Angga yang pemberani kini ciut juga, bagaimana tidak ciut, penampakkan Darsimah mengerikan, perut yang terbuka yang menampakkan isi perut dan banyaknya binatang yang mengerikan membuat dia ingin muntah dan tidak ingin melihat Darsimah, apa lagi kusir yang membawa andong itu tanpa kepala.
Zuki memandang ke arah Angga dan menatap melas, dia benar-benar takut bila bernasib sama dengan pria yang tadi mereka lihat di dalam hutan tadi. Angga menggeleng kepala dan meletakkan jari ke mulutnya sebagai kode untuk tidak berbicara sedikitpun jika perlu, jangan bernapas itu jika diperlukan.
Srettt ... Srettt ...
Suara yang terdengar begitu dekat, entah suara apa itu. Suara itu begitu menakutkan dan semakin dekat dan dekat sekali, Angga melirik ke samping dan melihat Darsimah berdiri, kakinya menggantung. Tidak ada jejak tanah sama sekali, begitu juga andong yang melayang. Darsimah tidak naik andong dia berjalan mengitari hutan. Tapi, yang dia cari tidak ketemu.
Darsimah pergi dan naik ke dalam andong. Angga melirik ke arah andong dan melihat Darsimah yang sudah pergi, terdengar suara kerincing dan sepatu kuda yang nyaring terdengar. Angga menghela nafas panjang karena dia berhasil lolos dari Darsimah.
"Angga, aku takut sekali. Aku bukan takut meninggal, tapi aku takut jika aku meninggal di tangan Darsimah penari Jaipong itu. Kau tahu kan kejamnya dia tadi Angga." Zuki memandang Angga dengan tatapan sendu.
"Komandan, saya tidak kuat jika misi ini seperti ini. Yang ada kita duluan yang menghadap Tuhan," sambung Bobo kepada Angga.
Boni dan Bono mengangguk pelan, mereka tidak mau pulang tinggal nama, apa lagi meninggalnya mengenaskan. Angga lagi-lagi meminta rekannya diam, dia mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat. Zuki, Bono, Boni dan Bobo terdiam melihat Angga meminta mereka diam. Sembunyi di balik semak belukar membuat mereka gugup dengan kedatangan seseorang dari belakang.
Pokkk!
Bahu Zuki di tepuk, bukan hanya Zuki yang ditepuk, Angga, Bobo, Boni dan Bono juga ikut di tepuk oleh seseorang. Angga menelan salivanya karena tepukkan tangan dari belakang. Zuki menggelengkan kepalanya, dia tidak bisa berkata apapun. Sungguh dia sangat takut, bodoh amat dia polisi atau tidak. Yang penting yang namanya takut tetap takut.
"Kalian sedang apa di hutan ini?" tanya seseorang dari belakang dan tentu itu suara wanita yang familiar di telinga mereka.
Zuki memandang Angga, dia mengedipkan matanya dan memberikan kode kepada Angga untuk melihat ke belakang tapi Angga geleng kepala. Nena yang melihat kelakuan rekannya menghela nafasnya. Dia mutar untuk menghadap rekannya. Angga menundukkan kepalanya, dia takut untuk melihat ke depan.
"Kalian kenapa di sini? Kami dari tadi mencari kalian, harusnya kalian pamitan dan ajak aku pulang sekalian." Nena kesal melihat tingkah ke empat pria yang jongkok sambil menunduk.
Kepala desa yang berdiri di samping Nena hanya geleng kepala. Angga melihat ke arah depan dan terlihat Nena dan kepala desa di depan mereka.
"Kalian sejak kapan di sini?" tanya Angga yang binggung melihat ke duanya berada di depan mereka.
Kepala desa menghela nafas panjang karena mendengar pertanyaan Angga. Kepala desa menarik Angga dan yang lainnya untuk bangun. Mereka berjalan keluar dari hutan. Angga masih melihat sekeliling dia takut sekiranya Darsimah masih di sana.
"Angga, kamu jangan mandang lagi ke sana, kamu tidak takut apa hmm?" tanya Zuki yang melihat Angga celingak celinguk melihat sekeliling hutan.
"Aku cuma memastikan jika Darsimah tidak di sini. Kau tidak takut lihat kejadian tadi hmm?" tanya Angga.
Zuki berdecih karena dirinya ditanya takut atau tidaknya. Jelas semua orang tahu jika dia takut. Pertanyaan seperti apa itu pikirnya lagi. Zuki tidak menjawab pertanyaan dari Angga dia terlalu malas untuk menjawabnya. Angga yang pertanyaannya tidak dijawab mendengus kesal. Pukulan telak melayang di kepala Zuki.
"Awww! Sialan kau Angga, main geplak aja. Kau pikir aku apa hmm." Angga bersunggut karena kepalanya dipukul oleh Angga.
"Makanya jawab, jangan diam saja," ucap Angga yang mulai kesal.
Zuki mengepalkan tangannya dengan keras. "Kau pikir saja sendiri Komandan Angga, kalau kau diposisi sekarang takut tidak? Pertanyaan seperti itu jangan kau tanyakan. Bukan hanya aku saja yang takut kau juga takut kan, semua orang juga takut. Kau menyebalkan sekali," ujar Zuki yang kesal dibuat Angga.
Angga hanya anggukkan kepala, dia juga tahu jika Zuki takut, begitu juga dirinya. Sampai di mobil mereka melihat kepala desa dan Nena tidak ada di tempat. Mereka sekali lagi terdiam mematung. Zuki menelan salivanya karena mereka salah menilai orang.
"Angga, jika kau meninggal nanti, aku akan makamkan kau di tempat yang kau inginkan. Katakan sekarang di mana kau akan dimakamkan, kalian juga," cicit Zuki kepada Angga dan yang lainnya.
Angga sudah memiliki perasaan tidak enak, mana mungkin kepala desa dan Nena ke sini dan dari mana mereka tahu jika dia dan yang lainnya bersembunyi di semak itu. "Sialan kau Darsimah, kau sudah mengerjain aku." Rutuk Angga di dalam hati.
Ketiga rekan Angga dan Zuki sudah merapat. Tidak ada yang menjauh, mereka merapat agar tidak ada celah untuk Darsimah menyeret mereka ke dalam. Angga masih menajamkan telinganya, benar saja, suara tapak kaki kuda terdengar sangat keras dan semakin lama semakin mendekat.
"Kalian ingin selamat bukan? Jika iya, aku hitung sampai tiga, kalian segera lari ke mobil dan jangan banyak bertanya, ingat hitungan tiga kalian kabur dari sini dan masuk mobil. Paham kalian semua, kita mulai ya," sambung Angga memberikan aba-aba kepada rekannya.
"Kami akan ikuti kemana kau pergi Angga," ucap Zuki yang disambut anggukkan dari tiga anak buah Angga.
Angga yang melihat anggukkan dari mereka berempat, langsung menarik nafas dalam dan mulai menghitung.
"Tiga, kabur!" teriak Angga.
Ke empat anak buah Angga tercengang karena hitungan Angga yang tidak lengkap alias nomor tiga saja yang di sebut sehingga dia lari meninggalkan ke empatnya. Zuki yang mendengar suara hentakkan kaki kuda langsung sadar dan menyeret ke tiga yang ikut melamun.
"Ayo pergi, nanti kalian meninggal. Ayo cepat," ucap Zuki yang dengan sigap menarik rekannya.
Bobo, Boni dan Bono terkesiap karena tarikkan Zuki. Mereka berlari dan masuk ke dalam mobil. Tapi, di dalam mobil mereka tidak berkata apapun. Mereka ternyata salah, mobil itu bukan mobilnya, melainkan andong yang membuat ke empatnya termasuk Angga hanya bisa diam membisu.
"Habis kau Angga, aku akan membuat perhitungan denganmu," gumam Zuki yang mulai kesal karena mereka masuk jebakkan Darsimah.
Darsimah menipu mereka, bertukar menjadi Nena dan sang kusir menjadi kepala desa agar mereka keluar dari tempat itu dan sekarang mereka naik andong bersama Darsimah. Angga menelan salivanya melirik dari sudut matanya penampakan Darsimah. Wanita berpakaian kebaya hijau, rambut sanggul terlebih ada bunga melati yang wangi menyengat di hidung mereka.
"Kita mau dibawa kemana?" tanya Angga yang sudah mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan Darsimah yang kebetulan duduk di dekatnya.
Darsimah hanya diam tidak mengatakan apa pun. Suasana hening terasa di andong yang mereka naikki. Tidak tahu tujuannya kemana, yang mereka tahu, kapan mereka sampai dan selamat. Zuki menunduk dan menutup wajahnya. Dia tidak bisa melihat ke arah kusir Darsimah. Darah menetes di tengkuknya dan juga binatang yang menjijikkan keluar dari leher sang kusir.
"Angga, aku takut. Aku tidak bisa tenang ini, aku pipis di celana ini," cicit Zuki yang 5 menit sesudahnya dia pingsan di tempat.
Angga dan ke tiga rekan yang lain mengangga melihat Zuki pingsan. Angga sudah tidak sabar lagi, rasa takut yang dia rasakan hilang begitu saja. Dia ingin melawan Darsimah, karena menurutnya bukan mereka yang salah, tapi pelaku itu. Kenapa harus mereka yang harus menanggungnya.
"Nyai, dengar ya, saya tahu kamu itu dibunuh dengan sadis oleh mereka, tapi saya mohon, biarkan kami mencari tahu siapa mereka. Jangan kau bunuh pria yang tidak bersalah, itu tidak adil." ucap Angga yang sudah kesal dan muak selalu di teror oleh Darsimah dan kusirnya ini.