Erland sarapan bersama keluarganya di ruang makan. Ada Victoria, Sisilia, Bara, dan Renata. Mereka terlihat serius saat makan. Tak ada satupun yang berbicara ketika mereka sedang makan, sudah menjadi kebiasaan yang diterapkan di Keluarga Dewangkara ketika makan harus fokus pada makanan yang dimakan. Erland lebih dulu menghabiskan makanannya. Barulah yang lainnya. Dia memainkan game di handphone miliknya sambil menunggu waktunya berangkat.
"Erland, besok kau liburkan?" tanya Victoria. Besok tanggal merah tentunya Erland libur kerja. Setiap hari Sabtu dan Minggu Erland pasti libur kecuali ada pekerjaan mendesak atau meeting dengan klien.
"Iya Nek, memangnya kenapa?" Erland yang tadinya fokus menatap layar handpone miliknya beralih menatap Victoria.
"Temui calon istrimu di restoran Blossom! Anggap saja ini kencan pertama kalian," jawab Victoria. Dia ingin Erland bertemu dan berkenalan dengan calon istrinya, agar mereka bisa menjalin kedekatan sebelum menikah.
"Haruskah Nek?" Erland malas bertemu dengan wanita yang akan dijodohkan dengannya. Dia merasa neneknya sengaja menyiapkan sebuah kencan untuknya dengan wanita itu.
"Harus! Kalau kau masih ingin menjadi cucuku," jawab Victoria dengan tegas. Perkataannya tak bisa ditawar.
"Erland patuhi perintah nenek, ini semua untuk kebaikkanmu." Sisilia segera membujuk Erland. Dia tidak ingin Victoria marah pada anaknya. Itu akan berimbas pada hidup Erland ke depannya jika dia tidak mengikuti perintah Victoria.
"Kalau aku jadi kau sudah seharusnya mengikuti perintah nenek, atau, kau lebih suka tinggal di kolong jembatan?" sindir Bara. Semenjak lumpuh dia selalu cari muka di depan Victoria dan menyerang Erland yang dianggap mengambil posisinya. Padahal dulu hubungan mereka sangat baik dan harmonis.
Erland menarik nafas panjangnya. Menahan emosinya yang sempat naik karena sindiran Bara padanya. Meski hubungan mereka merenggang Erland tetap menghormati Bara sebagai kakaknya.
"Oke Nek, atur aja. Terserah Nenek bagaimana baiknya," jawab Erland. Dia langsung mematikan layar handphone-nya lalu bangun. Meninggalkan ruang makan begitu saja.
"Lihat Erland! Kau harus bisa mendidiknya, jangan sampai seperti Eric!" ucap Victoria pada Sisilia yang duduk di seberangnya.
"Iya Bu," jawab Sisilia sambil menunduk. Tak berani meninggikan pandangannya saat berbicara dengan Victoria yang begitu berkuasa di rumah itu.
"Aku tidak suka lelaki perebut istri orang, seperti tidak ada lagi wanita di dunia ini," ucap Victoria. Menatap dingin ke depan.
Mendengar ucapan Victoria, Renata langsung merasa tidak nyaman. Akan sulit baginya kembali dengan Erland jika Victoria masih hidup. Belum lagi ikatan pernikahannya dengan Bara. Dia seperti pengasuh untuknya.
***
Siang itu Arisha duduk di kantin yang ada di kantornya. Dia melamun sambil memutar-mutar sendok yang berdiri di atas piring. Arisha memikirkan keputusan yang sudah diambil olehnya. Dia tidak bisa menarik kembali keputusannya. Safira akan mengusirnya jika dia berani melakukan itu.
"Kau butuh ciuman hangatku biar semangat?" bisik Erland di belakang Arisha yang sedang melamun.
"Astagfirullah! Kenapa ada setan di siang hari?" sahut Arisha terperanjat.
"Setan? Kau sudah dua kali memanggilku setan Nona pemberani." Erland berbicara sambil berjalan menuju kursi kosong di samping Arisha. Dia duduk dan menatap Arisha.
Arisha terdiam, malas berdebat dengan dinosaurus di depannya. Dia terlihat lesu dan tak bersemangat. Tangannya meletakkan kembali sendok di atas piring.
"Setiap hari makan telur? Kau tidak bisulan?" tanya Erland. Melihat telur dadar dan sambal di piring gadis berhijab itu.
Arisha masih terdiam. Cuek dan mengacuhkan Erland. Dia asyik memikirkan masalahnya dari pada berdebat dengan Erland.
"Kau puasa bicara? Atau kau butuh satu ciuman dariku?" tanya Erland.
Arisha menaikan bola matanya. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Sudah kenyang seharian penuh mendengar kata-kata mesum dari Erland.
"Lebih baik kau temani aku malam mingguan, aku butuh wanita untuk berkencan denganku." Erland berbicara sambil mengambil sendok di piring Arisha. Dia menyendok nasi, telur dadar dan sambal di piring gadis berhijab itu. Kemudian dia memasukkan satu sendok makanan itu ke mulut dan mengunyahnya dengan santai.
"Katanya gak suka makanan rendahan, gak level, makanan orang miskin, eh dimakan juga," celetuk Arisha. Tadinya dia malas bicara dengan Erland tapi melihat Erland memakan makanannya, dia berkomentar.
Erland tersenyum tipis. Dia meletakkan kembali sendok di piring Arisha.
"Aku cuma ingin merasakan sendok bekas bibirmu, sebelum merasakan manisnya bibirmu," jawab Erland.
Arisha hanya menggeleng. Tak habis-habisnya kena serangan maut dari Erland. Kalau tak kuat iman jatuh juga dalam pelukannya.
"Suapin aku!" titah Erland.
Arisha bangun. Menghampiri Erland dan berdiri di belakangnya.
"Bos, ini jam istirahat, Anda tidak bisa memerintah. Jadi makanlah sendiri ya!" bisik Arisha kemudian meninggalkan tempat itu.
Erland hanya tersenyum tipis menatap makanan di depannya.
"Lama-lama kau akan jatuh ke pelukanku! Lihat saja! Berapa lama kau akan tahan dengan pesonaku?" Erland mengambil sendok di atas piring. Kembali memakan makanan yang ditinggalkan Arisha.
***
Pagi itu Arisha sudah bangun lebih pagi dari Safira. Dia menyiapkan barang dagangan ibunya. Memasukkan ke dalam tas barang yang ada di sepeda Safira. Mumpung hari libur Arisha ingin menggantikan Safira berjualan di pasar. Dia ingin Safira beristirahat dan menikmati hari libur seperti kebanyakkan orang.
"Arisha kau mau ke mana? Kenapa dagangan ibu kau bereskan?" Safira heran melihat Arisha sudah rapi dan membereskan semua tas rajut yang akan dijual olehnya ke pasar.
"Aku ingin menggantikan ibu jualan di pasar, mumpung hari libur," jawab Arisha dengan senyuman manis di bibirnya.
"Tidak usah, hari ini kau harus pergi ke suatu tempat."
Arisha yang sibuk menata tas rajut mengalihkan pandangannya ke arah Safira. Dia menatap ibunya dengan penasaran.
"Pergi? Pergi ke mana Bu?" tanya Arisha. Dia tidak tahu apa yang dikatakan Safira padanya.
Safira mengeluarkan kartu hitam dari kantung baju yang dikenakannya.
"Nih, bacalah dan ikut perintahnya!" Safira memberikan kartu hitam itu pada Arisha.
"Ini apa Bu?" tanya Arisha memegang kartu hitam di tangannya. Dia belum tahu apa yang ada di dalam kartu hitam itu.
"Dari Papamu." Safira tidak mengatakan lebih jelasnya. Dia berjalan masuk ke dalam rumah setelah selesai bicara dengan putrinya.
Arisha menatap kartu hitam di tangannya. Perlahan dia membuka kartu hitam itu. Ada pesan yang ada di dalamnya.
"Restoran Blossom." Arisha terdiam menatap ke depan. Tangannya masih memegang kartu hitam itu.
"Haruskah aku pergi?" Arisha memasukkan kartu hitam itu ke kantung bajunya. Dia masuk ke dalam rumah. Melihat Safira duduk di sofa menatap ke arahnya.
"Pakailah baju yang terbaik! Beri kesan yang baik untuk calon suamimu!" titah Safira. Matanya berkaca-kaca menatap Arisha. Jauh dilubuk hatinya dia tidak ingin memaksa Arisha menerima perjodohan itu.
Arisha hanya mengangguk kemudian masuk ke dalam kamarnya. Dia mencari baju terbaik yang ada di dalam lemari miliknya.
"Siapa lelaki yang akan dijodohkan denganku? Apa dia lelaki yang baik atau?" Arisha menatap dirinya yang terlihat di pantulan cermin yang ada di depannya.
"Siapapun itu aku tidak bisa lari dari perjodohan ini." Air mata menetes di pipi Arisha. Dia harus menerima lelaki yang tidak dikenal dan dicintainya.
Arisha berganti pakaian dan merapikan hijab yang dikenakannya. Tak lupa memasukkan sapu tangan buatan Safira ke dalam tas cangklong miliknya. Kemudian dia ke luar dari kamar menghampiri Safira. Dia mencium tangan Safira dan berpamitan padanya.
"Assalamu'alaikum," ucap Arisha.
"Wa'alaikumsallam," jawab Safira.
Dengan bismillah Arisha ke luar dari rumah. Meski berat langkah kakinya dia terus melangkah ke depan. Dia tidak tahu siapa lelaki yang akan dijodohkan dengannya
***
Restoran Blossom pukul 10 pagi
Arisha sampai di tempat yang dijanjikan. Perlahan dia memasuki restoran mewah itu. Ini pertama kali dia berkencan dengan seorang lelaki, apalagi dia tidak tahu siapa lelaki yang akan berkencan dengannya. Kedua netranya menyapu sekeliling ruangan itu.
"Meja 10 di mana ya?" Arisha mencari nomor meja yang ada di kartu hitam. Sesuai pesan yang ditulis Abraham untuknya.
Arisha berjalan pelan-pelan sambil mencari meja yang dimaksud. Restoran itu mewah, terlihat dari desain interior dan furniture yang ada di dalamnya. Arisha terlihat nyaman memanjakan matanya, melihat seisi ruangan lantai satu itu. Tak sengaja dia menemukan meja nomor 10 yang ada ruangan depan. Seorang lelaki dengan setelan jas berwarna hitam duduk menatap layar handphone miliknya. Arisha terperanjat melihat lelaki itu. Seseorang yang begitu familiar untuknya. Matanya terbelalak memperhatikan lelaki yang masih asyik dengan ponsel di tangannya.
"Dia?" Arisha terpaku. Tubuhnya terasa berat untuk digerakkan. Jantungnya berdebar tak karuan. Mulutnya menganga. Waktu seakan berhenti berputar.
Hening.