, ruangan tersebut telah dipenuhi dengan ketua dan wakil ketua dari berbagai kelas. Namun, ada satu sosok yang membuat pandangan Lareina terpaku, Aradia. Lareina tersenyum kecil lalu menarik Sean untuk duduk di kursi yang berdekatan dengan Aradia dan kebetulan kosong.
Tatapan Aradia menuju pada Sean dan Lareina yang datang mendekatinya. Terlihat ekspresi wajah Aradia yang berusaha menahan kesalnya dan tersenyum manis yang dipaksakan.
"Halo, bro! Eh, ada Lareina, halo juga," sapa pria yang duduk disebelah Aradia kepada Sean dan Lareina.
Sean melakukan tos dengan pria itu. Lareina yang tidak tahu siapa pria yang ikut menyapanya itu hanya terdiam tidak peduli.
Sean mencubit pelan lengan Lareina, "Kalo disapa, ya, sapa balik dong orangnya. Jutek amat," protes Sean yang membuat Lareina menatapnya dengan tatapan bingung dan sedikit terkejut karena pria itu bertingkah sama persis seperti Mamanya yang ada di dimensi ini.
Namun, Lareina tidak bisa berkata apa-apa selain menyapa pria itu, "Hai…" Lareina menghentikan kalimatnya label nama yang tertempel di seragam pria yang disapanya, "…Dion," lanjut Lareina kepada pria bernama Dion.
Dion tertawa kecil, "Lupa lo sama nama mantan temen sekelas?" tanya Dion.
Lareina kembali terdiam. Ia benar-benar malas meladeni pertanyaan Dion. Apalagi pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan Lareina di dimensi ini, bagaimana gadis itu bisa mengingatnya. Untungnya, Lareina tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut karena staf dari kesiswaan telah datang dan rapat pun dimulai.
Rapat yang berlangsung selama kurang lebih satu jam itu hanya membahas mengenai jadwal try out dan pemantapan kelas 12 yang akan dilaksanakan selama satu tahun ke depan. Lareina tidak terlalu memperhatikan informasi tersebut, lagipula sudah ada Sean yang sibuk mencatat segala hal yang diucapkan oleh staf kesiswaaan. Ia hanya cukup menyetorkan muka dan bermain ponsel di bawah meja agar tidak ketahuan.
Selama rapat, Lareina mengetahui bahwa Aradia dan dion merupakan ketua dan wakil ketua dari kelas 12-B. Ia juga pernah menjadi teman kelas Dion saat duduk di bangku kelas 10. Lareina juga sampai mengetahui bahwa Dion adalah tetangga dan teman dekat Sean.
Lareina, Sean, Aradia, dan Dion keluar dari ruangannya multimedia dan menuju gerbang sekolah berbarengan.
Dion menepuk bahu Sean yang membuat pria itu menoleh kepadanya, "Besok jadi main di rumah gue, kan?"
Sean mengangguk hanya mengangguk. Aradia yang sedari tadi belum memiliki kesempatan untuk berbicara dengan Sean pun mendekatkan dirinya pada Sean.
"Sean, lo ikut kompetisi literasi numerosasi bulan depan juga, kan? Kapan-kapan belajar bareng yuk," ajak Aradia dengan penuh harap.
"Liat nanti. Kalau ada waktu, boleh aja," balas Sean kembali menggunakan nada cueknya sudah seminggu ini Lareina tidak dengar. Terakhir kali ia mendengar Sean berbicara dengan sikap sok dinginnya itu adalah seminggu lalu, ketika mengajaknya untuk mengumpulkan tugas dari Miss Nada ke ruang guru.
Tersirat kesenangan dalam ekpresi wajah Aradia ketika mendengar jawaban dari Sean. Sedangkan Lareina hanya tertawa kecil, melihat 'saingannya' itu mulai melancarkan aksinya. Ia tidak menyangka bahwa Aradia akan seserius ini hanya untuk dekat dengan Sean.
"Dah gelap aja nih," keluh Dion ketika melihat langit sore yang mulai menggelap meskipun waktu masih menunjukan pukul lima sore. "Pulang bareng gak?" lanjut Dion bertanya pada Sean.
"Lo duluan aja."
Setelah mendengar balasan dari Sean, Dion langsung pergi meninggalkan teman-temannya itu dan menuju ke tempat parkir kendaraan. Aradia yang telah dijemput oleh supirnya menggunakan mobil juga pamit dan menyisakan Lareina dan Sean yang masih belum beranjak dari gerbang sekolah.
Lareina membuka tasnya untuk mengambil dompet. Gadis itu tertegun ketikan melihat keadaan dompetnya yang hanya memiliki uang pas-pasan. Niat gadis itu untuk menggunakan taksi sebagai transportasi yang akan mengantarkannya pulang pun harus sirna.
"Lo gak dijemput?" tanya Sean pada Lareina yang masih meratapi keadaan dompetnya.
Lareina menggeleng, "Gak. Udah pada pulang duluan."
"Terus lo pulang pake apa?"
"Tadinya mau naik taksi cuma gue lupa bawa uang lebih. Naik angkot…" Gadis itu menghentikan kalimatnya. Ia cukup trauma menggunakan angkutan kota yang sempit dan dipenuhi dengan berbagai spesies aneh didalamnya.
"Mau gue anter pulang? Gue bawa motor. Serem juga anak cewek pulang sendirian sore-sore gini," tawar Sean yang membuat Lareina sedikit terkejut.
Lareina menyadari bahwa kepribadian Sean sedikit mirip dengan tokoh protagonis dalam proyek film yang harusnya ia kerjakan sekarang. Tipikal senior berkepribadian dingin, blak-blakan, tetapi sebenarnya ia memiliki hati yang hangat. Tsundere mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Sean. Tak hanya kepada dirinya, tetapi juga kepada teman sekelasnya. Gadis itu mengetahui bahwa Sean adalah seorang tsundere karena terlalu sering memperhatikannya di dalam kelas. Terima kasih kepada persaingan yang ia lakukan dengan Aradia yang membuatnya menjadi seperti ini.
Gadis itu tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Membuat Aradia cemburu dan kepanasan adalah tujuan utamanya. Lagi pula, tumpangan gratis tidak akan membuatnya rugi.
"Gak ngerepotin?" tanya Lareina basa-basi.
Sean menggeleng, "Gak. Lo tunggu disini. Gue mau ambil motor."
Setelah 20 menit bertarung dengan angin yang berhembus karena kencangnya kecepatan motor yang dibawa oleh Sean, mereka akhirnya sampai di rumah Lareina. Ternyata, Radithya telah menunggu di halaman rumah dengan wajahnya yang sedikit cemas.
"Lama banget sih lo, Rei? Gak ada nelpon-nelponnya lagi nih anak," protes Radithya segera menghampiri sepupunya itu.
"Ya mana gue tau rapatnya lama. Bacot ah, udah nyampe juga ini,"
Radithya akhirnya menyadari kehadiran Sean, "Eh, Sean? Lo nganter Lareina?" tanya Radithya.
"Kasian sepupu lo katanya mau naik taksi tapi kurang duit. Baik, kan, gue," canda Sean yang alhasil mendapat pukulan ringan dari Lareina.
"Makasih banget ya. Takut juga gue kalo dia pulang sendirian naik angkot. Takut berantem lagi sama ibu-ibu di angkot Hahaha," ujar Radithya ikut menimpali candaan Sean.
Yang dibicarakan hanya terdiam pasrah. Lareina pun memberikan helm yang ia gunakan pada Sean, "Makasih ya. Sorry ngerepotin."
"Santai. Gue pulang ya."
Radithya kembali menyadari sesuatu. Ia ingat bahwa rumah Sean berlawanan arah dengan rumah mereka. Radithya hanya tersenyum mengingat fakta itu lalu kembali berterima kasih kepada Sean.
"Hati-hati di jalan, Bro!" sahut Radithya kepada Sean yang sudah menyalakan mesin motornya dan pergi menjauh dari rumah Lareina.
Lareina dan Radithya bergegas masuk ke dalam rumah karena langit pun sudah makin menggelap. Lareina duduk di sofa empuk yang terdapat di ruang tamu sembari memijat bahunya yang terasa pegal. Radithya pun ikut duduk disampingnya.
"Lo mau tau sebuah fakta gak, Rei?" tanya Radithya dengan nada sok misterius.
"Fakta apaan?"
"Rumah Sean tuh berlawanan arah sama rumah kita."
Lareina yang memejamkan matanya dan masih sibuk untuk memijat bahunya itu membelakan matanya terkejut, "Serius?"
Radithya tersenyum lalu mengangguk, "Rumah dia sedaerah sama tempat bimbel kita, tapi lebih jauh lagi."
Lareina tersenyum tanpa sepengetahuannya sendiri. Entah mungkin karena gadis itu kembali ke masa remajanya dimana mudah sekali untuk merasa tersipu atau karena Lareina di dimensi ini memang memiliki perasaan suka pada Sean, jantung Lareina berdetak lebih kencang dari biasanya.
"Fix, Rei, lo suka sama Sean. Senyam-senyum gitu," ujar Radithya membuyarkan lamunan Lareina.
Lareina mengembalikkan wajah datarnya dan berusaha untuk mengatur kecepatan detak jantungnya, "Suka sih enggak, tapi jujur gue sedikit baper. Lo anak bocah tau apaan soal suka-sukaan," ucap Lareina kemudian pergi menuju kamarnya meninggalkan Radithya.
Radithya memperhatikan Lareina yang semakin menjauh, "Baper? Istilah baru apaan lagi itu?"