"La! dia cuman bilang kemungkinan, La. Jadi, itu belum pasti. Jangan khawatirin sesuatu yang belum pasti deh. Ya?" Hamid menatap dengan mimik memohon.
"Iya. Memang belum pasti, tapi ... itu kemungkinan besar," balas Tala masih tidak mau kalah.
Hamid membisu untuk sesaat. Jika terus membalas perdebatan ini, entah sampai kapan mereka akan seperti ini. Dia memilih untuk mengalah. Hamid lalu teringat seeseorang yang mungkin saja dapat membantunya kali ini. Salah satu dokter langganan keluarganya. Beberapa diantaranya adalah salah satu dokter bedah jika memang Tala harus melakukan operasi.
"Okay, kalau kita buktikan gimana?"
"Maksud lo?"
Hamid segera meminta Tala mengenakan helm yang biasa dia bawa khusus untuk Tala. Tanpa basa-basi Hamid membawanya untuk menuju salah satu Rumah Sakit ternama di kota ini.
"Mid, kita ngapain ke sini?!"
"Buat buktiin kalau lo memang sedang tidak baik-baik saja."
"Tapi ... gue takut. Bagaimana kalau gue beneran sakit?" Tala menarik ujung baju Hamid.
"Bagus. Kita bisa obati lebih awal. Barangkali lo enggak perlu operasi."
"Tapi, gue ..."
"Lo enggak mau?" tanya Hamid sekali lagi dengan kesal. Dia lalu mengeluarkan gawai untuk menghubungi seseorang.
"Halo, Assalamualaikum, Bunda. Hamid--"
Belum selesai Hamid selesai berbicara, Tala merebut gawai itu dari telinga Hamid.
"Bunda, ini Tala. Izin telat ya, mau ke suatu tempat sebentar," ucap Tala. Lalu sambungan telepon terputus.
Tala menatap Hamid dengan kesal. "Lo tuh bener-bener ya, nyebelin banget!" gerutu Tala.
Hamid membalas tatapan itu dengan tersenyum bangga. "Jadi, lo masih enggak mau?"
Tala menghela napas berat. Sepertinya kali ini dia tidak punya pilihan lain selain mengalah. Bersikukuh bagaimana pun akan percuma saja. Jika dia terus memaksa Hamid untuk tidak menuju ruangan. Yang ada, dia akan memberi tahu pada kedua orang tuanya. Dan jika itu sampai terjadi, bundanya akan menjadi posesif seperti dahulu saat dia didiagnosa menderita vertigo dan sinusitis kronik. Hal itu jelas lebih menyakitkan baginya.
"Iya, puas?!"
Hamid tidak perlu menjawab dengan kata-kata. Cukup tawa yang dia lihat serta senyuman bangga dari sudut bibir Hamid, sudah cukup menjawab pertanyaan Tala.
"Ayo," ajak Hamid. Mereka menuju salah satu ruangan dokter. Tanpa mengantre.
Tadinya Hamid ingin mengantre seperti pasien lain, tapi khawatir dengan kondisi Tala. Lagi pula pasien di belakangnya hanya satu orang dan orang itu tidak sedang di tempat. Ke toilet─katanya.
"Mid ..." panggil Tala dengan tatapan memelas.
"Apa?"
"Takut."
"Astaga, baru begini sudah takut. Lalu bagaimana jika enggak ada gue?"
Tala menggenggam tangan Hamid amat kuat. "Enggak! Lo enggak boleh jauh dari gue."
Ucapan Tala kali ini membuatnya tertegun. Belum ditinggal ke Singapore saja sudah begini, apa lagi jika dia sungguh meninggalkan Tala.
"Yaudah kita masuk dulu, ya?"
Namun, sekali lagi Tala mencekal tangan Hamid lalu menggelengkan kepala isyarat dia tidak mau masuk. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hati Hamid, dia tidak tega dan ingin menuruti gadis itu. Tapi tidak! Ini semua demi kebaikannya sendiri. Bagaimana jika suatu hari nanti dia pergi lalu kondisi gadis itu malah semakin memburuk? Tentu saja dia tidak akan bisa tidur dengan nyenyak. Dan bukan tidak mungkin untuk menyusuli Tala.
"Enggak akan ada apa-apa. Sumpah."
"Kan lo bukan dokter."
Lagi. Mereka kembali mendebat satu sama lain. Hamid tersenyum dengan kesal mencoba bersabar dengan gadis yang berada di sebelahnya itu.
"La ... lo aman kok, kan ada gue. Paling enggak, lo enggak akan digigit di dalam."
Tala memberi pukulan tipis di bahu laki-laki bermata sipit itu. "Bukan itu yang gue takutkan, tapi─"
"Ayo," pangkas Hamid.
Jika terus menuruti rasa takut Tala, sampai perang dunia ke tiga juga mereka akan terus berdiri di depan ruang dokter itu.
"Selamat Sore, eh? Hamid rupanya," sapa dokter itu.
"Sore, Dok."
***
Percuma saja menuju Rumah Sakit untuk menghindari Bu Yasmin. Karena nyatanya dia harus tetap rawat inap di Rumah Sakit. Sebenarnya Dokter Dara memberi izin agar gadis itu rawat inap di rumah saja. Akan tetapi, Hamid merasa cemas saat dokter itu mengatakan bahwa kondisi Tala memburuk dan harus segera dirawat untuk melakukan operasi.
Rupanya secara diam-diam gadis itu sudah memeriksakan diri ke dokter. Seorang diri. Obat-obatan yang dokter beri tidak membuatnya merasa lebih baik. Tidak ada pilihan baginya selain operasi. Kondisi Tala saat ini jangan ditanya lagi, tidak ada yang dapat dia lakukan jika Hamid dan ibunya sudah khawatir begini. Kecuali pasrah.
"Kenapa harus diam-diam, La?" tanya Hamid sendu.
Tala tersenyum tipis. "Gue cuma takut."
Tala lalu menceritakan bagaimana kondisinya saat itu. Dia sering mengalami nyeri perut pada bagian bawah sebelah kanan seperti menjelang menstruasi. Saat itu dia tengah mempersiapkan ulang tahun untuk Bu Yasmin bersama Pak Layyin. Bermula dari sana sakitnya semakin memburuk. Hingga suatu hari dia memberanikan diri untuk periksa ke dokter kandungan, barangkali ada masalah dengan menstruasinya. Saat itu berpikir bahwa mungkin saja dia mandul. Syukurnya tidak. Tala menceritakan segalanya, sejujur-jujurnya.
"La ..."
"I'm okay. Lo jangan terlalu khawatir."
Hamid terjut tidak percaya mendengar penjelasan Tala. Bagaimana mungkin dia tidak sadar selama ini? Ke mana dan apa saja yang sebernarnya dia pikirkan? Dia terus menyalahkan diri sendiri. Di tengah keheningan, gawai Hamid berdering nyaring. Kini sudah panggilan ke tiga, tapi tidak juga dia gubris.
"Jawab saja, Mid."
"Enggak, gue mau temenin lo di sini."
"Mid, gue enggak operasi hari ini. Tenang saja."
Hamid terkejut kala melihat siapa nama yang tertera di sana. Bu Sekar. Dia segera keluar dari kamar Tala bahkan tanpa berpamitan. Dia terus menatap sebuah pesan dari ibunya.
Mama:
Mid, doakan Mama ya. Sebentar lagi, Mama akan menjalankan operasi mata.
Ibunya mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu. Cukup parah, hingga penglihatan dan pendengarannya kurang tajam. Meski dia merasa begitu sedih, hatinya juga terasa terluka, akan tetapi entah mengapa air matanya tidak bisa menetes. Dia terus menatap layar gawai, ingin menghubungi akan tetapi ragu. Namun, lamunannya pecah kala melihat Pram menghampirinya.
"Hai, Bro. Bagaiamana kondisi Tala?"
"Ya, begitu. Dia ada di dalam."
Pram menatap Hamid heran. "Kok lo kelihatan bingung,, ada apa?"
Hamid menghela napas panjang. "Nyokap gue, hari ini bakalan operasi. Gue bingung. Sementara Tala sebentar lagi juga akan menjalankan operasi."
"Waduh, gue juga ikutan bingung kalau jadi lo."
Pram menoleh ke arah samping. Dilihatnya sudah ada Tala di sana. Pram terkejut, tapi Tala memintanya untuk diam saja.
"Yaudah, Mid. Gue mau ke depan dulu ya. Ada Myesha, Bora dan Indira. Biasa cewek, mereka enggak tahu jalan. Minta antarin kemari."
"Hmm."
Pram berlalu pergi meninggalkan Hamid. Tidak lama kemudian, Tala datang dengan membawa kotak segi empat berwarna merah lengkap dengan pita.
"Hai!" sapa Tala. Dia lalu meletakan kotak itu di samping kursi yang kosong tepat di sisi kanannya.