Chereads / Belenggu Rasa / Chapter 15 - Tragedi Belajar Renang

Chapter 15 - Tragedi Belajar Renang

"Bunda sebenarnya mau memuji, atau menghina sih?"

Yasmin terkekeh geli melihat tingkah anaknya itu. "Iya, cantik. Ayo, berangkat," jawab Hamid menengahi.

Setelah menyalami tangan ibunya, mereka berangkat bersama. Menggunakan ninja hijau kesyaangan Hamid seperti biasa.

Sore ini, Tala merasa dapat menghirup udara dengan bebas. Menyejukkan. Berhari-hari di rumah dan tidak boleh melakukan banyak hal, baginya terasa seperti dalam penjara. Tetapi, dia juga tidak bisa melawan bundanya.

Selama perjalanan Tala menikmati dengan amat sangat. Selama kenal dengan Tala belum pernah Hamid melihat Tala begitu ceria saat dibonceng seperti saat ini.

"Wah, happy banget, La, kayaknya," ucap Hamid.

"Iya dong, gue nggak sabar banget buat lihat awan-awan yang saling bermesraan di antara kolam renang. Ya ampun kayaknya bakal seru banget enggak, sih, Mid?"

Hamid terkekeh geli. "Dasar anak puitis, berenang ya berenang aja, kalik. Awan ya awan, itu dua hal yang beda kalik."

"Tapi, kan, kalau lo berenang terus lo lihat ke atas, awalnya kan kelihatan. Terus kayak nyambut gue, like Welcome in the world, Oh my Godness! seru banget, nggak sih?"

"Lo jangan nggak waras, deh. Masih muda. Udah, deh. Kalau berenang, ya berenang aja. Lagian mana ada berenang madep ke atas, itu ngapung namanya!"

Tala mengangguk. "Lo bener, sih. Tapi... yaudahlah, ya? Biar gue seneng gitu, loh."

"Iya-iya, apa sih yang enggak buat lo?" goda Hamid.

Tala mengeratkan tangannya yang melingkar di perut Hamid. Bahagia sekali dia hari ini.

***

Semua siswa dan siswi sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Sementara Tala masih berdiam diri di depan kolam renang.

"Kita mau ngapain lagi, sih La di sini? Udah yuk. Balik, yuk?" ajak Hamid.

"Hamid..." panggil Tala menggunakan nada yang agak manja.

Hamid mengambilkan satu botol ukuran tanggung berisi air mineral dingin lalu memberikannya pada tangan Tala. "Ini lo minum, habis itu, kita balik," titah Hamid.

Tala mengerutkan bibirnya, "Hamid, gue juga pingin belajar berenang, boleh, kan?"

"La, semua anak-anak tuh udah pulang dari tadi. Guru olahraga juga udah pulang, kita ngapain masih di sini?"

"Saya masih di sini, kok, ada yang bisa saya bantu?" tanya guru olahraga itu.

Tala tersenyum senang mendengarkan saat tahu siapa asal suara itu. "Pak..." panggil Tala dengan ekspresi senang bukan main.

"Kalian kok belum pulang? ngapain masih di sini? Ini udah sore, loh."

"Ini, Pak, si Tala aneh-aneh aja mau belajar renang segala, orang-orang mah pada nggak mau, dia malah mau," keluh Hamid.

"Tapi, kan, Bunda udah ngizinin gue ke sini, Mid? Artinya gue nggak papa dong belajar renang hari ini."

"Tala cantik," ujar Hamid dengan ekspresi menahan kesal, "dengar ya... bunda ngizinin lo untuk turun hari ini karena gue yang bujuk setengah mati. Kedua, lo cuman boleh hadir. TAPI nggak boleh ikut kegiatan fisik, bukan begitu, Bapak olahraga?" tanya hamid pada guru olahraga itu.

Guru olahraga itu terkekeh geli. "Iya, benar sekali, Tala. Apa yang dibilang Hamid itu ada benarnya. Lagi pula, ibu kamu juga sudah menelpon bapak agar kamu tidak mengikuti kegiatan fisik hari ini."

Tala tersenyum kecut, "Bunda menghubungi Bapak agar saya nggak ikut kegiatan fisik hari ini? Benar begitu, Pak?" tanyanya lagi.

"Iya, Tala, benar begitu. Jadi kamu dan Hamid bisa pulang sekarang, soal nilai mungkin nanti kamu akan saya berikan tugas makalah tentang renang."

"Sekali aja, Pak, please ..." Tala memohon dengan dengan amat sangat.

Guru olahraga itu melirik Tala dan Hamid secara bergantian. Sedetik kemudian dia berkata, "Oke, tapi hanya sekali. Hamid mau saya yang latih?" tanya guru olahraga itu.

Hamid menggeleng cepat, "Nggak, Pak, nggak usah biar saya saja yang ngajarin Tala."

Hamid tidak bisa bayangkan jika sampai ada yang berani menyentuh Tala.

"Kalau begitu saya akan mengamati dari sini."

Ekspresi Tala Jangan ditanya lagi, dia senang bukan main. Lalu bersegera mengganti dressnya menggunakan legging dan baju kaos yang longgar lalu kembali dengan ekspresi yang begitu semringah. "Gue udah siap!" ucapnya dengan semangat 45.

"Enggak usah lari juga kalik, La."

Hamid tersenyum lebar tidak bisa jika tidak hari ini. Tala sungguh ingin berenang hari ini.

***

"La, lo nggak papa, La?" ujar Hamid yang telah membangunkan Tala sudah sejak tadi. Namun, masih juga tidak ada jawaban.

"Pak, tolong jagain Tala untuk saya sebentar saja, saya mau ambil pakaian Tala di ruang ganti dulu. Barangkali dia mau langsung dibawa ke Rumah Sakit aja. Kasihan dia, Pak," pinta Hamid.

"Oh iya, Mid. Silakan, Saya akan berusaha untuk membangunkan Tala."

Hamid kembali ke ruang ganti untuk mengambil pakaian Tala. Lalu kembali setelahnya tidak lama kemudian saat dia kembali ingin menghampiri mereka berdua dia dapat melihat dengan jelas bahwa guru olahraga itu ingin memberi napas buatan. Namun, dengan jelas Tala menamparnya dengan keras. Lalu segera dia bangkit sembari berkata, "ma-maaf, Hamid mana, Pak?"

Tidak lama kemudian Hamid muncul di hadapan mereka.

"Lo nggak pingsan kan?" tanyanya.

"Gue bercanda, Mid," ujar Tala dengan raut wajah merasa bersalah. Lalu Hamid menyerahkan tas beserta dress di dalamnya.

"Ini baju ganti, lo pakai terus kita pulang," ujarnya dengan ekspresi kesal.

"Tapi, gue bisa jelasin, g-gue cuma bercanda."

Namun, Hamid sama sekali tidak mendengarkan. Walaupun Tala sudah berteriak-teriak dan meminta maaf.

Sementara guru olahraga itu senyum-senyum sendiri. "Kamu mau saya antar saja?" tanyanya.

"Enggak, Pak, makasih."

"Saya bisa antarin kamu sampai rumah, loh, dengan aman dan selamat lebih terjamin daripada Hamid," ucapnya lagi.

Hamid kembali lalu menarik tangan Tala.

"Gue antar pulang. Bunda udah nunggu," ucapnya lagi.

"Iya, Mid," ucap Tala dengan lesu.

***

Lalu lintas terlalu padat sore ini. Meski banyak jeda dan waktu untuk mereka berbicara, tapi tidak satu kata pun yang keluar dari bibir Hamid. Tala sendiri ingin berbicara pada Hamid, tapi melihat responnya begini. Sepertinya laki-laki itu benar-benar marah padanya kali ini. Namun begitu, Tala tetap melingkarkan tangan di pinggang Hamid dan dia tidak protes sama sekali.

"Hamid..." Panggil Tala untuk pertama kalinya.

Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Hamid. Entah dia tidak dengar atau dia sungguh sengaja melakukan itu untuk mengabaikan Tala. Karena saking kesalnya.

"Mid, lo marah, ya, sama gue?" tanya Tala akhirnya masih tidak ada suara.

Tepat saat di lampu merah, Tala harus melawan angin untuk berbicara dengan Hamid. Belum lagi di tengah kerumunan banyak orang. "Mid, gue minta maaf, gue salah!" ucapnya teriak dengan nyaring.

Berapa pasang mata menoleh ke arah Hamid dan Tala. Lalu Tala tersenyum dengan canggung.

Respon hamid? Sama sekali tidak ada, walau hanya tersenyum sedikit saja, dia juga tidak.