Chereads / Sekretaris Soleha Untuk Casanova / Chapter 11 - Menikahlah

Chapter 11 - Menikahlah

Arisha menuang semua daging yang dibungkusnya dari restoran ke mangkuk. Dia juga membuat teh hangat untuk Safira dan dirinya. Tak lupa menggelar tikar untuk duduk lesehan. Kemudian meletakkan mangkuk berisi daging, nasi, piring dan teh hangat di tengah tikar.

"Wah ada daging, kau dapat dari mana Nak?" tanya Safira yang baru masuk ke ruang tamu. Melihat makanan yang ada di mangkuk.

"Tadi Bos mengajakku makan, karena aku masih kenyang jadi minta bungkus, biar bisa makan sama ibu," jawab Arisha. Tangannya sibuk meletakkan piring untuk dirinya dan Safira lalu menyendok nasi ke piring-piring kosong di depannya.

"Makasih ya Nak sudah ingat ibu, ibu jadi merasa spesial ada yang perhatian," sahut Safira. Matanya berkaca-kaca. Memiliki Arisha dalam hidupnya adalah sebuah anugerah. Padahal dari kecil Arisha sudah hidup berkecukupan saat bersama Raditya, tapi demi bersama Safira dia harus menjalani hidup yang sulit.

"Iya Bu, aku akan terus perhatian sama ibu, karena aku sayang ibu," jawabnya. Tersenyum manis pada wanita yang sudah melahirkannya.

Safira mengangguk. Harta yang paling berharga darinya saat ini adalah Arisha. Dia tidak ingin kehilangan Arisha untuk yang kedua kalinya. Perceraian sudah memisahkan Safira dengan Arisha. Dia tidak diperbolehkan bertemu dengan anaknya meski sebentar. Bertahun-tahun harus memendam kerinduan. Hanya selimut bayi yang masih disimpan Safira untuk mengurangi kerinduannya pada Arisha.

"Ayo Bu makan! Aku laper banget," ucap Arisha sambil memegang perutnya yang sudah keroncongan dari tadi. Dia masih mengenakan pakaian kerja dan hijab dikepalanya.

"Iya Nak," jawab Safira dengan lembut. Dia tahu Arisha sudah sangat lapar.

Safira dan Arisha duduk di tikar. Menikmati makanan yang dibawa Arisha dari restoran. Daging makanan mewah untuk mereka berdua, hanya disaat memiliki uang lebih baru bisa menikmatinya. Arisha makan dengan begitu lahap, sampai menghabiskan nasi di bakul. Sedangkan Safira makan sambil memikirkan sesuatu dipikirannya.

"Alhamdulillah, nikmat Bu," gumam Arisha sambil memegang perutnya yang kenyang. Sudah lama tak makan sebanyak itu.

"Alhamdulillah."

Arisha bergegas membereskan piring-piring kosong ke dapur. Lalu duduk kembali bersama Safira sambil membantunya merajut tas yang akan dijual esok hari.

"Bu, tas rajutnya boleh gak aku jual di online?" tanya Arisha. Tangannya terampil merajut benang-benang nylon menjadi sebuah tas kecil.

"Ya boleh, memangnya ada yang mau beli?" Safira menoleh ke arah Arisha.

"Banyak Bu, pembelinya bisa dari mana pun bahkan luar kota," jawab Arisha. Dia ingin membantu Safira agar lebih mudah lagi memasarkan dagangannya.

"Kalau begitu ibu harus buat yang lebih bagus biar pembelinya banyak." Mungkin dengan inovasi bentuk dan motif yang berbeda akan menarik pembeli.

"Ide bagus Bu. Besok aku pakai ke kantor siapa tahu ada yang mau," sahut Arisha. Di kantor begitu banyak karyawan, dia bisa memakai tas rajut itu sekalian promosi secara tidak langsung.

Safira mengangguk. Arisha tidak pernah gengsian. Meski dulu pernah jadi putri raja yang duduk manis di istana. Dia bisa menyesuaikan hidupnya yang sekarang tanpa mengeluh.

"Arisha ada yang ingin ibu bicarakan padamu Nak." Ada keraguan yang besar dalam diri Safira. Dia tidak ingin melukai hati putrinya.

"Apa Bu?" Arisha meletakkan tas rajut buatannya di bawah. Dia menatap Safira. Siap mendengar apa yang akan dikatakan padanya.

"Tadi Papamu ke sini."

"Papa!" Arisha mengangkat alisnya. Kedua matanya terbuka lebar. Dia terkejut mendengar Raditya datang ke rumahnya.

"Iya."

"Papa ke sini untuk apa Bu?" Arisha ingin tahu untuk apa Raditya datang ke rumahnya.

Safira terdiam sesaat. Berat untuk mengatakan pilihan yang akan dipilih olehnya. Haruskah menolak atau setuju untuk membujuk Arisha agar mau dijodohkan dengan pilihan Abraham.

"Bu!" panggil Arisha pada Safira yang masih terdiam. Mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca. Menatap putri kesayangannya.

"Menikahlah dengan pilihan kakekmu!" Satu kata yang berat dikatakan oleh Safira pada Arisha. Dia tidak punya pilihan selain mengikuti kemauan Raditya.

Arisha menggeleng. Dia tak menyangka justru Safira mendukung rencana Abraham untuk menikahkan Arisha dengan cucu sahabatnya.

"Ibu mohon menikahlah!" Suara Safira mulai serak. Air mata yang tadi coba dibendung olehnya mulai terjatuh di pipinya.

"Tidak, pasti Papa mengancam Ibukan?" Arisha tidak percaya pernyataan itu ke luar dari mulut Safira. Pasti ada tekanan dari Raditya.

"Tidak, Papamu tidak mengancamku. Semua ini demi masa depanmu. Ibu ingin hidupmu lebih baik, tidak seperti ini. Kau menderita bersamaku." Safira terus menangis sambil berbicara. Dia tidak tega harus mengatakan hal itu pada Arisha.

"Aku bahagia bersama Ibu. Jangan berpikir seperti itu. Sebentar lagi hidup kita akan lebih baik Bu." Arisha ikut menangis. Padahal selama ini dia jarang menangis.

"Kalau kau masih menganggap Ibu sebagai ibumu. Menikahlah dengan pilihan kakekmu! Jika tidak pergilah dari rumahku!" Safira terpaksa mengancam Arisha. Anaknya itu tidak akan mau mengikuti keinginan Raditya kalau dia tidak mengancamnya.

"Tapi Bu, aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak ku cintai, apalagi aku tidak mengenalnya." Arisha memohon pada Safira. Dia tidak ingin menikah karena perjodohan.

"Kalau begitu pergilah! Jangan tinggal lagi bersamaku!" Safira tidak berani menatap wajah Arisha yang berurai air mata.

"Ibu mengusirku?" tanya Arisha.

Safira hanya diam. Membuang muka. Menahan kesedihannya agar Arisha tidak memohon padanya lagi.

"Pergilah! Jangan temui aku lagi!" Jauh di lubuk hati Safira dia menangis. Tak tega mengatakan itu pada anaknya.

Arisha mencoba mendekati ibunya, hendak memegang tangan Safira tapi Safira menangkis tangannya.

"Bu."

Safira hanya diam. Tatapan matanya dingin begitupun dengan mimik wajahnya.

"Baiklah." Arisha bangun. Dia masuk ke kamarnya. Membereskan sebagian pakaian lalu memasukkan ke dalam ransel miliknya. Arisha menggendong ransel itu di punggung. Dia melihat foto di dinding. Foto Arisha bersama Safira, lalu matanya beralih menyapu ke seluruh ruangan kamarnya. Banyak kenangan yang pernah terukir di dalam kamar berukuran 3x4 meter itu. Setelah puas, Arisha ke luar dari kamar. Dia berjalan melewati Safira yang masih terdiam dan membuang muka darinya.

"Assalamu'alaikum."

Safira hanya diam tak membalas salam dari Arisha sampai putrinya ke luar dari rumah. Barulah dia membalas salamnya.

"Maafkan Ibu. Hanya dengan ini kau akan berubah pikiran." Safira terpaksa melakukan semua ini demi membujuk Arisha agar mau menikah dengan pilihan Abraham.

Di luar Arisha masih berdiri di depan pintu. Dia terdiam dan menatap ke depan. Arisha tidak ingin meninggalkan Safira. Apalagi kembali ke rumah Keluarga Mahendra.

"Apa yang harus ku lakukan?" Arisha bimbang. Apakah kembali masuk dan menerima perjodohan itu atau pergi meninggalkan Safira. Padahal dia begitu menyayangi wanita yang sudah melahirkannya.