"Mid ... lo kenapa?"
"Harusnya yang tanya kayak gitu gue, bukan malah lo."
Tala hanya menatap dengan heran sembari ber-oh dengan santai. Tanpa dijelaskan sekalipun, dia sadar bahwa Hamid pasti memikirkan tindakan yang dilakukan oleh Pram tadi. Padahal ... dia hanya membisikan sesuatu. Meski pada akhirnya, kata yang Pram beritahu membuatnya sedikit terganggu.
"Kok lo cuman bilang oh?" tanya Hamid heran. "Jangan-jangan ..."
"APA?! Otak lo tuh bersihin dulu kenapa sih? Negatif thingking mulu sama gue. Pram Cuma bisikin sesuatu kalik."
"Ya apa? Kasih tahu gue coba."
"I-itu cuma ..." Tala raguu ingin melanjutkan menceritakan yang tadi dia dengar. "Rahasia."
Mendengar hal yang dia harapkan tidak diberitahu, Hamid hanya mendengus kesal. Ingin kembali bertanya, tapi percuma saja. Toh, hasilnya akan sama saja.
"Terserah lo!" balasnya singkat.
Sebuah notifikasi pesan masuk dari Wawan membuat Tala tidak sanggup berkata-kata. Sebuah video pendek yang harusnya terkirim pada Myesha. Berkali-kali Wawan mengirim pesan karena merasa bersalah. Namun, Tala hanya membaca pesannya tanpa membalas meski hanya satu kali saja. Yang ada dia hanya membaca, hal itu justru membuat Wawan semakin risau. Hingga akhirnya ...
Drrrt! Gawai Tala berdering nyaring. Berisik dan sangat mengganggu.
"Sudahlah, lagi pula ... Hariz sudah bahagia dengan Siska." Begitu kata Tala. Lalu diraihnya gawai menyentuh tombol hijau unyuk tersambung panggilan telepon.
"Halo ..."
"Astaga Tala. Akhirnya lo angkat telepon dari gue juga. Yaampun!" seru Wawan heboh. Tala hanya diam tidak bersuara. Sangat berbeda dari Tala yang dia kenal. Jika biasanya dia akan merespon gerutuan tipis dari Tala, maka berbeda halnya kali ini.
"La ... gue minta maaf. Gue salah krim tadinya mau—"
"Kenapa lo yang minta maaf? Gue malah mau bilang terima kasih. Setidaknya, enggak akan pernah lagi ada perasaan sesal sekarang. Hariz memang enggak cocok sama gue."
Wawan merasa sangat lega mendengar penjelasan yang Tala berikan. Meski begitu, Tala merasa tetap ada yang sesak dalam dada. Mengapa dia sampai tidak tahu bahwa Hariz seperti itu. Pada akhirnya dia menyadari hal lain. Hamid sangat sabar selama ini padanya.
"Lo lagi sibuk, enggak?"
"Cuma baca novel kok. Ada apa, Wan?"
"Bukan novel ... horor kan?"
Tala tergelak. Wawan sampai terkejut mendengarnya. Tala teringat bagaimana dia tidak sengaja menampar pipi Wawan saat itu.
"Soal waktu itu, maaf ya."
"Anggap saja kita impas. Lo tahu enggak kalau Pram—"
"Diem! Jangan gosip mulu, belajar sana!"
"Dih, iye. Babay!"
Panggilan suara lalu berakhir. Tala kembali membaca novel yang tadi dia pegang. Sayangnya, suasana hatinya sudah memburuk. Dia sudah berusaha merelakan Hariz dengan segala kesalahannya. Meski begitu, sesak masih sedikit terasa. Dia sendiri heran.
Dia memutuskan keluar dari kamar untuk melihat pemandangan yang tidak membosankan. Ayahnya sedang sibuk memancing bersama Bara. Sementara Bu Yasmin tengah sibuk dengan tanaman-tamannya di halaman belakang, menonton tv juga malas. Diraihnya sepatu olahraga biru-putih lalu dia memutuskan untuk lari sore.
"La, mau ke mana?" tanya bundanya saat melihat Tala baru saja selesai mengenakan sepatu olahraganya.
"Lari sore, Bunda, sekalian mau cari angin segar."
"Bunda mau titip beliin keripik singkong pedes tempat Mpok Leha, ya."
Tala hanya mengangguk, "iya."
Setelah itu dia berlalu pergi. Hariz masih tinggal di tempat yang sama, mereka masih bertetangga. Nahasnya mereka berpapasan saat tali sepatu Tala terlepas. Jika dulunya, dia adalah orang yang selalu mengenakan baju kaus atau seragam putih-abu. Kini dia mengenakan kemeja dan celana panjang hitam. Dia bekerja di perusahaan ayahnya Siska.
Saat ingin bangkit, tanpa sengaja gawai Tala nyaris terjatuh di aspal saat keluar dari saku celanaya. Jika bukan karena ...
"Astaga, hampir saja. Terima kas—" Tala terhenti kala melihat saiapa yang meraih gawainya itu—Hariz.
"Sama-sama. Kamu masih aja suka menjatuhkan barang ya?" balasnya dengan senyum yang mengembang. Bibirnya bisa tersenyum, tapi tidak dengan cara matanya menatap Tala. Sendu dan ... penuh sesal.
Tala membuang pandangan, tidak ingin menatap mata Hariz. Tentu saja dia masih kesal kala mengingat video pendek yang dikirim oleh Wawan.
"Apa kabar, Tala ..." mulai Hariz lirih.
"Aku baik. Seperti yang bisa kamu lihat."
Tala ingin berlalu pergi, tapi Hariz mencekal tangannya. Menatap dengan tatapan yang sendu. "Maaf, La."
"Untuk apa? Semua sudah terjadi, kan? Berbahagialah, Riz—"
"Bukan itu. Maaf karena saat seperrti inipun aku masih saja egois. Melihat kamu baik-baik saja tanpa aku, itu membuatku tidak bahagia."
Tala menatap dengan sinis, tidak menyangka. Bagaimana mungkin ada manusia egois seperti dia?! Dia tidak rela melihat Tala bahagia tanpanya? Cih, dasar oportunis—geruttu Tala dalam hati.
Tala menepis genggaman tangan Hariz. "Kalau kamu menjauh satu langkah lagi, aku akan memelukmu!"
"Dasar sinting! Kamu sudah beristri, Riz! Jangan gila!"
Tala tidak mengindahkan perkataan Hariz. Lalu kemudian Hariz melangkah cepat menujunya ... mendekap tubuh Tala dengan erat. Tala ingin melepas, tapi energinya tidak seberapa jika dibanding dengan Hariz.
Tidak lama kemudian, seseorang menarik tangan Tala dengan amat kencang. Hingga Hariz pun tidak dapat menahannya.
"Berani banget ya lo meluk suami orang?! Enggak punya malu atau bagaimana, HE?!" pekiknya tertahan.
"Bukan gue yang—"
"Halah! Enggak usah ngeles deh! Dasar cewek gatel!" pangkasnya lagi. Hariz berusaha keras menahan istrinya agar berhenti melakukan itu. bukannya berhenti, dia malah semakin berang.
Para tetangga berdatangan menyaksikan, begitu pula beberapa kerabat Siska yang mulai turun dari kendaraan masing-masing. Tala malu sekali. Andai saja tadi dia lebih memilih mengabaikan Hariz, semua pasti tidak akan jadi begini—sesal Tala.
"Kamu enggak usah belain dia terus. Kenapa?! Masih sayang, iya?!" caci Siska tanpa henti.
"Dia enggak salah, aku yang salah, Sis—"
"Kamu belain dia. Istri kamu itu aku, bukan dia!" pangkas Siska.
"Saya permis—"
"Tunggu dulu!" ucap Siska sembari menahan tangan Tala dengan erat.
"Jangan coba melarikan diri setelah keributan yang lo buat sendiri!" imbuhnya lagi.
"Asal Anda tahu, Nona. Suami Anda yang menghanmpiri saya, bukan sebaliknya!"
Siska semakin berang mendengar hal itu dari Tala. "Lo—"
Dia menyiapkan tangan untuk memberi satu tamparan halus menuju Tala, tapi seseorang menahan tangannya. Hingga dia tidak dapat melawan.
"H-hamid?" bisik Tala.
Hamid menunjuk ke arah salah satu lampu yang tergantung tinggi. "Di sana, ada kamera cctv. Perlu gue mintain ke satpam?" tawar Hamid. "Lagi pula ... Tala enggak serendah yang lo kira. Yang punya black card aja, dia belum tentu mau. Apa lagi sama Hariz, suami orang pula.
"Lo jangan menghina—"
Hamid menatap dengan sinis. Gadis dihadapannya ini benar-benar tidak tahu diri.