Tala melepas dekapan Hamid dan melempar hoodie hitam itu ke arah wajah Hamid dengan kesal. "Gue enggak mau nangis apa lagi untuk orang yang sudah beristri."
Hamid tergelak melihat tingkah Tala. Ia tahu, jika gadis itu sudah bersikap seperti ini artinya ... dia sudah merasa lebih baik.
"Lalu?"
"Pram," jawab Tala singkat. Hamid menatap dengan rasa iba.
"Lo mau makan apa? Gue laper nih─"
"Mid ..."
"Gue enggak suka lihat lo begini, La. Pram itu enggak ada apa-apanya. Kenapa masih ditangisin, sih?"
Menurut kacamata Hamid, Tala pasti terperangkap dan jatuh hati lagi pada Pram. Lalu akhirnya akan sama, patah hati lagi dan lagi. Tapi tidak bagi Tala.
"Apaan sih? Gue bukan nangisin Pram kalik," balas Tala dengan tatapan sinis. Heran dengan jalan pikiran Hamid. Dari mana dia mengambil kesimpulan itu dengan sendirinya. Dasar Hamid!
"Lah, terus?"
Tala menghela napas panjang. "Myesha. Gue kecewa sama dia. Harusnya kalau memang sejak awal dia suka sama Pram, kenapa enggak cerita? Enggak perlu begini kan?"
Tala merasa bersalah saat menceritakan bagaimana Pram yang mendekatinya pada Myesha. Sementara dia tidak tahu bagaimana perasaan sahabatnya itu. Andai dia tahu, dia sendiri yang akan membuat mereka menjadi dekat bahkan berpacaran.
"Dan tadi, dia ketawa bareng sama Pram. Itu bikin gue mikir, apa sebenarnya cuma gue yang kangen dia? Apa sebenarnya─"
"Maaf ..."
Suara seseorang muncul dari arah belakang mereka. Sontak Hamid dan Tala menoleh ke asal suara. Ada Myesha yang berdiri sendirian. Dia sudah sejak lama mendengar apa saja yang mereka ributkan. Myesha tersenyum canggung,.
"Gue ... cuma enggak tahu bagaimana caranya untuk menjelaskan dan minta maaf sama lo. Sumpah, gue enggak maksud begini."
Tala tidak membalas tatapan mata Myesha. Bukan karena benci, Melainkan karena dia merasa tidak cukup tega.
"Maaf, gue yang udah desak Myesha untuk segera jujur sama lo," ujar Hamid menjelaskan.
Tala terkejut mendengar hal yang itu. Jadi, semua orang mengetahui kecuali dirinya? Benar-benar mengecewakan. Namun begitu, dia memahami bahwa mereka semua hanya ingin menjaga perasaan Tala agar tidak begitu sakit. Yang semua orang tahu adalah ... Tala sakit hati karena sahabatnya diam-diam punya hubungan spesial dengan gebetannya sendiri. Tapi itu sama sekali tidak benar. Karena nyatanya, dia menjadi seperti ini karena merasa bersalah. Jika saja dia tahu Myesha menyukai Pram lebih awal, jika saja dia mengetahui bagaimana perasaan Myesha tersiksa setiap Tala didekati dan setiap menceritakan tentang Pram. Andai saja ...
"Lo enggak cerita sama gue, Mid. Kenapa?"
"Itu masalah kalian berdua dan gue mau harus Myesha yang jelasin sendiri sama lo. Meski kita sahabatan, tapi ini bukan hak gue untuk ikut andil."
Tala kembali hening. Mencoba memikirkan segalanya dengan kepala dingin. Kecewa? pasti. Ingin marah juga. Tapi, mau bagaimana lagi? semua sudah terjadi. Ingin menghindar, tapi sampai kapan─Tala membatin sendiri.
"Kenapa lo enggak jujur dari awal sih, Sha?!"
Tidak lama kemudian datang Pram ikut di tengah-tengah mereka. "Ini salah gue, lo jangan marah sama Myesha."
Tala memberi Hamid kode. Mengerti dengan isyarat itu, Hamid segera menarik paksa Pram berlalu pergi. "Tapi, gue─"
"Dia enggak akan apa-apain Myesha tenang aja. Gue jamin," pangkas Hamid.
Kini hanya tinggal Tala dan Myesha yang masih sama-sama membisu. Myesha ingin menjelaskan, tapi bingung dari mana? Sementara Tala, ingin menanyakan mengapa Myesha tampak begitu acuh? tapi, dia gengsi untuk mengatakan hal itu.
"Kalau enggak mau ngejelasin apapun, gue mau pergi," mulai Tala.
"Gue suka sama Pram sejak pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini," mulai Myesha.
Tala heran dengan jalan pikiran gadis itu. Dia masih ingat dengan jelas, saat Pram terus memperhatikannya dari jauh. Untuk apa dia melakukan itu semua? Dan kenapa tidak pernah menceritakan hal itu sejak lama? Pertanyaan itu terus menari dalam kepala Tala.
"Terus, kenapa lo enggak cerita?"
"Waktu itu gue baru putus dari Vicky. Pingin cerita sama kalian, tapi ...gue merasa perasaan ini mungkin hanya sesaat. Tepat waktu Pram deketin lo, gue merasa pingin marah. Tapi, gue sadar kita enggak punya hubungan yang seperti itu. Bahkan, enggak mungkin," jelas Myesha lagi."
"Lo tahu kan kalau gue marah sama lo?" tanya Tala.
Myesha hanya menghela napas panjang lalu menjawab dengan dehem dan anggukan kecil.
"Tapi, lo enggak tahu kan gue marah kenapa?"
"Karena gue jadian sama Pram, kan?" tanya Myesha memastikan. Dia ingin menanyakan apa Tala sungguh marah karena merasa bahwa dia telah merebut Pram dari hidup Tala.
Tala menjentikkan jari tepat di dahi Myehsa. "Dasar! Bukan begitu. Gue cuma merasa jahat karena enggak tahu bagaimana perasaan lo ke Pram."
Tala lalu menjelaskan bahwa dia sungguh baik-baik saja jika dia memiliki hubungan dengan Pram. Hanya saja sedikit kecewa kenapa harus menutupi sebegitunya.
"Maaf, La ..." ucap Myesha lirih.
Tala memeluk tubuh Myesha yang ramping sembari menepuk lembut punggungnya berusaha menenangkan. "Gue juga minta maaf. That's okay, semua sudah berlalu."
Tidak lama kemudian, bel tanda jam istirahat telah berakhir terdengar dengan nyaring. "Ayo ke kelas," ajak Tala.
Tala ingin berlalu pergi, tapi Myehsa mencekal tangan sahabatnya itu lalu berkata, "La ... ada orang yang sayang banget sama lo dan selalu ada. Tapi, lo enggak sadar."
Tala memutar bola mata ke atas memikirkan siapa yang Myesha maksud. "Siapa?"
"Cari tahu aja sendiri. Mumpung belum terlambat, berita terakhir yang gue tahu, mungkin dia akan segera ke luar negeri."
Lalu Myesha berlalu pergi begitu saja meninggalkan Tala yang masih membeku. Ya, dia memang selalu tahu bagaimana membuat Tala penasaran. Andai dia hanya mengatakan bahwa seseorang itu menyayanginya, mungkin Tala akan acuh tak acuh. Tapi, mendengar dia akan ke luar negeri membuatnya kesal.
***
Belakangan ini Tala sangat terganggu dengan ucapan Myesha waktu itu. Entah kenapa dia merasa takut jika orang itu sungguh akan meninggalkannya. Padahal, dia sendiri tidak tahu pasti orang yang dimaksud itu siapa?
"Kalian Ibu beri kesempatan mengerjakan ulangan kali ini selama empat puluh lima menit ya? sisa waktunya kita akan gunakan untuk koreksi bersama," ucap guru itu setelah membagikan lembaran soal ulangan Bahasa Indonesia.
Lima menit hingga ke menit lima belas, semua masih aman saja. Tapi kemudian, Tala tidak bisa menahan rasa nyeri pada perutnya. Wajahnya pucat dengan keringat yang bercucuran di dahi.
"Kamu baik-baik saja, La?" tanya guru itu dari meja guru.
"Enggak apa-apa kok, Bu."
Tidak berapa lama kemudian, perut Tala semakin terasa nyeri luar biasa. Andai bukan karena ulangan harian, dia pasti sudah izin dan meninggalkan kelas sejak tadi. Dia mengatakan pada dirinya sendiri untuk bertahan lima belas menit lagi. Ayo, Tala, lima belas menit lagi! Bertahanlah, itu tidak akan lama.