Chereads / TERSAKITI DALAM SETIA / Chapter 22 - Menemui Si Kembar

Chapter 22 - Menemui Si Kembar

Deril disibukkan dengan Lea, namun merasa rindu kepada dua bocah kembar, akhirnya dia menemui Sayyida, sisi lain hubungan Deril dan tiga anak Sayyida menjadi pertanyaan? Bagiamanakah hubungan mereka?

Karena rindu, Deril meluangkan waktu membawa Rafa dan Dafa ke kantornya membuat laki-laki itu kelimpungan mendiamkan mereka ketika berebut permainan. Namun, hubungan dua anak Sayyida dengan Daniel sudah sangat dekat. Mereka selalu mencari sosok Deril ketika pria itu sibuk bekerja dan seharian mereka tidak bertemu.

"Ayo pulang. Ini sudah siang, anak-anak pasti mengantuk," kata Deril berdiri dari duduknya. Dia melihat permen anak-anak juga hampir habis. "Sayyida pastikan sebelum mereka tidur siang, kedua bocah ini sudah menyikat gigi oke?"

Sayyida tertawa dengan pesan Deril kepada anaknya itu. "Baik Kapten."

"Kalau begitu ayo," mengambil dua anak dan menggendongnya. "Rafa Paman yang gendong. Dafa sama Mama oke?" Mengedipkan satu mata pada anak bungsu itu.

"Oke kapcen!" kata Dafa dengan bahasa anak kecil yang belum jelas.

"Ayo, Nak!" Sayyida mengambil Dafa dan menggendongnya.

"Bagus, sekarang ayo kita pulang ke rumah dan tidur siang. Horeee!" ucap Deril dan berjalan bersama-sama dengan Sayyida.

Kalau di lihat dari belakang mereka seperti satu keluarga yang bahagia. Namun, kenyataannya tidak seperti itu.

Di tempat lain sosok Afwan melihat itu semua dengan mata kepalanya. Menyaksikan nya secara langsung kedekatan Sayyida dengan Deril. Bahkan anak-anaknya.

"Apa mereka mengenalku sebagai Ayah?" tanya Afwan pada dirnya sendiri. Sedih rasanya dia tak ada menemani Sayyida ketika mengandung dan berjuang sendirian membesarkan anak-anak mereka.

***

Afwan terus memperhatikan keadaan rumah di hadapannya dari luar gerbang. Kini dia melihat Deril telah keluar dari rumah itu. Afwan juga melihat di sana ada sosok istrinya yang melambai pada Deril yang akan pergi.

Buru-buru Afwan bersembunyi di balik dinding ketika mobil Deril melewatinya. Pintu rumah Sayyida kembali tertutup.

Setalah semuanya aman, Afwan akhirnya memberanikan diri untuk pergi ke rumah Sayyida. Dia sampai di depan pintu masuk dan terdiam sejenak.

Menarik napas panjang lalu mengeluarkannya, Afwan mengayunkan tangannya untuk mengetuk pintu rumah.

"Iya, tunggu sebentar!"

Dari luar rumah Afwan bisa mendengar langkah kaki Sayyida yang mendekati pintu. Dan pintu akhirnya terbuka.

"Iya, Cari sia ... Mas?" Mata Sayyida langsung membulat tak percaya melihat sosok Afwan berdiri di hadapannya.

"Pergi, di sini tidak ada siapapun yang kamu cari!" Sayyida langsung ingin menutup pintu namun, Afwan menahannya.

"Aku ke sini untuk mencarimu dan ... Anak-anak kita. Tolong buka pintunya."

Wajah Sayyida telah memerah dan matanya pun telah berkaca-kaca. Dia yang tak bisa menahannya lagi akhirnya menangis.

Sayida menggeleng, "Pergilah! Kamu jangan mencari kami lagi! Pergi!"

"Tolong dengarkan aku dulu ... biarkan aku meminta maaf padamu dan anak-anak kita. Aku mohon."

Dengan cepat Sayida menutup pintu.

"Mama?"

Perhatian Sayida langsung mengarah ke bawah. Dua anaknya sedang menyaksikan Sayida yang menangis.

"Mama nangis?" tanya Rafa anak yang paling dewasa dan peka. Dafa sang adik hanya menatap sang ibu dengan tatapan polosnya.

"Gak apa-apa Sayang. Kalian cepat kembali ke kamar ya?"

"Mama itukan Papa!" teriak Dafa dengan kencang seraya menghampiri pintu yang tertutup setengah. " Mama, Ini Papa. Ayo buka pintunya!" Tangan kecilnya menarik pintu agar terbuka dan dia bisa melihat sosok yang dia yakini adalah Papa nya.

Afwan sangat terkejut, dan tidak menduga kalau Sayida tetap memperkenalkan dia sebagai ayah dari si kembar.

"Mama ini Papa Afwan!" Teriaknya dengan senyuman cerah.

"Ma, Ayo buka pintunya," pinta Dafa lagi yang membuat Inara tak bisa menolak.

Pintu itu akhirnya terbuka lebar.

"Papa!" Sosok Rafa dan Dafa langsung berlari ke arah Afwan.

Afwan berjongkok dan menyambut pelukan-pelukan kecil itu dengan hangat. Afwan tidak menyangka anak-anaknya ternyata mengenalnya sebagai sosok Papa. Dia berterima kasih pada Sayida, karena tak melupakan dirinya.

"Iya, ini Papa Sayang. Papa kembali." Mengelus sayang dua anaknya yang masih balita itu.

Sayida membalikkan tubuhnya dan meredam tangisannya di balik tangannya. Dia sungguh tak tahan dengan hal ini. Sayida merasa sebagai ibu yang paling buruk karena berniat memisahkan ayah dan anak.

Rafa anak tertua itu menatap ibunya dengan sedih. Lalu dia balik menatap Afwan.

"Papa jahat! Kenapa Papa buat mama nangis! Dan kenapa selama ini Papa tidak menemui kami!" teriak anak itu menghampiri ibunya dan memeluk kaki ibunya.

Sayyida berjongkok dan memeluk Rafa dan terus menangis. Afwan dalam tangis haru hanya dapat memeluk Dafa dengan erat, seakan tidak mau kehilangan lagi. Namun karena malu dan terlalu bersalah Afwan berdiri.

"Ayah akan sering mengunjungi kalian. Apa kau mengizinkan Sayyida?" tanya Afwan dengan tatapan penuh harap, serta mata yang berkaca-kaca, Sayyida mengangguk kemudian Afwan pergi dari rumah itu. Melangkahkan kaki dengan sangat tidak rela. Dafa dan Rafa memeluk sang mama.

***

Deril tengah pergi untuk beberapa hari kedepan untuk mengurus sedikit kutu kutu kecil yang menganggu kenyamanan hidup Deril.

"Pukul sembilan malam nanti, berikan suntikan vitamin ke nona Adelea. Jangan sampai terlambat. Aku akan pergi sebentar untuk mengambil beberapa kantong infus."

"Hati - hati dokter. Ah, belikan aku makanan ringan juga, oke?" pinta seorang salah perawat kepada Dokter.

"Jangan khawatir. Aku pergi ..."

Kini tinggal suster Melita dan juga Lea yang tengah terbaring lemah. Pukul sembilan itu masih setengah jam lagi. Suster melita duduk di kursi samping ranjang Lea sembari memainkan ponselnya.

Hingga beberapa saat kemudian tiba tiba suara sesak nafas dari Lea dan kepala Lea mulai bergerak gelisah seolah olah mencari udara dengan mata yang masih tetap tertutup rapat.

Suster Melita yang melihat itu pun menajadi terkejut tak kepalang.

"Astaga, ya tuhan. Nona?! Nona?!" Suster Melita masih berusaha untuk menyadarkan Lea. Lalu mengecek satu persatu alat alat yang menempel pada tubuh lea, ia mengeceknya mulai dari infus, Oksigen,hingga ke alat deteksi jantungnya. Alat itu kini berbunyi lebih cepat.

Suster Melita pun bahkan kembali mengecek secara detail ke tekanan darah, bola mata, hingga rongga mulut Lea.

"Bagaimana ini." tidak tau harus apa lagi karena semua yang ia cek normal, akhirnya ia memutuskan untum menelfon dokter Nina.

"Dokter cepatlah kembali dokter! Nona Adelea sesak nafas. Namun anehnya, semua normal, tekanan darah dan yang lainnya normal. Kumohon cepatlah kembali dokter!" cemas suster Melita.

"Ah, baiklah. Berikan penanganan awal selagi aku masih dalam perjalanan menuju kesana. Aku percaya padamu."

"Baiklah."

Klik!

Setelah memutuskan panggilan dengan Dokter Nina, suster Melita segera keluar dan mencari keberadaan Alex. Peluh di keningnya mulai terlihat. Tangannya bergetar tanoa henti. Sungguh, ia tak melakukan apapun. Ia takut akan di tuduh, lalu jika Deril tau maka ia bisa saja akan menjadi mayat dalam sekejab.

"Tuan Alex! Tuan Alex!" teriak Suster Melita.

Dengan tergesa gesa pula Alex datang. "Ada apa?"

"Cepat, siapakan mobil!"

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu padanya?" tanya Alex.

"Ya, nona Adelea sesak nafas di dalam. CEPAT!" sentak suster Melita karena sangking takut dan juga khawatir. Alex pun segera berlari pergi.

Alex pergi dokter Nina pun datang.

"Ada apa?"

Tanpa ba bi bu lagi suster Melita pun segera menarik tangan Dokter Nina kedalam.

"Bagaimana bisa? Kau jaga dia dengan baik bukan?!"

Dokter Nina pun segera memasangkan stetoskop ke telinganya.

Setelah di cek ke beberapa titik, Dokter Nina segera menyimpan stetoskopnya dan berkata.

"Cepat cari seseorang di luar, dan segera kita bawa Nona Adelea ke rumah sakit!" perintah Dokter Nina.

Tubuh Lea yang tiba tiba mengalami seperti orang sesak nafas, langsung di bawa ke rumah sakit tempat dimana dokter Nina bertugas. Sampai di ruang tindakan, dokter Nina pun yang menangani Lea sebagai dokter pribadi. Di bantu oleh 3 dokter lain.

Setelah di lakukan tindakan selama beberapa saat, Brankar Lea di pindahkan ke ruangan rawat inap.

Dokter Nina keluar terpisah dari yang lain. Ia keluar untuk menemui Alex dan beberapa orang yang ada di depan.

"Bagaimana?" tanya Alex to the point.

"Tidak apa, tidak ada yang perlu di khawatirkan, itu hanya syok sesaat yang di alami oleh Lea di bawah alam sadarnya." jelas dokter Nina tenang.

"Emm ... Apakah apa kita akan memberi tau tentang keadaan nona Adelea kepada tuan Deril? Ini semua hanyalah efek dari alam bawah sadar nona Adelea."

"Tapi, mungkin bisa saja bukan, suster itu yang-"

"Tidak, bukan dia," sela cepat dokter Nina.

"Semua kondisi alat vitalnya aman dan juga stabil. Percayalah pada mereka."

"Baiklah jika memang begitu. Tapi, jika suatu sat terjadi apa apa, kau sendiri yang harus berhadapan langsung dengan tuan Deril."

"VVIP nomor 1,1 lantai dari lantai ini," jelas dokter Nina yang menunjukkan ruangan yang Lea tempati.

Dokter Nina menundukkan tubuhnya saat Alex dan lainnya pergi.