Chereads / Belenggu Rasa / Chapter 8 - Kecewa

Chapter 8 - Kecewa

Tala tidak pedulikan teriakan demi teriakan sahabatnya sejak tadi. Melihat wajah Myesha masih terasa seperti teringat akan ucapan kakak kelas yang tadi. Tala masih tidak habis pikir, jika memang Pram memiliki hubungan dengan Myesha, kenapa dia bertingkah seolah menyukai Tala?—batin Tala. Dia merasa kecewa. Sangat kecewa. Diantara ketiga sahabatnya, Myesha adalah orang yang paling dekat dengannya. Tapi, kenapa harus berbohong?

Begitupun saat di kelas, dia tidak mau berbicara dengan Myesha. Bahkan, dia dengan sengaja bertukar kursi dengan indira di kursi belakang. Padahal, siapapun tahu bahwa dia tidak suka duduk di belakang.

Myesha menyadari hal itu. Itu sudah menjadi ketakutannya sejak lama. Tadinya dia ingin menceritakan segalanya pada sahabatnya itu. Akan tetapi semua sudah terlambat karena dia melihat sendiri bahwa Pram mendekati Tala lebih dulu. Hampir tujuh hari berlalu, tapi Tala masih enggan untuk berbicara dengan Myesha.

Bukan tidak peduli, tapi Myesha takut Tala akan semakin marah padanya. Jadi, dia tidak mengirim pesan apa lagi menghubungi meski hanya melalui telepon. Mungkin ini bukan untuk pertama kali bagi mereka salah paham, tapi tetap saja.

Tala tengah asyik membaca novel romansa remaja di depan kelas. Sembari menunggu jam istirahat kedua berakhir. Sementara Myesha lebih suka menyendiri di kelas. Tentu saja bersama Bora dan Indira. Bukan soal memihak siapa kepada siapa. Akan tetapi, Tala memang lebih suka menyendiri begini.

"Gue boleh duduk?" sapa Laras.

Tala melirik untuk sesaat, lalu menganggukan kepala perlahan.Tidak peduli. Lagi pula mereka memang tidak sedekat itu untuk saling bicara. Meski tidak pernah mengatakan secara langsung, tapi Tala tahu betul bahwa Laras begitu membenci dirinya.

"Laa..."

Tala hanya berdehem menyahuti Laras. Namun, gadis itu kembali diam dan tampak canggung ingin memulai obrolan.

"Itu, gue ..." dia kembali terhenti tidak melanjutkan hal yang ingin dia sampaikan.

Tala melirik untuk sesaat. Mungkin kali ini ada hal serius yang ingin dia katakan. "Ada apa?"

"Gue boleh ... kasih saran?"

Saran? Entah makanan apa yang membuat Laras menjadi begini. Untuk saling bertukar pendapat saja mereka tidak pernah, lalu kini ingin memberi saran? Yang benar saja.

"Saran apaan?"

"Lo ... jangan marah sama Myesha, ya?" tuturnya.

Tala menutup buku dengan keras hingga gadis itu terkejut. Bagaimana mungkin Laras menasihati tentang hal ini? Peduli soal perasaan? Tidak mungkin! Karena nyatanya sejak dulu dia suka membuat gosip panas tentang Tala.

"Cih, saran? Okay, tapi apa hak lo sampai ngasih gue saran begini?"

Laras diam membisu, tidak tahu menjawab apa. Ah! jika diingat lagi, Myesha dan Laras dulunya memang teman yang cukup akrab. Akan tetapi, hal itu terjadi jauh sebelum Tala pindah menjadi siswi baru di sana.

Tala bangkit dari duduknya ingin berlalu pergi meninggalkan Laras. Namun, gadis itu segera meraih tangannya. "Maaf ..." ucapnya lirih.

Tala tidak mengerti apa yang dimaksud gadis itu kini? Jika diingat lagi, hubungan mereka baik-baik saja. Lalu kenapa dia meminta maaf?

"Buat?" tanya Tala singkat.

"Sebenarnya ... gue yang udah minta Myesha untuk rahasiain ini semua dari lo. Karena waktu itu dia panik banget," jelas Laras.

Tala hanya hening menepis tangan Laras lalu kembali berlalu pergi begitu saja. Bahkan, tanpa sepatah kata pun. Laras tidak tinggal diam, dia berdiri lalu berteriak, "Lo jangan egois dong! Jangan cuma mentingin perasaan sendiri. Oportunitis!"

Semua mata yang tengah berlalu melirik ke arah Laras dan Tala bergantian. Tala tidak peduli dan tetap berlalu pergi tanpa menoleh ke arah Laras meski hanya lirikan saja. Baginya percuma saja menjelaskan karena orang seperti Laras tidak akan peduli dengannya. Jika saja dia peduli dengan perasaan Tala sedikit saja, pasti hubungan mereka akan menjadi lebih baik dari sekarang. Benar, mungkin memang benar Tala terlalu kekanakan dan tampak egois.

TAPI

Orang-orang tidak tahu bagaimana perasaan Tala saat ini. Hanya ada Hamid yang benar-benar menemaninya, tanpa pernah membahas soal Pram. Mungkin di antara semua orang yang Tala kenal, hanya HAmid satu-satunya orang yang mengerti dan tahu cara menenangkannya.

Tala menitikkan air mata di depan kaca lalu membasuh wajah dari westafel. Sebenarnya sejak semalam dia berencana ingin bertemu dengan Myesha dan membicarakan segalanya. Setelah sudah tertangkap basah begini, sahabatnya itu tidak pernah berusaha menjelaskan meski hanya melalui pesan suara atau bahkan melalui pesan singkat. Hanya pernah sekali dia mengirim pesan itu juga bukan menjelaskan. Dia hanya mengetik sebuah kata 'maaf.'

Hanya itu. Padahal, bukan hal itu yang dia butuhkan kini. Daripada kata maaf dia lebih butuh penjelasan.

"Enggak! Gue enggak bisa kayak gini terus!" ujar Tala menatap wajahnya dari balik kaca yang sudah setengah kering.

Dia berlalu pergi menuju kelas. Tapi, yang dia lihat adalah ... Myesha dan Pram tengah bersenda gurau berduaan. Tala merasa semua baik-baik saja─pada awalnya. Namun, melihat itu dia merasa bahwa Myesha seolah tidak pernah merasa kehilangan dirinya. Andai saja bisa, dia ingin saat ini datang lalu mengeluarkan isi hatinya. Tidak jauh dari mereka ada Hamid yang tengah tertidur di kursinya.

Tala kembali menuju kelas lalu ... Pram dan Myesha sontak saling menjauh. Jadi, seperti ini yang selama ini mereka lakukan?

"Mid!" panggil Tala, tapi Hamid masih tidak bergerak.

Karena rasa kesalnya, dia mengguncang tubuh Hamid hingga dia terbangun. "Astaga, La. Apaan sih?! Gue kira gempa tahu enggak!" protesnya sembari mengucek mata yang memerah.

"Temenin gue."

Hamid hening untuk sesaat.

"Ke mana?"

"Ya sudah kalau enggak mau," ucapnya sembari berlalu pergi.

"Astaga, alamat ngambek ini sih," ujarnya sembari berlalu mengejar Tala yang tengah berjalan dengan cepat.

Berkali-kali dia memanggil nama gadis itu, tapi Tala tidak menoleh sedikit pun. Dia ingin menuju ruang seni, tapi jika diingat lagi itu adalah tempat antara dia dan Myesha untuk saling bicara dari hati ke hati. Dia lalu menuju green house sekolah yang tidak jauh dari perpustakaan.

Tala duduk menatapi beberapa tanaman di balik jaring hitam yang cukup tinggi itu. Lalu ... air matanya mengalir dengan sendirinya.

"La, tungguin gue kalik─" ujar Hamid terpotong kala melihat air mata Tala yang membasahi pipinya.

Hamid membuka hoodie hitam yang sejak tadi dia kenakan lalu menutupi wajah Tala dengan benda itu.

"Nangis aja. Sorry gue tadi ..."

Tala menangis semakin kencang, suaranya terdengar jelas. Karena merasa tidak tega, dia mendekap tubuh Tala erat.

"Maaf ya, kalau gue tadi lama. Kalau gara-gara gue, lo mau dibeliin apa?" tanya Hamid. Namun, Tala hanya menggeleng sembari masih terdengar jelas suaranya yang sesegukan.

"Kalau bukan karena gue, siapa? Enggak mungkin Hariz dong?"