"Bi Nasmi, syukur dah bibi sudah pulang. Ini siapa?"
"Perkenalkan saya Naya tetangga bi Nasmi dan juga Raya,"
Bu Amel terperangah. Belum siap jika harus ada yang tahu tentang keadaan Raya.
"Maaf Bu. Saya mau kuliah di kota ini. Saya sudah menemukan kontrakan tapi, saya ingin mengantarkan bi Nasmi juga karena suaminya sedang kurang sehat,"
"Oh iya Nak," sahut Bu Amel seraya tersenyum getir.
"Tadi kamu denger?"
"Nggak semua sih Bu. Emngnya Raya kenapa?" tanya Aya lirih. Bu Amel menarik Naya dan memohon maaf ke orang yang tadi bersedia merawat Raya itu karena tidak jadi.
Axel mengantarkan wanita tadi yang dikenalkan Security. Bu Amel meminta agar bi Nasmi istirahat terlebih dahulu.
Bu Amel bercerita dengan deraian air mata yang terus mengalir. Naya menutup mulut tak percaya dan buliran bening juga tumpah tak tertahan.
"Tolong, jangan bilang dulu ke Ayah Raya. Biar nanti kami kesana dan akan melamar Raya. Bi Nasmi juga yan kamu jangan cerita kasihan. Bi Nasmi tuna rungu yang harus jadi tulang punggung. Aku nggak tegak kalau bi Nasmi tahu!"
"Iya Bu. Bu izinkan aku untuk menjaga Raya! Gak apa-apa kan Bu aku tuk sementara waktu tinggal disini terlebih dahulu. Setelah Raya membaik maka aku akan tinggal dikontrakkan,"
"Iya sayang. Terima kasih bangat. Emang itu yang ingin aku sampaikan," sahut Bu Amel sambil menggenggam erat tangan Naya.
Naya berusaha mendekatkan diri ke Raya. Mata Raya berbinar melihat Naya ada disampingnya. Naya memeluk erat Raya yang diam saja tak ada respon.
"Ra, ini aku Naya. Kita kan NaRa alias Naya dan Raya," kata Naya berusaha ceria. Axel dan Bu Amel yang mengintip di pintu kamar pun menitikan air mata.
"Ara," ucap Raya seraya menelisik Naya.
Naya tidur dikasur Raya dan Raya pun mengikuti. Keduanya tidur dalam keadaan saling memeluk.
***
Pak Bryan menunggu di Bandara lumayan lama. Akhirnya Axel dan Bu Amel tiba juga. Setelah melepas rindu saling memeluk Pak Bryan sekeluarga masuk mobil.
"Tumben ini anak Papah ikut jemput. Biasanya kan nggak mau peduli," seloroh Pak Bryan sambil membenamkan kepala Bu Amel ke dadanya.
"Salah mulu," sahut Axel yang sedang mengemudi.
"Emang mang Darman kemana?"
"Ada Pah. Tapi, aku lagi mau jemput Papah," jawab Axel.
"Pasti nih ada apanya. Iya kan? Kamu mau beli apa emangnya, mobil baru atau ponsel baru?" celoteh Pak Bryan yang biasanya disambut bahagian oleh Axel yang jarang berinteraksi dengan Papahnya itu. Namun, kali ini Axel kurang bersemangat.
Sampai rumah Axel terkejut. Ada Kiara dan kedua orangtuanya di ruang tamu. Kata Naya mereka sudah sepuluh menitan yang lalu menunggu.
Meski Pak Bryan badannya capek luar biasa tapi, karena tidak enak hati dengan Ayah Kiara dengan terpaksa ikut bergabung di ruang tamu.
"Ada apa nih tumben?" tanya lelaki blasteran Jawa Eropa itu.
"Gini Pak Bryan. Kami kesini mau ngebahas anak kita!" jelas Ayah Kiara.
Axel dan Bu Amel saling menatap. Pak Bryan membulatkan mata saat melihat Naya meletakkan jamuan untuk tamu.
"Siapa ini yang?" tanya Pak Bryan ke Bu Amel sambil menunjuk Naya.
"Saya pembantu tambhan Pak," jawab Naya lalu berlalu pergi.
Bu Amel tersenyum kaku dan mengangguk. Bu Amel dengan ramah meminta agar para tamu mencicipi hidangan yang disajikan.
"Begini Pak. Kita lanjut lagi ya!"
"Iya," jawab pemilik rumah serempak.
"Ki—a m ... Dia tadi diperiksa dan hasilnya positif. Sudah tiga rumah sakit kami datangi," lirih Ayah Kiara berucap dengan kepala tertunduk.
Pak Bryan memandang nyalang Axel. Axel pun terkejut begitu juga Bu Amel.
"Ki, kita nggak pernah sejauh itu Ki. Aku nggak pernah berhubungan badan denganmu!" kilah Axel seraya berdiri hendak pergi.
Pak Bryan meminta Axel untuk duduk. Pak Bryan meminta agar Kiara yang berbicara.
"Gini Om. Kayaknya Axel lupa kita pernah melakukannya saat jalan-jalan di Bali itu. Axel memaksaku dan bilang akan bertanggung jawab,"
Axel meraup wajah lalu mengacak rambut frustasi. Urusan dengan Raya saja belum kelar sekarang bertambah pengakuan dari Kiara sang kekasih yang sudah dua tahun itu.
"Bagaimana Pak?"
"Yasudah, mereka harus segera menikah! Aku tidak mau menanggung aib jika anak tunggalku jadi lelaki yang tidak bertanggung jawab."
"Terima kasih Pak. Kami mohon untuk segera melamar putri kami!" pinta Ibu Kiara dengan memohon.
"Pasti," jawab Pak Bryan tegas. Axel menatap nanar Papahnya dan menggeleng.
Naya yang sedang membantu bi Nasmi mencuci piring terus menitikan air mata. Memikirkan nasib sahabatnya itu.
Naya kembali menguping saat melihat ketiga pemilik rumah menuju ruang keluarga.
"Pah, harus bagaimana kita?" kalut Bu Amel.
"Apa sih Mah. Semuanya kan sudah jelas. Lusa kita akan menemui keluarga Kiara dan pernikahannya dipercepat saja," terang Pak Bryan semakin membuat Axel frustasi.
"Pah, aku benar-benar tidak mengingat sama sekali saat bersama Kia. Dan nggak ada buktinya juga kan. Nah Pah. Papah harus tahu aku harus segera menikahi Raya Pah. Dia wanita polos yang sudah aku nodai. Aku pun ingat walau nggak semuanya. Aku menyesal Pah hukhukhuk."
Kejujuran Axel membuat Pak Bryan bingung tak mengerti. Meminta penjelasan sang istri. Bu Amel pun secara perlahan menerangkan.
Pak Bryan marah luar biasa. Dia mendaratkan beberapa layangan keras di wajah Axel. Bu Amel berteriak dan memegang kaki suaminya.
Bi Nasmi mendengar keributan ikut melihat dibalik tembok bersama Naya yang sudah dari awal menyaksikan.
"Memalukan kamu Xel! Papah tidak setuju kamu harus menikah dengan seorang pembantu!" geram Pak Bryan dengan wajah memerah.
"Pah, nggak boleh gitu," Bu Amel mencoba mengingatkan. Bukannya semakin reda kini Bu Amel pun kena dampratan Pak Bryan.
Axel tidak terima dan melawan saat melihat Mamahnya disakiti. Naya menghampiri dan ikut melerai pergulatan anak dan Papah itu terjadi.
"Siapa kamu ikut campur dasar orang miskin gak tahu diri!" omel Pak Bryan dengan jari telunjuk mengarah ke wajah Naya.
Naya tidak gentar dia mengelus punggung Bu Amel dan saat Bu Amel memintanya untuk masuk kamar barulah Naya pergi dan melangkahkan kaki ke arah kamarnya.
"Makanya kalian itu harus nurut sama semua ucapan Papah. Agar tidak jadi seperti ini. Xel kamu putra tunggal Papah. Papah akan lakukan apa pun untuk masa depanmu yang cemerlang. Kamu menikah dengan Kiara dan urusan Raya biar nanti Papah yang akan ke rumah orangtuanya untuk memberikan ratusan juta sebagai ganti rugi!"
"Pah, apa-apa tuh nggak bisa selesai hanya dengan uang Pah. Apalagi Axel cukup akrab dengan Raya Pah. Axel merasa tidak enak hati," kilah Axel tak terima dengan usul Papahnya itu.
"Xel. Kamu ikuti perkataan Papah. Kalau enggak maka Mamahmu akan Papah siksa! Lagian KIA yang hamil Xel bukan Raya. Kadi yang lebih berhak atas tanggung jawabmu ya Kiara."