Chereads / Belenggu Rasa / Chapter 10 - Asupan Nutrisi

Chapter 10 - Asupan Nutrisi

Dan akhirnya ... BUGH! Tala terjatuh dari kursi sembari memegang erat perutnya yang kesakitan. Karena terkejut, Hamid segera bangkit dari duduknya dan membawa gadis itu menuju unit kesehatan sekolah. Meninggalkan begitu saja soal ulangan yang dia coba kerjakan.

Beruntung, perawat yang biasanya berjaga di sana sedang ada di tempat.

"Ada apa ini, Mid?"

"Enggak tahu, Sus. Tadi tiba-tiba saja dia nyeri perut lalu wajahnya juga pucat."

Perawat itu memeriksa perut Tala. Meski sakit yang teramat, tapi gadis itu yakin dia hanya sedang pre-menstruasi. Akan tetapi, raut wajah yang ditunjukan perawat itu seolah menandakan bahwa semua tidak sedang baik-baik saja.

"Sejak kapan kamu merasakan nyeri itu, La?"

Tala lalu menjelaskan bahwa awalnya hanya nyeri biasa, seperti saat asam lambungnya kambuh atau seperti sedang Pre-menstruasi.

"Ada apa, Sus?"

Tidak lama kemudian, Hamid ikut masuk ingin mendengar penjelasan perawat secara langsung.

"Ini bukan Maag atau karena akan menstruasi. Tapi karena ..." perawat itu menghela napas berat, "ah, maaf. Gejalanya seperti usus buntu. Kakak saya baru beberapa hari lalu menjalankan operasi dan ciri awalnya seperti yang kamu alami ini."

"U-sus buntu, Sus?" tanya Tala lagi memastikan. Baginya Rumah Sakit saja sudah cukup menyeramkan, apa lagi jika harus operasi. Tanpa terasa, bulir bening kristal menetes dari sudut matanya.

Hamid berdiri tepat di sisi kanannya menggenggam erat bahu Tala. Saat ini, hanya dia yang berani melakukan itu pada Tala. Sebelumnya hampir tidak pernah ada laki-laki yang berani untuk menyentuhnya.

"Kalau saya boleh saran, lebih baik segera dibawa ke Rumah Sakit untuk diperiksa lebih lanjut. Sebelum kondisinya semakin memburuk," ucap perawat itu lalu berlalu meninggalkan mereka untuk memeriksa siswa lain yang baru masuk.

Hamid menatap Tala dengan rasa iba. Tidak mungkin dia akan menceritakan segalanya pada gadis itu saat ini juga. Baiklah, tidak ada salahnya juga jika harus menunggu selama beberapa saat dulu--pikirnya. Beberapa hari yang lalu Bu Sekar─Ibu kandung Hamid yang tinggal di luar negeri─menghubunginya untuk memintanya ke Singapore. Banyak hal yang harus dia lakukan di sana. Sebenarnya sudah sejak tiga bulan lalu dia meminta, tapi Hamid terus menolak. Dan kini dia menjadikan sakit sebagai alasan. Entah benar atau tidak, Hamid sendiri tidak tahu pasti.

Tala akhirnya mengerti mengapa belakangan ini nafsu makannya menurun. Diikuti dengan berat badan yang ikut turun. Meski kata perawat itu ingin dia sanggah, akan tetapi semua bukti memang mengarah kesana. Bahwa dia bisa saja menderita usus buntu. Perawat itu tengah keluar meninggalkan ruangan. Begitu pula dengan siswa yang lain. Sementara Tala menitikan air mata secara diam-diam. Dia tidak bisa menahan lebih lama lagi untuk menahan segala kepedihan yang saat ini dia rasakan. Kecewa, ingin marah, menyesal. Semuanya terasa seperti permen nano-nano, bedanya ini lebih pahit. Sangat pahit. Dia tidak suka siapapun melihat sisinya yang lemah seperti ini, sekalipun di hadapan ibunya sendiri.

Hamid menutup tirai pembatas lalu memeluk tubuh Tala erat. Dia seolah ikut serta merasakan kepedihan gadis itu. Bagi Hamid, tidak perlu berada di posisi Tala untuk merasakan itu, cukup mencoba memahami saja sudah lebih dari cukup. Semakin dia mendekap tubuh gadis itu, semakin terdengar nyaring pula suara tangis Tala terdengar.

"Enggak apa-apa, everthing it's okay," ucap Hamid menenangkan. Sembari menyeka lembut punggung Tala.

Tala. Menjadi seorang yang berbeda jika berhadapan dengan Hamid. Pada bundanya sendiri dia belum tentu dapat mengeluarkan segala isi hatinya seperti ini. Walau hanya berupa tangisan seperti ini. Namun, jika sudah bersama Hamid, dia bisa menceritakan segalanya. Jika diingat lagi, dia akan selalu ada untuknya. Mulai dari saat berpacaran dengan Gibran, bahkan hingga Hariz menikah karena menghamili Siska. Hamid adalah orang pertama yang akan selalu ada untuknya. Baru mengenal selama beberapa waktu, tapi terasa sudah mengenal bertahun-tahun. Seolah Hamid adalah asupan nutrisi baginya. Bersama laki-laki yang dia akui sebagai sahabat, semua terasa lebih ringan.

Setelah merasa cukup puas menangis, dia melepas pelukan Hamid. Lalu menyeka air matanya. Malu? tidak, Tala tidak lagi merasa malu. Karena ini bukan yang pertama kalinya Hamid melihatnya menangis begini.

"Gue enggak apa-apa, kok."

"Tentu saja. Makanya lo sampai nangis lama banget," sindir Hamid.

Tala memukul kuat bahu Hamid tidak lupa dengan sedikit cubitan di perut Hamid. Hingga laki-laki itu menjerit keras. Sakit dan menyebalkan. Dia selalu benci merasakan hal ini dari guru galaknya saat masih duduk di SMP dulu. Namun, jelas lebih sakit jika melihat Tala menangis seperti tadi. Andai bisa, dia ingin menangis menggantikan posisi Tala. Biar dia saja yang sakit. Begitu dalamnya perasaan yang dia miliki untuk sahabatnya ini.

"La, gue mau ..."

Hamid terhenti, ragu lebih tepatnya. Padahal, hari ini dia ingin segera berpamitan dengan Tala lalu menuju di mana ibunya berada. Khawatir jika wanita itu benar-benar sakit. Sudah cukup dia menyesal karena kerpergian ayahnya dulu.

"Apa?" tanya Tala dengan wajah tanda tanya.

"Eh, itu ... gue mau bakso," ujarnya sembari mengelus lembut perutnya seperti ibu hamil yang sedang menyeka perut.

"CIh, dasar! Gue kira mau ngomong serius tadi." Sekali lagi, Tala memberi pukulan tipis di bahunya.

"Mukul mulu, disayang enggak."

"Ngomong mulu, peka enggak," balas Tala tidak mau kalah.

Hamid membantu Tala menuju parkiran. Sebenarnya dia ingin segera mengantar Tala untuk kembali ke rumah ke dua orang tuanya. Akan tetapi, Tala bersikukuh untuk ikut menemaninya menikmati semangkuk bakso. Meski Tala sangat nyaman dengannya, tetapi ada satu hal yang Hamid tidak bisa paksakan dengannya. Yaitu, keras kepala Tala. Kali ini, bukan hal buruk, tapi tidak bisa dikatakan hal baik juga. Hamid khawatir dengan kesahatan Tala. Apalagi setelah dilihatnya tadi gadis itu menangis tersedu-sedu.

"La, balik aja, yuk?"

"Enggak mau. Bagaimana pun gue akan tetap temenin lo hari ini."

"Kan masih bisa besok."

Tala tetap menggeleng. Bahkan dia melompat-lompat demi menunjukan kepada Hamid bahwa dia sungguh baik-baik saja. Meski sebenarnya perutnya terasa nyeri saat melakukan itu. Tapi, demi Hamid dia berlagak sok kuat. Selain sekadar menemani Hamid, dia ingin membalas sedikit kebaikannya. Meski hanya berada di sisinya walau hanya sesaat.

"Setidaknya untuk hari ini saja, Mid. Izinkan gue, ya?"

Hamid menghela napas panjang. Padahal, dia belum didiagnosa oleh dokter, tapi pikirannya sudah kemana-mana. Namun demikian, Hamid bisa mengerti perasaan gadis itu.

"Lo enggak akan kenapa-napa, La."

"Gue tahu. Cuman ... antisipasi saja. Kan enggak salah."

"Pikiran lo salah, salah banget."

"Dari mana lo tahu? sementara tadi lo sendiri kan dengar apa kata perawat itu."