Erland dan Arisha menjadi pasangan pengantin yang sangat serasi. Semua anggota keluarga menghadiri acara pernikahan yang begitu sakral. Kecuali Safira dan Eric. Mereka memang tidak diperbolehkan hadir di acara pernikahan itu. Erland dan Arisha terlihat bahagia dengan sandiwara mereka. Erland memperlihatkan senyuman palsu yang begitu sempurna. Sampai semua orang tidak tahu pernikahan mereka hanya sebuah pernikahan kontrak.
Bak di negeri dongeng pernikahan itu begitu mewah. Simbol EE berada di empat sudut ruangan. Begitupun dengan Bunga bougenville tiruan ada di beberapa titik. Dinding gedung dilapisi bunga-bunga besar yang terbuat dari pita. Sorot-sorot lampu menerangi ruangan itu hingga tampak terang dan jelas. Dekorasi pelaminan berwarna putih bercampur dengan bunga-bunga berwarna baby pink yang menghiasi sekitaran pelaminan. Semua tamu undangan senang karena acaranya meriah. Pengantin wanita yang begitu anggun dibalik cadarnya dan pengantin laki-laki yang begitu tampan. Seperti Cinderella dan pangerannya. Mereka berdiri menyalami tamu dengan suka cita seakan-akan bagai boneka yang dimainkan oleh pemiliknya. Begitu natural memainkan perannya sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai. Baik Erland dan Arisha menunjukkan sikap romantis mereka di depan tamu undangan.
Acara demi acara berlangsung bergantian. Erland dan Arisha mulai merasa lapar. Mereka duduk di kursi pengantin saat tamu undangan yang ingin bersalaman mulai kosong.
"Elina kau lapar tidak? Aku ingin makan, kau mau ikut?" Erland sengaja mengajak istrinya, karena dia yakin saat makan wanita bercadar itu akan membuka cadarnya. Paling tidak masih ada kesempatan untuk kabur dari malam pertama kalau tahu wanita bercadar itu nenek-nenek.
"Tidak, aku masih kenyang." Padahal perut Arisha lapar gara-gara tadi pagi dia sedih terus sampai belum sempat sarapan.
"Kau yakin? Nanti kau tak akan sempat makan, masih banyak tamu yang belum mengucapkan selamat." Erland berusaha membujuk Arisha dengan alasan yang masuk asal.
"Benar juga kata Erland. Perutku sudah demo. Kalau aku tetap duduk di sini bisa pingsan. Nanti Erland akan tahu siapa aku," batin Arisha mempertimbangkan keputusannya.
"Oke, aku ikut." Mau tak mau Arisha mengikuti Erland turun dari pelaminan. Mereka ke tempat prasmanan keluarga pengantin. Kebetulan sepi hanya ada mereka berdua.
Erland tercengang melihat Arisha mengambil begitu banyak makanan. Dari appetizer, main coure dan dessert.
"Kau makan sebanyak itu?" Erland semakin bingung melihat istrinya. Jika dia nenek-nenek tak mungkin makan sebanyak itu.
"Iya, memang kenapa? Kau mau juga?" tanya Arisha.
"Enggak, aneh aja wanita makan sebanyak itu. Gak takut gendut?" Erland malah curiga Arisha putri yang terkutuk. Cantik siang saat tengah malam berubah gendut seperti gajah.
"Gak tuh, setiap hari makanku memang banyak tapi mumpung hari ini ...." Arisha ingin mengatakan mumpung hari ini banyak makanan dia ingin membungkus untuk Safira.
"Aku jadi ingat ibu. Biasanya aku selalu membungkus makanan enak untuknya. Aku takkan makan jika tidak makan bersama ibu. Biar ibu juga bisa merasakan makanan enak," batin Arisha. Matanya berkaca-kaca teringat Safira. Mungkin kalau Safira ada, Arisha akan menyuapinya dengan makanan-makanan enak itu.
Arisha melamun memikirkan Safira saat melihat begitu banyak makanan di depannya.
"Elina!" Elina!" Erland memanggil Arisha yang masih terdiam. Namun belum juga menjawab, membuat Erland menepuk lengannya.
"Iya Bos ada apa?" Arisha terkejut. Dia salah memanggil Erland. Dia keceplosan memanggil bos pada Erland yang berdiri di depannya.
"Bos? Kau mengingatkanku pada Arisha," sahut Erland.
Deg
Arisha takut Erland akan mengenalinya. Seharusnya Arisha lebih berhati-hati lagi saat berbicara. Erland akan curiga dan mengetahui siapa dia yang sebenarnya.
"Oya, siapa Arisha?" Arisha berlagak tidak mengetahui siapa yang dibicarakan Erland. Walaupun sebenarnya dia sendiri.
"Arisha sekretaris di kantorku. Dia berhijab sepertimu. Tapi tidak bercadar," jawab Erland.
Arisha mengelus dadanya. Hampir saja dia ketahuan. Untung Erland tidak mencurigainya. Arisha tidak ingin Erland tahu kalau dia yang menikah dengannya.
Arisha duduk bersama Erland. Dia bingung bagaimana bisa makan leluasa tanpa membuka cadarnya. Arisha mengeluarkan handphone miliknya dan meletakkan handphone di samping paha kiri agar Erland tidak melihatnya, karena posisi Erland ada di kanan Arisha. Dia menelpon nomor kontak Erland untuk mengalihkan perhatian.
Dreett ... dreett ... dreett ...
Handphone Erland bergetar di dalam saku jas yang dikenakannya. Segera Erland mengambil handphone dan memeriksa panggilan yang masuk itu.
"Arisha, untuk apa dia menelponku?" Erland penasaran kenapa sekretarisnya menelpon di hari pernikahan. Apa dia patah hati atau mau jadi simpanannya.
"Erland telpon dari siapa?" tanya Arisha seolah tidak tahu siapa yang menelpon Erland padahal dia sendiri.
"Sekretarisku," jawab Erland. Tangannya masih setia memegang piring dan handphone.
"Angkat saja dulu mungkin penting!" Arisha membujuk Arfan agar dia segera pergi dari tempat itu. Perutnya sudah sangat lapar.
"Gak penting. Paling dia patah hati karena aku menikah atau bersedia jadi simpananku," sahut Erland.
"Siapa juga yang patah hati atau mau jadi simpananmu dinosaurus. Aku lapar, pergilah!" batin Arisha. Dia menahan laparnya sambil menegang perutnya.
"Kalau kataku lebih baik diangkat. Mungkin dia ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kita."
"Nanti saja, lebih baik kau makan!" Erland menatap Arisha. Ingin sekali dia melihat wajah dibalik cadar itu.
"Ee ... iya," jawabnya. Arisha tidak bisa membuat Erland pergi dari tempat duduknya. Mau tak mau dia harus bisa makan dengan tetap mengenakan cadarnya.
"Ayolah! Kasihan makanannya kesepian kalau kau tak memakannya." Erland semakin membujuk Arisha agar dia segera makan dan melihat Arisha melepas cadarnya.
Arisha mengangguk. Perlahan menaikkan ujung bawah cadarnya. Erland dengan serius menatap Arisha. Dia tak sabar melihat wajahnya.
"Iya bagus, naikkan lagi lalu buk- ..." Batin Erland. Baru mau bilang buka ternyata Arisha hanya menaikkan sedikit lalu memasukkan satu sendok melewati bawah cadarnya. Jadi tak sampai membuka cadar itu.
"Sial! Aku mati kepo!" batin Erland. Rasa penasarannya semakin tinggi tapi dia tidak bisa melihat wajah dibalik cadar itu. Bersandarlah Erland di sandaran kursi.
"Kau tak makan Erland? Jangan biarkan makanan mubadzir! Ingat di luar sana masih banyak orang kelaparan!" Tidak semua orang beruntung dan bisa makan dengan kenyang. Masih banyak orang yang kelaparan dan harus menahannya hingga berhari-hari.
"Aku kenyang," jawab Erland malas. Sudah menanti sejak tadi ternyata Arisha tidak membuka cadarnya.
"Ya sudah biar ku habiskan," sahut Arisha. Melihat makanan terbuang membuat hatinya merasa sedih. Dia harus mendapatkan uang banyak dulu baru bisa menikmati sepiring makanan enak.
"Kau gila? Ini bekasku, kau tak jijik?" tanya Erland. Dia saja mana mau makan-makanan bekas orang lain.
"Bekas suami memangnya kenapa? Bukan sampahkan?"
Erland terdiam. Dia tidak pernah seperti Arisha yang memikirkan hal itu. Setiap hari saja Erland selalu membuang-buang makanan. Jarang sekali menghabiskannya.
Arisha mengambil piring Erland. Dia memakan semua makanan miliknya dan milik Erland sampai habis bahkan tak ada satu bulir nasipun yang tersisa.
"Alhamdulillah, kenyang," ucap Arisha bersyukur. Bisa makan enak dan mengenyangkan adalah nikmat yang tiada tara untuknya.
"Kau seperti tidak pernah makan enak."
"Makanya seringlah melihat orang yang ada di bawahmu! Kau akan makan sepertiku," sahut Arisha. Makanan akan terasa nikmat jika kita sering bersyukur karena tidak semua orang bisa makan dengan enak dan kenyang.
Erland hanya diam. Bangun dari kursi meninggalkan tempat itu tanpa berkata apapun lagi pada Arisha.
Erland berjalan di antara keramaian tamu undangan. Tak sengaja dia mendengar percakapan dari beberapa ibu-ibu sosialita.
"Jeng, Pak Eric gak kelihatan. Padahalkan ayahnya Erland."
"Diakan sudah bukan anggota Keluarga Dewangkara lagi."
"Kok bisa?"
"Gak tahu. Gosip-gosipnya sih diusir."
Erland hanya diam. Wajahnya tampak murung dan kesal saat mendengar obrolan ibu-ibu sosialita itu. Dia berlalu melewati mereka begitu saja. Sedangkan Arisha berdiri di belakangnya. Dia juga sempat mendengar obrolan ibu-ibu sosialita itu.
"Ayah Erland kenapa ya? Inikan acara besar, acara penting untuk anaknya. Kenapa tidak hadir? Apa benar diusir?" batin Arisha penuh tanya. Dia tidak tahu seperti apa Keluarga Dewangkara. Yang dia kenal hanya Victoria dan Erland. Itupun hanya sebatas pekerjaan.