"Cakra! Cakra!" ada panggilan melengking dari depan pintu kamar, membuat mereka berpandangan sejenak.
Cakra bergegas memakai baju dan membuka pintu, di luar ibu mertua telah berdiri dengan berkacak pinggang dan mata melebar.
"Ngapain saja kamu jam segini baru bangun?" teriak sosok berwajah tak bersahabat itu. Lihatlah, baru saja satu hari pengantin itu melepas masa lajang. Bukan kesan terbaik yang diperlihatkan oleh Ibu mertua, melainkan sebaliknya.
Jika saja bukan Cakra, mungkin sudah memilih pergi sejak awal. Tak mau berada di satu atap yang sama dengan mertua super jahat. Namun, baginya tak ada pilihan lain, karena tak ada orang tua. Pun untuk mengontrak rumah sendiri, belum ada dana yang mencukupi.
"Iya, Buk. Maaf. saya akan segera beraktivitas," jawabnya sambil melenggang pergi, meninggalkan Ibu mertua dan istrinya yang saling berpandangan itu.
Cakra tiba di dapur, di sambut dengan beberapa pasang mata yang menatap angkuh padanya. Mereka duduk mengitari meja makan kosong, entah apa yang sedang dilakukan keluarga itu.
Cakra awalnya tak ingin peduli, ia berjalan melewati setelah membungkukkan badan tanda penghormatan.
"Cakra!" suara berat Pak Moko membuat langkahnya terhenti. Lalu menoleh, bersitatap dengan sosok sangar. Menatap tajam ke arahnya.
"Dari mana saja kamu?" tanya Pak Moko lagi, membuat Cakra menggeleng tak habis pikir. Apa semua orang di rumah ini tak suka dengan aktifitas pengantin baru?
"Dia itu mau enak-enakan di rumah ini, Pak. Mentang-mentang pengantin baru, seenaknya saja!" Bu Moko yang baru datang bersama Mega pun turut bersuara sebelum ia menempatkan dirinya di antara yang lain. Cakra bergeming, memilih untuk tak menanggapi.
"Kenapa malah diam di situ? Kamu tau, kan? meja makan ini kosong. Sudah waktunya kami semua sarapan pagi," celetuk Bu Moko lagi. Dan anehnya, tak ada pembelaan sama sekali dari Mega untuk suaminya. Layaknya istri-istri pada umumnya, yang akan selalu membela suami di depan orangtuanya.
"Iya, Buk. Saya akan masak sekarang," Cakra menjawab tenang, lalu kembali mengayunkan kaki menuju dapur yang hanya di sekat dengan kayu membentuk patang aring.
"Nasi sudah ada. Bikin nasi goreng saja biar cepet!" suara perintah lagi dari Bu Moko, terdengar lantang hingga menggema di seluruh ruangan itu.
"Iya, Buk," jawabnya. Lantas mengerjakan secepat mungkin yang ia bisa, karena hari ini ada jadwal mengajar pagi. Beruntung, ia punya pengalaman segudang dengan aktivitas di dapur seperti itu. Jadi jika hanya perintah seperti ini saja, ia akan dengan mudah mengerjakannya.
Hingga beberapa saat, tujuh piring nasi goreng telah siap. tanpa dibantu oleh siapapun, Cakra membawa piring-piring itu menuju meja makan. Layaknya pelayan restoran, ia harus dua kali berbolak-balik. Yang terakhir adalah piringnya sendiri, menyusul duduk di dekat sang istri yang telah lahap menikmati sarapannya.
"Cakra, memang kamu nggak kerja?" Ia menghentikan sendok, menatap sosok di depan yang berperawakan tinggi dan nampak masih muda. Ia lantas menyimpulkan bahwa Itulah menantu Pak Moko yang pertama. Yang katanya kaya raya itu.
"Kerja, Mas. Habis sarapan nanti saya berangkat," Cakra menyahut.
"Memang kamu kerja di mana? Kok dekil begitu?" lelaki itu menyindir dengan tersenyum miring.
"Saya ngajar di SMP, Mas," jawab Cakra santun. Yang bertanya tadi mengernyit, mungkin tak percaya bila orang yang hendak di hinakan itu seorang guru.
"Guru negeri?"
Cakra menggeleng, "bukan, Mas. Masih sukuan," mendengar jawaban itu, sontak membuat lelaki tadi tergelak hingga kedua bahunya berguncang.
"Guru sukuan itu gajinya berapa, sih?" kini, gantian kakak pertama Mega yang ikut bicara. Seperti tak ada artinya guru sukuan bagi mereka. Karena yang terpenting adalah gaji, bukan lainnya. Seperti halnya menantu pertama di rumah itu, yang katanya bergaji besar.
"Kami, para guru sukuan memang tidak punya gaji besar, Mbak. karena kami bekerja dengan rasa ikhlas, dan gaji trbesar kami adalah rasa puas dan bangga ketika melihat anak didik memiliki prestasi bagus."
Dengan jawaban itu, sontak membuat seluruh orang di meja makan itu tertawa terbahak-bahak, kecuali Mega yang selalu diam saja. Sementara Cakra yang baru saja selesai bicara itu mengernyit, melihat mereka yang belum selesai dari gelak tawanya.
"Eh, memang kamu pikir hidup itu cukup dengan ikhlas dan puas? Memangnya anak istrimu nanti bisa kenyang, hanya dengan dua kata yang kamu bangga-banggakan itu, hah?" menantu pertama menegaskan, lalu kembali di susul dengan gelak tawa semakin riuh dari sebelumnya.
"Dasar menantu tidak berguna. Dia pasti bisanya cuma numpang hidup, dan merepotkan kita saja," Nyonya besar di rumah itu berkata pedas, membuat sebagian kepala Cakra terasa panas. Dan Mega, nampak memainkan sendoknya dengan pegangan erat, entah apa maksudnya.
"Maaf, Buk. Saya janji tidak akan selamanya tinggal di sini, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa memiliki rumah sendiri," Cakra menyahut penuh keyakinan, tetapi mereka semua saling menatap dan kembali tersenyum miring. Seperti tak percaya begitu saja dengan omongan tadi.
"Omong kosong macam apa, itu? Kamu yakin, bisa membuat rumah sendiri dengan gajimu yang di bawah lima ratus ratus ribu itu?" Ibu mertua bertanya sambil mencebik. Tak percaya begitu saja dengan yang diucapkan Cakra tadi.
Sedangkan dalam hati, Cakra ingin berucap 'bukankah menantu pertama yang katanya kaya raya itu masih tinggal bersama di rumah itu? Mengapa tidak dipermasalahkan? Apa karena gajinya besar?' namun hendak mengucapkannya, ia tidak sampai hati. Tak ingin di cap lancang sebagai orang baru di rumah besar itu.
"Mas Cakra. Yang penting, kamu tiap hari bisa ngantar aku ke kampus. Juga ngasih uang jajan, tiap hari. Itu adalah syarat pertama yang harus kamu lakukan sebagai kakak iparku!" anak bungsu di keluarga itu turut berbicara. Kalimatnya tidak sopan, sama sekali tak mencerminkan seseorang yang sedang menimba ilmu di perguruan tinggi.
Sebagai tiga bersaudara yang semuanya perempuan, anak Pak Moko memang sudah dibekali dengan pemikiran uang dan uang. Mereka menilai seseorang dari uang dipunya. Jika tak ada uang, maka mereka akan menganggapnya sebagai orang tak berguna. Layaknya pembantu yang bisa disuruh mengerjakan apapun.
"Lintang benar. Tugas pertamamu di rumah adalah mengantar jemput dia, serta ngasih uang jajan rutin," kata Pak Moko. Tegas, tak mau dibantah. Meski dalam hati Cakra masih bertanya, sebenarnya di rumah itu posisinya sebagai apa? Menantu atau pembantu?
"Satu lagi, Pak. Kalo suamiku lagi nggak ada di rumah, dia juga harus siap antar jemput aku!" anak pertama di rumah itu tak mau kalah. telah telah berapa lama mereka menikah, dan belum juga memiliki seorang anak.
"Iya. Itu juga tugasmu!" Pak Moko membenarkan. Tak ada jawaban dari yang lain, mereka semua sibuk dengan piring masing-masing. Hingga nasi goreng itu berpindah ke dalam perut mereka.
Cakra menumpuk piring dan gelas kotor yang berserakan di atas meja, membawanya ke dapur untuk dicuci sekarang juga. ia takut jika hari ini ada pelajaran tambahan bagi murid-muridnya nanti.
Usai mencuci piring, ia bergegas kedalam kamar. Bersiap untuk berangkat ke sekolah. Ia harus berangkat lebih awal, karena dari rumah itu, cukup jauh jarak tempuhnya menuju sekolah.
Cakra mematut diri di depan cermin, memakai kemeja berlengan panjang berwarna biru cerah, dengan bawahan celana kain berwarna gelap. Dipadu dengan sepatu pantofel yang sudah tak baru lagi, tetapi masih bisa dipakai.
Ia terkesiap, ketika tiba-tiba mega sudah berdiri di belakangnya. Cakra menoleh, mengulas senyum pada gadis berwajah dingin itu.
"Mega, hari ini aku mau berangkat ke sekolah, ya. kerjaku adalah sebagai pengajar sukuan di salah satu SMP. Memang gajinya nggak besar, tapi jika kita bersyukur, semua aman terkendali," Entah ada dorongan apa, ia mengatakan hal itu pada istrinya. Yang ia pun belum tau, sebenarnya Mega menerima atau tidak perjodohan itu?
"Mas Cakra! Mau nggak sih, ngantar aku?"
***