Chereads / Surat Dari Negeri di Awan / Chapter 9 - Berbagi Cerita

Chapter 9 - Berbagi Cerita

Setelah selesai membaca surat dari Nona Rose kuambil daun teh herbal yang ia kirim bersama suratnya yang dibungkus dengan sapu tangan berwarna ungu dan tali untuk mengikat berwarna merah. Di salah satu sudut saputangan itu terdapat lambang berbentuk kepala pegasus yang dihiasi sayap di kanan dan kirinya berwarna emas.

"Daun teh ini akan kusimpan hingga malam nanti agar bisa kunikmati menjelang tidur."

Aku pun menyiapkan bubuk kopi untuk ukuran sekali seduh yang ku bungkus dalam kertas dan kulipat hingga tak memiliki celah terbuka. Kusiapkan pena bersama dua lembar kertas dan mulai menulis.

' Untuk Nona Rose yang sepertinya sedang menikmati santap siang dengan lahap.

Pertama saya ucapkan terimakasih pada Nona Rose yang berbaik hati membantu mengatasi masalah tidur saya dengan mengirim daun teh. Bersama surat balasan ini saya juga kirimkan sedikit bubuk kopi untuk Nona nikmati setelah bersantap siang. Saya sarankan untuk tidak terlalu berlebihan untuk santap siang Nona agar berat badan Nona tidak melebihi batas.

Saya telah bersantap siang lebih dulu dari Nona tadi. Jadi tak perlu khawatir tentang saya yang belum mengisi energi di siang yang cerah ini. Surat Nona sebelumnya Nona berkata memiliki beberapa pelayan dan tinggal bersama sanak saudara. Apakah Nona seorang pemimpin keluarga? Dari saputangan yang terdapat lambang khusus di sudutnya saya bisa menebak bahwa posisi Nona sangat penting di kerajaan tempat Nona tinggal.

Namun sayangnya saya masih belum mengetahui dari kerajaan manakah Nona berasal. Karena saya juga baru pertama kali melihat lambang kerajaan seperti yang terdapat di saputangan Nona. Bila Nona bukan seorang putri raja namun masih berhubungan darah dengan keluarga kerajaan, minimal Nona Rose adalah Grand Duchess. Sebelumnya saya meminta maaf bila terdapat kesalahan pada dugaan saya.

Namun bila benar, apakah saya harus memanggil anda dengan sebutan Duchess Rose? Rasanya tidak sopan bagi saya yang bukan apa-apa memanggil orang penting seperti anda dengan hanya sebutan Nona. Saya pun tak pernah menyangka bahwa saya akan berbalas surat dengan salah satu orang terpenting di suatu kerajaan.

Walau begitu saya juga membayangkan sedang berbicara langsung dengan Nona saat menulis surat ini. Kini saya sudah menyelesaikan buku yang saya baca sejak kemarin. Isi tentang buku akan saya ringkas di atas kertas yang berbeda dan akan saya kirim bersama dengan surat ini. Saya harap Nona dapat mengerti garis besar tulisan saya meskipun sedikit berantakan.

Apa langit masih tidak ramah di kediaman Nona saat ini? Saya sarankan untuk memakai pakaian hangat bila cuaca terlalu dingin. Jangan sampai seorang Duchess membuat semua orang khawatir karena terkena flu!

Apa Negeri tempat Nona tinggal adalah Negeri yang indah? Saya berharap bisa mengunjunginya suatu hari nanti. Bila saat itu tiba saya mohon Nona bersedia memandu saya untuk berkeliling. Sebagai acuan saya lebih menyukai tempat yang nyaman dan tenang seperti sebuah taman atau tempat tenang lainnya.

Dari Zen yang kini semakin penasaran dengan Nona yang membuat saya terpikat'

Tak lupa aku menulis di kertas kedua tentang buku yang sebelumnya kubaca seperti janjiku.

' Cerita dalam buku berawal dari seorang pemuda bangsawan yang pergi dari rumahnya untuk berpetualang lebih mengenal dunia. Pemuda itu mengarungi samudra ke tanah yang tak dikenal. Belajar berbagai bahasa di setiap tempat yang ia singgahi. Tak pernah terbesit di pikirannya untuk pulang kembali ke tanah kelahirannya.

Ia hidup berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain, dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain, dan dari satu benua ke benua lain. Hidupnya ia habiskan dengan menyerap pengetahuan dari seluruh dunia untuk memenuhi rasa penasarannya sendiri. Berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun ia habiskan untuk mengetahui seisi dunia. Di ujung petualangannya ia tinggal bersama suatu suku di tanah yang tertutup oleh es yang selalu membeku. Di tempat itu ia diberi tahu bahwa ada tempat yang bisa membawanya ke bumi yang lain. Tempat yang sungguh berbeda dari tanah yang selama ini ia pijak.

Di ceritakan bahwa manusia di sana tinggal di tanah yang melayang di udara. Tanah subur yang tak terpengaruh oleh tercemarnya bumi. Tentu pria itu tak begitu saja percaya dengan cerita dari suku itu. Pemikirannya sungguh realistis dan mengandalkan logika. Jadi ia hanya setengah hati mendengarkan dongeng yang di ceritakan kepala suku.

Ia justru dengan sombongnya menyangkal dan meminta bukti keberadaan tempat itu pada anggota suku di sana. Memahami cara berpikir si pemuda pengelana itu, suku disana memberi bukti dengan artefak-artefak dan benda yang dikatakan berasal dari tempat yang mereka ceritakan.

Si pemuda mulai serius mendengarkan perkataan kepals suku. Karena selama ia berkeliling dunia, ia belajar semua bahasa di tempat yang ia singgahi. Namun di artefak dan benda-benda yang di tunjukan padanya ia tak sedikit pun bisa membaca tulisan yang tertera di sana. Si pemuda mulai berpikir dan mencari-cari alasan untuk menyangkal tentang keberadaan tempat yang diceritakan itu.

Walaupun sebenarnya dalam hati ia mulai bersemangat karena memiliki kesempatan untuk menjelajah tempat lain selain seisi bumi ini. Pemuda itu mulai meminta bukti yang lebih tidak masuk akal. Ia meminta di antar ke tempat yang mereka ceritakan dan ingin membuktikan kebenarannya.

Kepala suku dan anggotanya menolak menunjukan jalan ke tempat yang seperti berada di negeri dongeng itu. Mereka justru memberi syarat yang berat bila pemuda itu ingin tetap mengetahuinya. Pemuda itu harus tinggal di suku itu selama 10 tahun lamanya. Setelah 10 tahun kepala suku berjanji akan membawanya kesana.

Meskipun akan menjadi pertaruhan sekali seumur hidupnya, pemuda itu tak berniat untuk mundur. Ia menyetujui syarat yang diberikan dan akan bergabung dengan suku itu selama 10 tahun. Walau harus menghentikan petualangannya pemuda itu tak merasa dirugikan karena ia telah mengelilingi seisi bumi. Tahun demi tahun berlalu dengan cepat dan penuh penantian. Di tahun ke 4 pemuda itu menikah dengan salah satu anggota suku itu. Ia pun resmi menjadi anggota suku sepenuhnya.

Di tahun ke 6 ia di karuniai anak pertamanya dari pernikahan yang sudah dijalaninya selama 2 tahun. Hidupnya begitu bahagia dan tenang. Namun di balik itu keinginannya untuk berpetualang tak pernah surut. Diam-diam ia masih menanti 10 tahun yang hanya tersisa 4 tahun lagi. Kehidupan tenang dan bahagia itu seakan menjadi topeng bagi pria itu. Ia diam dan tenang dalam penantian tanpa sekali pun bertanya tentang tempat yang membuatnya selalu penasaran pada siapa pun.

Hari demi hari berlalu. Kepala suku semakin tua dan ia menginginkan pengganti. Si pria petualang di tunjuk sebagai kepala suku dan semua anggota setuju dengan saran itu. Pria itu sempat berpikir bahwa ini adalah cara jahat suku ini untuk menutupi tentang kebohongan mereka. Meski begitu ia tetap menerima posisi kepala suku, dan kepala suku sebelumnya kini menjadi tetua atau orang bijak di suku yang semakin berkembang itu.

Si pria tetap menanti dalam diam. Di tahun ke 9 tragedi melanda hidupnya. Istri yang selama ini ia sayangi tewas karena serangan hewan liar saat ia sedang keluar desa untuk berburu. Hewan liar itu masuk ke dalam desa dan rumahnya dan membunuh istri tercintanya. Kini ia hanya tinggal bersama anak laki-lakinya yang mulai tumbuh. Hidupnya mungkin sedikit sulit tanpa istri yang merawat anaknya. Namun ia tak berencana untuk menikah lagi karena waktu yang dijanjikan hampir tiba.

Setiap hari bahkan setiap jam selalu ia hitung untuk pergi ke tempat yang membuatnya penasaran itu. Tak sehari pun ia lalui tanpa berdoa agar waktu yang dijanjikan cepat tiba. Di malam terakhir ia sulit untuk tidur karena terlalu bersemangat menyambut hari yang dijanjikan esok. Sejak kemarin ia telah berkemas dan bersiap menyambut petualangan barunya yang sudah ia nantikan selama 10 tahun. Namun kini ia memiliki anak. Ia tak bisa meninggalkan satu-satunya anak yang ia cintai di desa.

Ia memutuskan untuk membawa anak itu apa pun yang terjadi. Semua telah siap, dan esok pagi ia akan menemui tetua suku dan minta di antar olehnya.

Meski terasa sedih harus meninggalkan suku yang 10 tahun ini ia tinggali, namun jiwa petualangnya masih terlalu berkobar hebat dan tak bisa dihentikan.

Sebelum matahari terbit pria itu dan anaknya sudah berada di rumah tetua suku. Sang tetua beberapa kali bertanya tentang keyakinan pria itu. Pria itu pun beberapa kali menjawab dengan tegas bahwa ia akan tetap pergi apa pun yang terjadi.

Dengan dikawal oleh beberapa anggota suku dan bersama tetua mereka menapaki kaki di gunung yang memiliki salju yang begitu tebal di atas tanahnya. Menyusuri lereng beku dan membelah angin dingin menuju ke gua yang berada di tepi jurang. Setelah sampai di mulut gua tetua suku berkata bahwa ia harus masuk sendiri. Pria itu harus berjalan terus tanpa boleh ragu sedikit pun dan jangan menoleh ke belakang sekali pun.

Dengan anak di gendongan dan perbekalan di punggungnya ia memantapkan langkahnya memasuki gua yang gelap dan bisa membuatnya beku itu. Ia terus berjalan lebih dari satu jam sambil memeluk anaknya dengan erat di tengah kegelapan. Dengan keyakinan yang tak tergoyahkan terus menyusuri gua yang membeku itu. Ia mulai melihat cahaya di ujung gua yang ia lalui. Semakin dekat cahaya itu semakin ia bersemangat tanpa mempedulikan sekitarnya. Ia pun tak sadar udara yang sejak tadi membuatnya hampir beku telah berubah menjadi hangat. Ia semakin cepat berjalan hingga tanpa sadar berlari hingga keluar dari gua dan menyambut petualangan barunya dengan senyuman terlebar yang tak pernah ia tunjukan selama 10 tahun. Saat keluar dari gua ia sadar bahwa matahari bersinar begitu terang tak seperti tempat yang 10 tahun ini ia tinggali.

Ia juga dikejutkan dengan pemandangan yang tak pernah ia percaya benar adanya. Pulau-pulau melayang di udara, kapal-kapal yang terbang kesana kemari dengan orang-orang di atasnya. Ia pun segera sadar bahwa ia juga berada di salah satu pulau melayang. Tanpa sempat menganalisa keanehan yang terjadi ia segera ke bagian tepi pulau itu dan melihat ke arah bawah. Tak ada apa pun di bawah pulau melayang itu. Hanya awan berwarna putih yang menutupi pandangan. Ia tak bisa melihat apa pun di dari sana. Tak lama beberapa orang datang menghampirinya dengan perahu terbang. Orang-orang itu berbicara padanya. Namun ia sama sekali tak mengerti perkataan mereka.

Seolah memberi isyarat untuk segera naik, pria itu langsung mengerti dan mengikuti mereka. Ia dibawa ke pulau terapung lain. Di sana terdapat beberapa menara yang menjulang sangat tinggi. Ia di sambut dengan ramah oleh orang-orang yang berada di pulau melayang itu. Singkat cerita setelah beberapa tahun tinggal di tempat aneh itu akhirnya ia menguasai bahasa yang mereka gunakan.

Mereka yang tinggal di pulau melayang menyebut pria dan anaknya itu sebagai penyintas waktu. Dikatakan setiap beberapa puluh tahun sekali akan ada seorang yang melewati waktu datang ke tempat itu. Mereka menyebut tempat itu dengan nama Negeri di Awan.

Di ceritakan bahwa ribuan tahun lalu bumi mulai mengalami kerusakan. Manusia tak dapat hidup lagi di daratan. Mereka membuat teknologi anti gravitasi dan membuat pulau-pulau melayang untuk ditinggali. Di era itu jumlah manusia sudah berkurang dan tak sebanyak saat masih menginjak daratan. Pria itu begitu puas dengan petualangannya kali ini, dan memutuskan menetap di negeri di awan bersama anaknya yang mulai dewasa. Di akhir cerita di sebutkan sang petualang dan anaknya tak pernah sekali pun kembali ke masanya hingga akhir hayat, dan meninggal dengan bahagia di atas awan.