"Sombong amat itu orang kaya!" pekik Naya sambil mengelus lengan Raya yang sakit itu.
"Itu mobil Tuan Axel Nay," terang Raya dengan suara lirih.
"Apa?" Naya sungguh kaget luar biasa.
"Iya. Aku hapal semua plat dan jenis mobil dari ketiga majikanku Nay."
"Sabar ya Raya! Benar kata kamu Axel sama saja seperti Ayahnya."
Kedua wanita yang segenerasi itu terus melangkah. Setelah menemukan mobil angkutan umum mereka pun naik.
Naya bertanya ke beberapa orang yang dia temui. Mencari temp
Mmmat kosan di sekitaran situ yang dekat ke kampusnya.
"Bi Nasmi terus kirim pesan nih!" kata Naya setelah keduanya duduk diwarung.
"Bilang saja. Kita udah dapat tempat. Biar Bi Nasmi gak khawatir lagi sama kita."
"Ra. Kalau orang tua kamu nanyain kamu ke Bi Nasmi bagaimana?"
"Makanya aku dari sekarang mau cari kerjaan. Biar ada alasan kalau aku sudah ganti kerjaan."
Setelah melepas rasa dahaga Raya dan Naya kembali berjalan. Mencari lokasi yang sudah diberitahu pedagang warung tadi.
Raya dan Naya tersenyum dikulum. Saat menemukan tempat yang emangnsesuai dengan mereka. Lingkungan perempuan serta bayaran perbulan murah. Walaupun berada di pemukiman dalam.
Raya masih banyak melamunnya dari pada sadarnya. Membuat Naya menatap sahabatnya itu dengan penuh iba.
"Ada aku!" bisik Naya setelah memasukan baju ke lemari yang telah tersedia.
"Aku udah gak gadis. Apa yang harus aku katakan nanti. Jika ada lelaki yang datang melamar."
"Kamu sih kegedean jual mahal. Terima saja tawaran Axel yang akan membiayai operasi keperawanan. Hanya itu jalan satu-satunya Ra. Karena kalau nikah kayaknya nggak deh. Axel jahat tadi pakai mobilnya seperti sengaja mau nabrak kamu."
"Aku butuh waktu dulu untuk menghindar dari keluarga itu. Setelah agak reda. Aku akan kesana untuk meminta itu kok Nay. Aku udah ngomong ke Bu Amel. Aku juga udah menandatangani sebuah perjanjian. Jika aku mau dinikahi tuan Axel maka aku akan dibelikan rumah. Sedangkan, jika aku nggak mau untuk menikah dengan Tuan Axel maka aku akan dibiayai untuk operasi keperawanan."
"Oh. Aku kira kamu akan sia-sia belaka. Kalau gitu aku agak tenang. Terus kenapa kamu kepikiran yang tadi?"
"Aku hanya berpikir jauh Nay. Kalau misal aku ada jodoh. Lalu tahu tentang masa laluku ini. Apa bisa menerima semuanya ini?"
"Bisalah Ra. Kamu kan korban. Bukannya atas dasar kenakalan kamu itu semua terjadi."
Raya memijit keningnya dengan pelan. Merasa pening dan mulai ada rasa takut dan mengerikan yang tubuhnya rasakan.
Naya mengelus punggung sahabatnya itu. Lalu membisikkan istighfar agar Raya tidak kembali terguncang kejiwannya.
Kamar yang hanya ada satu kasur, nakas dan lemari plastik empat loker menjadi tempat ternyaman bagi Raya.
Dalam satu rumah itu ada lima pintu kamar yang menjadi kosan khusus perempuan.
Raya mulai menata hidup dengan mencari pekerjaan ke beberapa tempat warung nasi, konter, grosir namun, semuanya belum butuh tambahan karyawan. Pendidikan yang hingga sampai SMA sungguh membuatnya terbatas dalam mencari pekerjaan. Sekalinya ada dipabrik akan tetapi, butuh biaya administrasi yang cukup banyak.
Raya harus membantu orang tua untuk mencari rezeky. Mengingat sang Ayah yang kerja serabutan serta Ibu penjual gorengan keliling sedangkan, adik punya dua yang sekolah. Raya tidak bisa diam dengan semua itu. Bisa saja dia kerja sambil kuliah. Namun, Raya memikirkan bagaimana nanti dengan kedua adiknya kalau dia kuliah?
"Belum dapat Nay," cebik Raya dengan menenkukkan bibir ranumnya itu.
"Sabar sayang. Nanti aku juga kan bantu kamu. Maaf aku lagi nyiapin untuk persyaratan kuliah dulu."
"Iya kamu pokus saja Nay. Aku lumayan enakan loh setelah banyak jalan. Ya agak mendingan aja gitu mutmet diotak dan hati ini!" ungkap Raya lalu menyerahkan nasi bungkus ke Naya.
"Syukur dah kalau gitu. Nanti malam kita jalan yuk!" ajak Naya lalu menutup laptop.
"Kemana?"
"Ya ke taman hanya sekedar cari angin ke tempat yang gratis."
"Ok." Sahut Raya
Kedua sahabat itu makan bersama. Raya mengambilkan minuman untuk berdua.
"Ra. Dalam perjanjian itu waktunya berapa bukan kamu untuk menuntut keluarga Bu Amel?"
"Dua bulanan. Itu sih yang Bu Amel ucapkan dan tuliskan dalam perjanjian,"
"Kalua misal kamu dalam dua bulan itu nggak nuntut apa-apa maka hangus?" tanya Naya dengan cemas.
"Nggak juga sih. Cuma aku nggak mau nikah. Intinya itu!"
Langit mulai berubah inangnya . Siang telah tergantikan dengan indahnya pekat di malam hari yang penuh bintang.
Raya dan Naya yang terlentang di atas rumput memandang bintang dengan penuh tatapan penuh harap. Harapan akan kebaikan hidup ke depannya.
"Aku akan ambil satu bintang itu!" ucap Naga seraya tangan kanannya ke atas seakan memetik satu bintang.
"Biar apa?" tanya Raya tanpa menoleh ke sahabat yang di sampingnya itu.
"Buat aku berikan ke kamu Ra. Aku ingin mewujudkan semua harapanmu!"
Raya dengan senyum lepas mulai menoleh ke Naya. Naya yang emang sudah menatap Raya dari awal pun tersenyum begitu manis.
"Gak kebayang kalau kamu nggak kesini Nay," ucap Raya beriring buliran bening yang keluar dari pelupuk matanya.
"Aku kesini emang udah diperintah yang kuasa Ra. Untuk menguatkan mu."
Naya membawa Raya untuk membeli kerak telor. Keduanya tertawa bercanda dengan Abang penjual kerak telur.
Memakan kerak telur dan terkadang saling suap menyuapi. Ada beberapa yang melirik mereka dengan tatapan yang menghakimi.
"Pasti kita dikira penyuka sesama melon," cebik Naya hingga keduanya tertawa.
"Oh iya. Makanya kita biasa aja Nay. Nanti akan menjadikan fitnah bagi siapa saja yang memandang kita."
"Iya mereka nggak tahu ya? Betapa kita ini lengketnya seperti prangko."
"Pulang yuk!" ajak Raya dan sebelum pulang keduanya membeli siomay dalam plastik. Berjalan bersisian menuju kosan sambil menikmati siomay.
Raya kembali mencari kerjaan. Naya membantu mencari serta menawarkan diri ke setiap tempat yang didatangi. Namun, nasib belum memihak ke Raya. Pulang ke kosan membawa lelah semata.
"Kamu besok gak usah ikut Nay?"
"Aku kan pengen sekalian menikmati udara luar Ra," elak Naya sambil mendekat sahabatnya ini.
"Kamu lupa? Besok kan kamu masuk kuliah,"
"Ya Allah aku lupa Ra." Ungkap Naya sambil menepuk keningnya.
Naya terkekeh karena merasa lupa. Padahal itu hari yang dinanti-nantinya itu akan tiba. Karena terlalu pokus ke sang sahabat. Membuat Naya lupa akan jadwal dirinya sendiri.
Raya kembali menapaki jalanan ibukota. Mencari kerjaan untuk sekedar menyambung hidup dan bisa ngirim ke kampung.
Langkah Raya memundur. Saat melihat sesorang yang ingin dia hindari itu.
"Raya?" Raya membalikkan badan. Kedua matanya membulat sempurna.