"Aku akan siapkan sarapan kalau begitu," ujar Kania.
"Sudah disiapkan bibi," ujar Genta lagi dengan senyuman manisnya.
Kania menganggukkan kepalanya kemudian. "Kalau begitu biar Mikaela aku mandikan."
"Sebentar lagi saja. Kami masih ingin berkeringat. Matahari pagi bagus untuknya."
Kania memainkan bibirnya. Genta sepertinya berusaha keras mengurangi beban isteri agar perempuan itu tidak tertekan. "Kalau begitu aku akan olah raga sebentar. Om yakin main bersama Mikaela."
Genta menganggukkan kepalanya. "Saya sudah lima hari sibuk. Hari ini waktu saya bersama tuan puteri ini."
Kania merasa aneh ketika Genta tidak mengeluarkan kalimat genitnya sedikitpun. Perempuan itu jadi menginginkannya sekarang. Kania benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Ia juga tidak mengerti kenapa dia memilih baju yang mencetak badannya untuk olah raga hari ini. Baju yang menampilkan perutnya yang mulai terbentuk lagi.
***
"Om, aku mau makan di luar dengan Abi nepatin janji. Abi enggak mau diganti dengan uang lagi." Kania menghampirinya ketika hampir jam makan siang. Perempuan itu sudah berdandan sedikit dengan pakaian casual ala anak 17 belas tahunnya.
Genta menggigit bibirnya kemudian menganggukkan kepalanya. Kania menatap pria itu. "Om enggak ikut?"
Genta menaikkan wajahnya. "Tidak apa-apa saya ikut?"
"Supaya enggak menimbulkan pertengkaran di antara kita aja. Lagipula aku enggak tahu apa yang terjadi dengan aku dan Abi selama di Sydney. Kalau aku celingak-celinguk lagi, Abi benar-benar memandangku dengan aneh nanti. Sekalian membuktikan kalau enggak ada apa-apa antara aku dan Abi," ujar Kania.
Genta menganggukkan kepalanya. "Tapi Mikaela baru aja terlelap."
"Aku sudah bilang untuk nitip Mika ke bibi. Air susunya juga masih ada di kulkas."
Genta menganggukkan kepalanya untuk kesekian kalinya. "Kamu masih menggunakan pump breast?"
"Dikit, kalau lagi banjir. Dari pada tumpah dan mubazir."
Genta menganggukkan kepalanya. "Saya siap-siap sebentar." Tidak lama. Genta hanya menyambar jaket kulitnya lantas turun lagi ke bawah. Demi apapun, Genta sangat tampan dengan setelan monokromnya itu. Terkesan berkarisma. Pantas saja Kania masa depan tergila-gila pada laki-laki itu.
"Yuk!" ujar Genta.
Kania tergugu. Genta mengacak rambut isterinya itu. "Kamu sedari pagi sering melamun. Mikirin apa?"
Kania menggelengkan kepalanya. Gengsi ketika dia mengatakan pada Genta dia mengagumi pria itu. apalagi setelah semalam dia mencaci laki-laki itu habis-habisan. "Bukan yang serius."
Genta melirik isterinya tersebut dengan tatapan khawatir. Takut dia tidak peduli lagi pada Kania. Takut dia melewatkan detail kecil pada isterinya tersebut. Kania tentu saja lebih ketakutan lagi. Takut kalau dia ketahuan. "Buru Om!" ujarnya mendorong tubuh suaminya tersebut.
Abi sudah sampai lebih dulu ketika Kania dan Genta tiba di lokasi yang dijanjikan. Pria itu tampak tidak terkejut dengan Genta yang juga ikut bergabung. Abi tahu bagaimana Genta menjaga isterinya. Mereka sama-sama pria. Genta pasti bisa membacanya dengan tepat terlepas dari insiden mabuk itu atau bukan.
"Gue udah pesanin makanan untuk Kalian," ujar Abi begitu Kania duduk.
Kania menganggukkan kepalanya. "Makasi," ujarnya.
"Tuan puteri kemana? Enggak diajak?" tanya Abi.
Kania menggelengkan kepalanya. "Dia tadi tidur. Jadi aku titipin sama bibi."
Abi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sekalian biar kalian punya waktu pacaran lagi ya?" tanya Abi dengan senyuman mencibirnya. Dia tampak tidak tergubris dengan kehadiran Genta, tapi suami Kania sangat berbeda.
Kania berdecak tipis. "Apaan sih, Bi!"
Abi beralih pada Genta. "Apa kabar, Om?" tanya laki-laki itu basa-basi.
"Seperti yang kamu lihat. Saya belum setua itu untuk sakit-sakitan." Judes dan ketus.
Kania menatap Genta beberapa saat. Oh! Dia benar-benar tidak bisa bermanis muka sedikit pada Abi. Tahu isterinya yang menatapnya, Genta berdehem kecil meredakan sedikit perasaan cemburunya meskipun sulit. Genta takut Kania marah lagi padanya.
"Saya baik-baik aja," ralat Genta dengan pernyataan yang lebih baik. Abi mengerutkan keningnya menatap pasangan itu secara bergantian.
"Ada masalah dengan kalian berdua? Tumben dingin-dingin gini. Biasanya umbar kemesraan aja depan gue tanpa tahu malu!" ujar Abi melirik dua orang itu.
Kania menggelengkan kepalanya. "Lo kayak enggak ngerti gimana Om genta aja."
"Om??" Abi menelisik dengan panggilan aneh itu. "Gue perhatiin lo udah jarang banget manggil suami lo dengan sebutan 'Mas'."
Kania menyerngit. "Om lebih bagus lagi. Lebih menggoda," ujar Kania pada teman masa kecilnya tersebut.
Abi berdecak tipis. "Terserah lo deh!" ujar Abi angkat tangan. Kania tertawa, sambil menyandarkan sedikit badannya pada Genta. Mungkin Kania yang mencintainya bertindak seperti itu adalah hal yang biasa baginya. Tapi Kania yang semalam tertekan, membuat banyak pikiran dan pertanyaan yang ada dalam benak laki-laki itu.
"Makanya cari pacar juga."
"Kalau gue tunggu Mikaela besar aja gimana?" tanya Abi.
Mata Genta langsung melotot bereaksi. Sementara Kania sudah melayangkan pukulan pada kawannya itu. "Enggak mau gue."
"Kenapa enggak? Suami lo sama Om Tara juga temanan. Bisa-bisa aja. kita juga temanan. Jadi juga bisa dong."
"Gue enggak akan serahin Mikaela pada cowok tukang ngompol kayak lo!"
Abi mendengus. "Itukan waktu kecil, Kania."
Kania menaikkan bahunya sambil mencibir. Setelah makanan datang, mereka lebih banyak diam. Kania bersyukur Abi tidak membahas nostalgia Sydney. Malah membahas nostalgia masa kecil yang bisa Kania ingat.
"Gue duluan ya, makasi traktirannya!" ujar Abi berdiri setelah selesai.
Sekarang gantian Kania dan Genta yang berpandangan. Ditinggalkan berdua dengan Genta setelah apa yang terjadi semalam. "Om, kalau mau nonton dulu mau enggak?" tanya Kania. "Lagi ada film bagus," ujar perempuan itu.
Genta menganggukkan kepalanya saja. Pelayan memberikan tagihan bill begitu mereka akan berangkat. Kania melototkan matanya melihat total harga makanan yang akan dibayarkan oleh Genta. "Abi!!!" geram perempuan itu kawannya.
Genta mengeluarkan dompetnya, membayar dengan enteng harga yang cukup mahal bagi Kania itu disana. pantas saja Abi menawarkan diri untuk memilih tempat. Laki-laki itu sudah berencana untuk menguras dompet Kania. Kalau beginikan Kania rugi. Tahu gitu dia tidak akan menawarkan ganti uang Abi.
"Sudahlah! Setidaknya kamu tidak memiliki hutang budi apapun lagi sama dia," komentar Genta melihat gerutuan isterinya tersebut.
"Tetap aja enggak adil Om!" ujar Kania. Kania berhenti mengoceh tentang Abi setelah menyadari raut ketidak sukaan Genta dari wajah suaminya tersebut. Pria itu tidak suka isterinya terus-terusan menyebut nama ABi meskipun hanya untuk complain. Hal itu tergambar jelas di wajahnya seberapa keras Genta berusaha meredam cemburunya.
"Kalau aku pilih genrenya drama romantis enggak apa-apakan, om?" tanya Kania beralih berganti topik. Perempuan itu sedang memesan tiket nonton via digital.
Genta tersenyum melirik pada isterinya itu. "Terserah kamu saja. Kalau tidak nyaman nonton bersmaa saya juga tidak apa-apa, kita bisa pilih kursi yang berjauhan," ujar Genta.