Empat orang dari lima sekawan bersama Aulia menghabiskan waktu mereka di dalam ruang Jurnalistik selama beberapa saat. Ada Gemma dan Randu yang sedang merebahkan dirinya di sudut ruangan sembari memainkan ponsel mereka—memang ini yang Gemma butuhkan sedari tadi, kemudian Azka sibuk di salah satu meja untuk mencari musik yang ingin dia mainkan agar ruangan ini tidak terasa sunyi, lalu Arjuna dan Aulia mengobrol di sudut lainnya.
Bisa dilihat sendiri bukan kalau Arjuna tidak pernah pergi dari sisi Aulia jika seandainya mereka sedang bersama seperti ini. Bahkan anak-anak lima sekawan yang lain akan dia abaikan jika sudah bersama dengan gadis itu.
Mungkin ada yang bertanya-tanya mengapa Aulia bisa dekat dengan anak-anak lima sekawan padahal dia adalah seorang perempuan. Jadi, ketika kelas sepuluh kemarin, Aulia itu berada di kelas yang sama dengan Tama dan Arjuna, tiga orang dari lima sekawan yang lain berada di kelas yang berbeda.
Dulu Tama menjabat sebagai ketua kelas, sedangkan Aulia menjabat sebagai sekretaris kelas. Lalu Aulia dan Arjuna kebetulan masuk dalam ekstrakulikuler yang sama yaitu Jurnalistik, maka dari itu si gadis lebih sering bertemu dengan dua dari anak-anak lima sekawan tersebut.
Aulia itu anak yang mudah bergaul dengan siapa saja, maka dari itu dia juga bisa cepat mengenal Azka, Gemma dan Randu tanpa merasa canggung sedikitpun. Karena melihat kedekatan Arjuna dan Aulia yang semakin menjadi-jadi akhirnya membuat gadis itu lebih sering bertemu dengan anak lima sekawan yang lainnya.
Sebenarnya simpel saja, mereka semua bisa mengenal karena sudah terbiasa antara satu sama lainnya.
Azka bahkan pernah mengajak Aulia untuk bergabung menjadi anggota lima sekawan, tapi jelas sekali gadis itu menolak karena katanya dia tidak mau terperangkap di antara lima laki-laki aneh yang dia kenali, namun tentu saja kalimat itu hanya keluar dalam bentuk candaan. Walaupun bukan menjadi bagian dari lima sekawan, Aulia akan tetap diterima di tengah-tengah mereka sebagai teman yang baik.
Terkadang ada banyak gadis di sekolah yang merasa iri ketika melihat kedekatan mereka, rasanya Aulia itu adalah gadis yang sangat beruntung karena bisa dekat dengan lima laki-laki yang cukup terkenal di Garda Muda tanpa harus mengeluarkan effort lebih untuk mendekati mereka semua.
Tapi, bagi Aulia tentu biasa saja. Mungkin karena gadis itu juga sudah mengenal dekat semua anak lima sekawan, sudah sering melihat mereka juga setiap harinya—terutama Arjuna. Jadi untuk Aulia tidak ada yang spesial dari mereka, bahkan Aulia sempat meragukan mata gadis-gadis lain yang berkata bahwa anak lima sekawan adalah sosok yang keren, padahal bagi Aulia tidak ada keren-kerennya sama sekali.
Mereka semua itu cukup aneh, dan ketika digabungkan menjadi satu kelompok maka mereka akan menjadi sangat aneh.
"Ini kalian sebenernya nungguin apa sih? Gue masih nggak tahu apa tujuan kalian dateng ke sekolah," ujar Aulia kebingungan karena sadar tidak ada yang bergerak dari mereka berempat, semuanya justru sudah terlalu nyaman berada di ruang Jurnalistik.
Aneh 'kan? Seharusnya mereka lebih memilih untuk tidur di kamar masing-masing daripada harus datang ke sekolah, apalagi mereka semua tidak memiliki urusan apa pun di sekolah.
"Tama minta bantuan buat dekor sekolah sih, cuma daritadi gue lihat udah ada anak-anak OSIS yang kerja. Ini juga Tamanya dihubungin enggak bisa, nggak tahu deh tuh anak ke mana," Azka yang menjawab tanpa menoleh ke arah Aulia, karena laki-laki itu masih sibuk dengan handphone beserta speaker di dekatnya.
"Tama lagi rapat sama Pak Muji, tadi gue lihat sih," balas Aulia. Pak Muji itu adalah pembina OSIS, jadi wajar saja jika Tama memang sedang sibuk bertemu dengannya akhir-akhir ini untuk membahas tentang event sekolah.
"Kalo gitu ditunggu aja, paling juga bentar lagi dia nongol," Randu ikut menyahut.
"Sumpah deh gue ngantuk," Gemma tiba-tiba bicara setelah menguap, laki-laki itu memang kurang tidur hari ini.
Randu menyentil pelan dahinya untuk membuat Gemma kembali terjaga. "Awas aja kalo lo sampai tidur, gue kunciin lo di ruang ini terus kita semua tinggalin biar aja lo jadi penghuni semalam di ruang Jurnalistik."
Gemma mendelik malas ke arah Randu, kesal mendengar kalimat laki-laki itu.
Sepuluh menit terlewati begitu saja sampai akhirnya si empu yang ditunggu-tunggu telah benar-benar muncul di ruang Jurnalistik. Tama, si ketua pelaksana untuk event ini sekaligus calon ketua OSIS yang baru muncul dengan raut wajah merasa bersalah.
"Kalian udah dateng dari tadi, ya?" Tama bertanya sambil melepas kedua sepatunya, kemudian tanpa aba-aba, laki-laki itu langsung merebahkan dirinya di karpet dalam ruang Jurnalistik. "Gila, pusing banget kepala gue."
Semua orang di sana kontan menatapnya dengan sorot khawatir, tetapi tak bisa dipungkiri ada beberapa dari mereka juga yang merasa kesal. Tentu siapa lagi kalau bukan Randu orangnya.
"Udah hampir dua puluh menit kita semua di sekolah dan lo baru muncul sekarang," katanya, sarat akan sindiran.
"Sorry, harusnya tadi gue udah bisa langsung samperin kalian, tapi Pak Muji manggil karena ada masalah makanya gue harus rapat dulu bareng dia sama beberapa pengurus inti OSIS yang lain."
"Memangnya ada masalah apa, Tam?" tanya Arjuna, mewakili pertanyaan semua orang yang ada di sana.
"Ada beberapa duit untuk event yang hilang, gue juga sebenarnya nggak tahu itu dicuri apa bendahara gue lupa taruh. Cuma masalahnya nominalnya lumayan, padahal itu dana buat event ini, mana eventnya tinggal beberapa hari lagi pula," jelas Tama dengan nada frustrasi, laki-laki itu bahkan sampai bangkit dari posisi tidurannya.
Pratama itu orang yang lebih sering terlihat tenang di antara lima sekawan, dia jarang terlihat panik dan bisa selalu mengatasi masalah dengan sangat baik. Tapi, tidak pernah ada yang tahu bahwa sebenarnya semua keluhan dan emosi dari Tama selalu laki-laki itu salurkan kepada lima sekawan. Bukan berarti Tama akan marah-marah kepada mereka, tapi lebih seperti menjadikan mereka sebagai tempatnya mengeluhkan semua masalah yang terjadi dalam hidupnya.
Anak-anak lima sekawan tentu tidak keberatan akan hal itu, sebab Tama tidak hanya mendatangi mereka ketika laki-laki itu sedang merasa kusut saja, tetapi ketika sedang merasa senang Tama juga akan mendahulukan anak-anak lima sekawan daripada teman-temannya yang lain.
"Nominalnya berapa tuh kalo boleh tahu?" Randu sampai bangun dari posisi tidurannya, menjeda game yang sedang dia mainkan bersama Gemma hanya untuk menaruh fokus sepenuhnya kepada Tama. Padahal beberapa saat lalu, laki-laki itu sendiri yang baru menyindir sahabatnya tersebut.
"Hampir empat juta."
Jawaban Tama membuat semua orang di dalam ruang Jurnalistik itu langsung terkejut, Azka sampai membuka mulutnya tidak percaya, sebab nominal yang hilang itu ternyata benar-benar tidak sedikit.
"Gila, itu duit semua, cuy."
"Duh, enggak kebayang deh gimana pusingnya lo sekarang, pantesan mukanya kusut banget."
Arjuna menghela napas panjang mendengar respon teman-temannya yang lain. Sepertinya dari semua sahabat Tama, memang hanya Arjuna saja yang bisa berpikir dengan normal. "Terus keputusannya gimana, Tam? Tadi pasti rapat kalian pasti cari cara buat mengembalikan uang yang hilang kan?"
Tama mengangguk, membenarkan. "Tadi keputusan sama Pak Muji, anak OSIS mau nggak mau harus patungan lagi buat nutup uang yang hilang itu. Nanti kalo seandainya uang itu ketemu bakalan dibalikin ke mereka juga, cuma kalo misalnya memang masih kurang mau nggak mau gue minta ke mama gue sih buat tolong talangin dulu."
"Pusing banget nggak tuh Tante Rena, enggak tahu apa-apa tiba-tiba dimintain duit buat talangin kerjaan organisasi anaknya," celetuk Azka, tentu saja bercanda tapi dia benar-benar tidak tahu waktu.
"Bercandaan lo nggak lucu." Randu melempar apa pun yang berada di dekatnya ke arah Azka untuk memarahi laki-laki itu.
Tapi, di tempatnya saat ini Tama justru tertawa, merasa terhibur dengan para sahabatnya itu. Masalah seperti ini pasti akan selalu terjadi dalam sebuah kegiatan berorganisasi, ketika maju untuk mencalonkan diri menjadi calon ketua OSIS, Tama memang sudah sadar bahwa akan ada banyak sekali masalah yang menunggunya di depan sana. Tinggal bagaimana cara Tama untuk menyelesaikannya, entah dia sanggup atau tidak tapi Tama tetap ingin mencobanya.
Sekarang jika sudah seperti ini ya mau tak mau Tama harus menjalaninya, meskipun bukan dia yang menghilangkan uang tersebut, tetapi sebagai ketua pelaksana sudah menjadi tugasnya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini dan menjadi satu-satunya orang yang paling bisa diandalkan untuk menutupi kekurangan yang ada.
Untung saja Tama berasal dari keluarga berada, dengan begitu tidak akan sulit baginya untuk meminta uang, walaupun pada akhirnya dia pasti akan kembali dimarahi oleh sang mama.
Di dalam setiap keputusan yang diambil oleh seseorang, pasti akan selalu ada risiko di dalamnya bukan? Sebagai pengambil keputusan tersebut memang sudah sepantasnya Tama menerima semua masalah yang terjadi dalam hidupnya.
"Udah, gue nggak apa-apa kok, bisa kok ketutup paling gue nanti tinggal tebelin telinga aja pas dengar anak OSIS yang lain ngamuk, belum lagi dengarin mama gue ikutan ngocehin gue. Tapi, nggak apa-apa sih, kalo kayak gini paling gue cuma pusing bentaran doang," ujar Tama meyakinkan agar anak-anak lain tidak khawatir kepadanya.
"Hati-hati lain kali, Tam. Jangan lupa diingetin anggotanya buat hati-hati kalo simpan sesuatu yang penting," Aulia yang sedari tadi hanya menyimak akhirnya ikut buka suara juga, gadis itu turut merasa kasihan dengan apa yang Tama alami sekarang.
Tapi, kalimatnya tadi berhasil membuat Arjuna langsung menoleh ke arah gadis itu dengan sorot tatapan yang tidak bisa dijelaskan, yang pasti apa yang Arjuna pikirkan saat ini hanya dia sendiri yang mengetahuinya.
"Oke, karena lo udah di sini, berarti kita semua udah bisa mulai kerjain sesuatu kan? Ayo, kasih tahu apa yang harus kita kerjain sekarang!" Azka memecahkan keheningan, membuat mereka semua sadar akan tujuan utama mereka datang ke sekolah di hari ini.