"Kenapa? Kau takut hidupmu tanpa fasilitasku?" Victoria sudah tahu apa yang dipikirkan Erland. Cucunya itu mana mungkin bisa hidup tanpa fasilitas darinya.
Erland menarik nafas panjangnya. Kedua tangannya mengepal. Dia berusaha menahan emosi yang membara di dalam hatinya.
"Aku akan memberimu waktu satu kali dua puluh empat jam, jika kau tidak berkata iya, angkat kaki dari rumah ini!" Victoria tidak ingin mendapat penolakan. Dia menatap Erland dengan tatapan sinis. Tidak ada yang bisa melawannya. Siapapun yang tinggal di rumah besar Keluarga Dewangkara harus mengikuti perintahnya
Erland berjalan menuju tangga dengan lesu. Perkataan Victoria terngiang-ngiang di telinganya. Menjadi ultimatum yang tertanam dan tidak bisa ditolak olehnya.
"Erland!" Seorang wanita tua berhijab menghampiri Erland. Wanita yang terlihat hangat dan penuh kasih sayang terpancar di wajahnya.
Erland menghentikan langkahnya. Menoleh ke samping.
"Ma belum tidur?" tanya Erland. Meski dia begajulan di luar, Erland sangat menyayangi ibunya.
"Belum Nak, kok masuk rumah gak ngucapin salam?" Sisilia selalu mengingatkan Erland pada hal yang baik. Walaupun sering masuk telinga kanan dan ke luar telinga kiri.
"Selamat malam Ma."
"Salamnya orang muslim Nak, ada doa di dalamnya," sahut Sisilia. Tak pernah lelah mengingatkan putra bungsunya.
"Ma, haruskah? Sepertinya itu membosankan. Gak sesuai untuk style-ku." Erland selalu berat jika diajak melakukan hal baik.
"Apa sulitnya mengucapkan salam?" tanya Sisilia. Sudah beberapa kali diingatkan untuk mengucapkan salam tapi Erland tak pernah mau mengucapkannya.
"Aku ngantuk Ma, besok aja kita bicara lagi ya." Jika Erland diam di tempat ibunya akan menceramahinya sampai dia bosan.
"Tunggu dulu Nak, apa nenek sudah bicara soal perjodohanmu dengan cucu sahabatnya?" Sisilia ingin tahu apakah Erland sudah tahu rencana perjodohannya dengan cucu sahabat neneknya.
"Aku malas membahasnya Ma," jawab Erland. Dia malas mengingat kembali ucapan Victoria yang mengancamnya.
"Jangan melawan nenekmu, kau tahukan akibatnya?" Tak hanya Erland, Sisilia juga tidak berani melawan wanita nomor satu di rumah Keluarga Dewangkara itu.
"Kenapa Mama dan semua yang ada di rumah ini harus menuruti dan mengikuti perintah nenek?" tanya Erland. Tak ada yang berani melawan neneknya. Victoria sang penguasa di Keluarga Dewangkara, ucapannya adalah perintah untuk semua orang.
"Kau tahu alasannya. Jadi Mama berharap kau setuju dengan perintah nenek." Sisilia hanya bisa meminta anaknya untuk mengikuti keinginan Victoria, menikah dengan cucu sahabatnya.
Erland hanya diam kemudian naik ke lantai atas tanpa memberi jawaban pada ibunya. Dia langsung masuk kamarnya. Menjatuhkan diri di ranjang king size yang empuk dan nyaman itu.
"Kalau aku tidak mengikuti perintah nenek, menggembelah di luar sana." Erland sudah tahu perintah Victoria tidak akan bisa ditolak oleh siapapun termasuk dirinya. Siap-siap hidup susah jika dia tidak menurutinya.
Erland memijat kepala bagian dahinya. Masalah itu membebani pikirannya, membuat Erland pusing dibuatnya.
"Argghhh! Nanti ku pikirkan lagi, mana tahu besok nenek mati, aku tidak perlu menikahi cucu sahabatnya." Erland mulai menutup matanya. Lebih baik tidur dengan nyenyak dari pada memikirkan perjodohan yang merepotkannya.
"Erland! Erland! Hi ... hi ... hi ....!" Suara hantu terdengar di telinga Erland. Seketika Erland membuka mata.
"Ne-nek!" Erland terperanjat melihat hantu Victoria ada di depannya. Hantu itu berjalan seperti zombie meluruskan kedua tangannya ke depan.
"Menikahlah! Menikahlah!" Victoria terus bicara menikah sambil menghampiri Erland yang masih duduk di ranjang.
"Tidak!" Erland berteriak. Dia masih tertidur namun Arisha membisikkan kata menikahlah di telinga Erland.
"Menikahlah! Menikahlah!" Arisha terus berbisik.
Erland langsung terbangun karena suara Arisha semakin keras. Matanya langsung membulat. Terbuka lebar. Keringat bercucuran. Nafasnya tersengal-sengal dan jantungnya berdebar tak karuan karena mimpi buruk yang menakutkan.
"Menikahlah! Menikahlah!" Arisha masih berbisik di telinga Erland sambil menakut-nakutinya.
"Sudah belum?" tanya Erland. Tatapan matanya dingin ke depan. Dia tahu itu ulah Arisha.
"Bos selamat pagi!" Arisha tanpa berdosa berdiri di depan Erland menyambutnya dengan suka cita sambil membuka kedua tangannya.
"Siapa yang menyuruhmu mengatakan menikahlah tadi, heh?" tanya Erland. Dia menatap tajam wanita berhijab yang tampak riang gembira itu.
"Tentulah Nenek. Gak percaya?" tanya Arisha. Dia berjalan ke sudut ruangan. Mengambil stand x banner dan meletakkan di depan Erland.
"Silahkan dibaca Bos!" titah Arisha.
Erland melihat tulisan yang ada di stand x banner itu.
"Menikahlah atau angkat kaki?" Erland terperanjat melihat tulisan yang ada di depannya. Tak disangka Victoria sudah mempersiapkan semua itu.
"Benarkan, aku hanya menjalankan perintah. Untuk membangunkan Bos di hari terakhir anda sebagai Bos jika anda menolak untuk menikah." Arisha sudah ditelpon dari pagi untuk datang ke rumah Keluarga Dewangkara untuk mengurus keperluan Erland.
"Nenek benar-benar menyebalkan." Erland tak menyangka Victoria akan seketat itu. Sampai hati akan mengusir cucunya jika dia menolak.
"Aku dengar loh Bos. Nenek benar-benar menyebalkan. Kalau nenek tahu ini?" Arisha menggoda Erland.
"Oh kau mulai mengadu Nona pemberani, baiklah, aku lapar-lapar sekali. Bibir merah delimamu pasti mengenyangkanku." Erland bangun. Beranjak turun dari ranjang.
"A-ampun Bos. Tadi hanya bercanda. Pagi ini bibirku lagi sariawan, nanti menular, iyakan?" Arisha tersenyum sambil mundur-mundur dan membuka kedua telapak tangannya di depan dada.
"Aku belum puas sebelum merasakan bibir merah delimamu itu." Erland berjalan mendekat. Arisha langsung kabur ke luar dari kamar Erland. Dia berlari hingga menubruk Renata yang ada di depannya.
Dug ...
"Ma-af, aku tak sengaja." Arisha berdiri dan meminta maaf pada wanita cantik di depannya.
"Kau pikir bisa ke luar masuk rumah ini sesukamu? Siapa kau? Hanya kacung suruhan nenek." Renata sengaja menghina Arisha. Dia tidak suka dengan Arisha yang menjadi sekretaris pribadi Erland.
"Tidak masalah kalau aku kacung. Asal bukan parasit yang hanya menumpang dan mengerogoti pohon ditumpanginya." Arisha tidak peduli disebut kacung. Selama pekerjaan itu halal dan tidak menyakiti orang lain. Dia tersenyum dengan bangganya menatap wanita yang sengaja ingin membuatnya tak percaya diri.
"Kau bilang aku parasit?" Renata marah mendengar ucapan Arisha.
"Aku tidak bilang seperti itu. Nona sendiri yang mengatakannya. Assalamu'alaikum." Arisha berjalan melewati Renata yang masih kesal padanya. Dia tidak takut meski seribu kali berhadapan dengannya.
***
Erland duduk di kursi kerjanya. Dia masih memikirkan ucapan Victoria yang semalam. Jika malam ini Erland tidak memberikan jawaban iya, maka Erland akan angkat kaki dari rumah. Dia dalam posisi yang tersudutkan. Selama ini sudah terbiasa hidup nyaman dan bergelimang harta mana mungkin bisa hidup susah.
"Bos!" Arisha sudah berdiri di samping Erland.
"Hei sejak kapan kau ada disitu? Kau ingin memberiku booster?" tanya Erland.
Arisha tahu booster yang dimaksud Erland. Dia tersenyum dan mundur ke belakang.
"Tidak Bos, justru aku mau pamit pulang." Sudah sore waktunya Arisha pulang. Tapi dia harus pamit dulu pada Erland meski jam kerjanya sudah habis kecuali Erland menyuruhnya lembur.
"Temani aku bertemu seseorang!" titah Erland.
"Meeting?" tanya Arisha. Dia tidak tahu untuk urusan apa Erland mengajaknya pergi. Setahu Arisha semua pekerjaan kantor sudah selesai.
"Kau lupa syarat kelima? Jangan banyak tanya urusanku."
Arisha mengangguk.
Mereka berdua pun pergi ke sebuah apartemen. Arisha disuruh menunggu Erland di depan pintu sampai dia selesai dengan urusannya.
"Erland di dalam dengan siapa ya?" Arisha berdiri di depan pintu apartemen. Sesekali turun ke bawah untuk sholat dan kembali lagi di depan pintu, karena lelah Arisha duduk bersandar di dinding yang ada di samping pintu. Lama-lama matanya menutup dan tertidur.
Di dalam Erland sedang bersenang-senang dengan wanita yang dikencaninya. Dia menikmati kebersamaannya dengan wanita itu. Paling hanya sekali, setelah itu dia tidak akan mengencani wanita yang sama lagi.
Dua jam berlalu. Erland ke luar dari ruangan itu, dia melihat Arisha duduk di bawah bersandar di dinding. Dia sudah tertidur lelap.
"Nona pemberani kau sudah tidur, ku pikir kau robot." Erland mendekatinya. Berjongkok di depan Arisha. Memperhatikan wajah cantiknya.
"Kalau dilihat dari dekat dia cantik, tapi dia orangnya nenek, bisa saja dia ular yang berbisa," gumam Erland.
Tanpa membangunkan Arisha. Erland langsung menggendong tubuh Arisha di belakang punggungnya. Arisha tak sedikitpun bangun. Dia benar-benar kelelahan. Terlelap di punggung Erland.
***
Di dalam mobil Arisha terbangun. Dia sudah berada di dalam mobil milik Erland. Sang casanova juga duduk di samping Arisha dan merangkul. Seketika Arisha melepas tangan Erland.
"Kenapa? Seharusnya kau senang aku menyentuhmu." Erland menatap Arisha yang terlihat canggung.
"Tidak, aku sekretaris anda. Bukan wanita yang anda kencani setiap saat lalu dibuang begitu saja." Bagi Arisha harga diri harga mati. Wanita patut mempertahankan kehormatannya.
"Naif. Semua wanita menginginkanku. Kau butuh apa? Apartemen, mobil mewah, uang? Asal cium aku!" Erland yakin Arisha akan menyerah. Mana ada wanita menolak kharismanya ataupun harta yang dimilikinya
"Makasih. Tapi aku tidak butuh semua itu. Jadi, jangan harap aku akan menciummu Erland Dewangkara." Arisha terang-terangan menolak Erland.
"Pak turun di depan!" ucap Arisha pada supir di depannya.
"Iya Nona."
Mobil berhenti di tepi jalan sesuai yang diminta Arisha.
"Assalamu'alaikum." Arisha mengucapkan salam kemudian turun dari mobil. Membiarkan Erland menatapnya dengan dingin.
"Lambat laun kau akan menyerahkan dirimu sendiri, lihat saja nanti!" Erland tersenyum licik. Dia yakin Arisha akan menyerahkan dirinya dengan suka rela.
Sampai di rumah Keluarga Dewangkara, Erland melihat ada koper miliknya di depan teras. Erland terperanjat melihat Victoria sudah ada di depan pintu. Menatap Erland dengan tajam dan memangku tangannya.
"Kau sudah siapkan jawabanmu?" tanya Victoria.
Erland terdiam. Dia melirik koper miliknya. Jika menolak malam itu juga angkat kaki.
"Aku bersedia menikah dengan cucu sahabat nenek." Erland terpaksa menerima perjodohan yang direncanakan neneknya. Dari pada harus hidup susah di luar sana.