Arisha duduk di depan meja rias. Menatap wajah cantik yang seperti boneka barbie itu. Wajah pengantin yang sudah selesai dirias. Hari ini hari pernikahan Arisha dan Erland. Hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia dalam hidup Arisha tapi menjadi awal sandiwara yang akan berlangsung lama. Dia dan Erland sudah sepakat akan menjalani pernikahan kontrak selama satu tahun demi kakek dan neneknya.
Satu hal yang membuat Arisha merasa berat adalah ketidakhadiran Safira di pernikahannya. Arisha tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi pada Safira, dia mendadak meninggalkan Arisha tanpa berpamitan terlebih dahulu.
"Bu, Arisha mau menikah, rasanya ingin sekali ibu ada di sini." Mata Arisha berkaca-kaca teringat Safira yang seharusnya ada di sisinya.
"Loh cucu kakek kenapa sedih?" Abraham berdiri tepat di belakang Arisha.
Arisha langsung tersenyum saat melihat Abraham ada di pantulan cermin di depannya.
"Kakek."
"Kenapa?" Abraham bertanya. Seolah dia tidak tahu apa-apa. Padahal dialah yang sudah menyuruh Safira pulang kampung.
"Ibu tidak ada di hari pernikahanku kek." Arisha menyeka air mata yang hampir jatuh di pipinya. Berusaha tegar meski hatinya sakit.
Abraham memegang kedua bahu Arisha. Menepuk bahunya perlahan-lahan, sambil menatap cermin yang ada di depannya.
"Memang ibumu ke mana?"
"Ibu pulang kampung kek. Bude sakit jadi ibu harus pulang untuk merawatnya." Arisha menjawab sesuai yang disampaikan Safira. Dia tidak tahu pasti kebenarannya.
"Kalau begitu kau harus bisa memahami keadaan ini. Apa yang dilakukan ibumu sudah benar. Dia wanita yang baik, tentu tidak tega jika mendengar saudaranya sakit. Kakek yakin jauh di sana doa-doa selalu dipanjatkan ibumu untuk kebahagianmu," ucap Abraham. Dia berusaha menyemangati Arisha dengan kata-kata bijaknya.
Arisha memegang tangan kanan Abraham dan tersenyum bahagia.
"Terimakasih kek. Kakek memang paling bisa membuatku tersenyum lagi," sahut Arisha. Apa yang ke luar dari mulut Abraham selalu menjadi wejangan yang diingat Arisha. Bagai sebuah booster untuk menjalani kehidupannya. Di mata Arisha, Abraham sosok kakek penyayang dan bijaksana. Dia selalu memikirkan kebahagiaan keluarganya. Itu sebabnya Arisha begitu percaya dan sayang pada Abraham.
"Kakek tunggu di luar, sebentar lagi Momy Erica akan menjemputmu."
Arisha mengangguk.
Sebelum ke luar Abraham mencium kening Arisha barulah dia ke luar dari ruangan itu.
"Benar kata kakek, meski ibu tak ada di sini tapi doa-doanya selalu ada untukku."
"Semangat Arisha!" Arisha kembali menyemangati dirinya sendiri. Dia tidak boleh cengeng apalagi mengeluh. Di dunia ini bukan hanya dia yang memiliki masalah.
Tak lama Erica masuk ke dalam. Dia menghampiri Arisha yang masih duduk di depan meja rias. Sebagai ibu sambung Erica harus bisa menempatkan diri dengan baik. Apalagi Arisha putri semata wayang dari Keluarga Mahendra, Erica harus bisa bersikap baik padanya
"Elina, Momy rindu sekali padamu." Erica langsung memeluk Arisha dari belakang. Seakan mereka begitu dekat dan akrab.
"Momy." Arisha canggung setelah meninggalkan rumah Keluarga Mahendra, dia tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Erica.
"Cantik banget sih putri Momy."
Arisha melepas pelukan Erica. Dia tidak ingin wanita kedua dalam hidup ayahnya terlalu dekat dengannya.
"Makasih," jawab Arisha datar.
"Momy ingin memelukmu lagi, kangen banget." Erica hendak memeluk Arisha tapi tangan Arisha menghentikannya.
"Jangan pikir aku lupa semua yang sudah terjadi. Meski kau istri dari Papa bukan berarti ibuku. Jadi kau tahukan siapa aku dan kau." Arisha menjelaskan hubungan antara dirinya dan ibu sambungnya. Agar dia tidak lagi bersikap manis dan perhatian padanya.
"Baiklah, terserah kau. Tujuan Momy ke sini hanya menemanimu ke luar dari ruangan ini," sahut Erica. Dia tidak peduli Arisha akan suka padanya atau tidak.
Arisha hanya diam menatap wanita yang sudah merebut ayahnya. Begitupun dengan Erica yang menatap Arisha, mata keduanya bertautan, menyimpan rahasia di hati mereka masing-masing.
Di ruang rias pengantin pria, Erland berdiri dengan gagahnya mengenakan baju pengantin berwarna putih menatap wajahnya di depan cermin. Dia tersenyum menatap dirinya yang begitu tampan. Itu sebabnya para wanita begitu tergila-gila padanya bahkan rela bersama Erland meski satu malam.
"Erland!" Renata masuk ke dalam ruangan itu. Menghampiri Erland yang berdiri di depan cermin.
"Untuk apa kau ke sini?" tanya Erland. Sikapnya berubah dingin dan acuh pada Renata.
"Aku hanya ingin menghentikanmu untuk menikahi wanita itu," jawab Renata. Matanya berkaca-kaca. Berharap Erland mau membatalkan pernikahannya.
"Kau yakin aku akan mengikuti kemauanmu?"
Renata langsung memeluk Erland dengan erat. Dia tidak ingin kehilangan Erland, apalagi sampai Erland menikahi wanita itu.
"Jangan menikah dengannya Erland! Ku mohon!" pinta Renata sambil menangis.
"Heh! Dulu aku juga seperti ini. Memohon padamu agar kau tidak menikah dengan kakakku. Tapi apa? Kau justru menutup mata dan hatimu. Jadi aku atau kau yang salah?" Erland sudah lelah dengan cinta. Hanya rasa sakit yang dia dapatkan. Perjuangan Erland selama ini tak ada artinya di depan Renata. Dia justru menikah dengan Bara.
"Aku tahu aku salah Erland. Karena itulah aku ingin memperbaiki semuanya. Aku siap meninggalkan Bara dan pergi bersamamu, kemanapun." Renata berusaha membujuk Erland untuk membatalkan pernikahannya dan pergi bersama Renata meninggalkan tempat itu. Pergi ke tempat di mana mereka bisa bersama.
Erland melepas pelukan Renata. Dia memegang tangan Renata dan menatap wajahnya.
"Seharusnya kau katakan ini dari dulu Renata. Sekarang semua itu gak ada artinya untukku. Aku sudah tidak peduli lagi padamu. Hubungan kita sudah berakhir, ingat itu!" Erland melepas tangan Renata lalu berjalan melewatinya.
"Aku lebih baik mati." Renata mengeluarkan silet dari tas miliknya. Silet itu ada di tangan Renata untuk menghentikan kepergian Erland.
Mendengar nada ancaman dari Renata, Erland menghentikan langkahnya. Berdiri di tempat.
"Kau gila atau putus asa? Itu pilihanmu." Erland kembali melangkah ke depan. Berjalan ke luar dari ruangan itu. Tak peduli dengan ancaman Renata.
Di dalam Renata masih memegang silet. Dia pikir bisa menghentikan Erland ternyata semua itu sia-sia. Erland yang sekarang bukan Erland yang dulu.
"Kenapa kau berubah Erland? Kau hanya mencintaikukan?" Renata menatap silet di depan matanya. Dia menyayat nadi di tangannya dengan silet itu.
"Tidak, aku masih punya kesempatan untuk mengambil Erland kembali." Renata tidak jadi menyayat nadinya. Untung baru sedikit yang tersayat, hanya berupa goresan kecil. Renata takkan menyerah. Dia akan merebut kembali Erland dari tangan siapapun. Dan menjadikan miliknya kembali.
Sementara itu di pelaminan Erland duduk bersama Raditya, penghulu, dan dua orang saksi. Mereka menunggu kedatangan mempelai wanita. Erland tampak tampan hingga semua wanita yang ada di dalam gedung memperhatikan Erland, mereka berharap bisa jadi calon istrinya. Walaupun hanya angan karena pada kenyataannya Erland akan menikah dengan Arisha.
Erland yang sang casanova tampak grogi, ini kali pertamanya duduk sebagai pengantin. Sesekali Erland menyeka keringat di dahi dan pelipisnya. Dia sadar betul pernikahan bukan suatu permainan meski hanya pernikahan kontrak. Ada rasa bersalah di hatinya.
Dulu Erland berpikir akan menikah dengan cinta pertamanya. Namun wanita itu malah pergi meninggalkan Erland, di saat mereka berencana untuk menikah. Jika semua berjalan sesuai rencana mungkin saat ini Erland sudah bahagia bersamanya.
"Masa lalu," batin Erland. Dia tidak ingin mengingat semua itu dan membiarkannya hilang terbawa waktu.
Tak lama Arisha berjalan menuju pelaminan bersama Erica dan pendamping pengantin lainnya. Dia tampak anggun dengan baju pengantin berwarna putih menyerupai dress panjang dan mengenakan cadar yang menutup wajah cantiknya.
"Itu pengantin wanitanya." Penghulu menunjuk ke arah Arisha.
Erland yang penasaran menoleh ke depan.
"Dia mengenakan cadarnya lagi. Pelit banget, ku pikir dia akan mendiskon wajahnya hari ini. Sial, kenapa aku penasaran?" batin Erland menatap Arisha yang berjalan ke arahnya. Dia penasaran dengan wajah dibalik cadar itu tapi gengsi.
Arisha duduk di dekat Erland. Namun tak bersentuhan ada sedikit jarak di antara mereka. Erland menarik nafas panjangnya dan menghembuskan perlahan. Dia tambah gugup saat Arisha duduk di sampingnya.
"Ini hanya pernikahan kontrak kenapa aku gugup begini?" batin Erland. Keringat di wajahnya semakin banyak. Padahal ini bukan kali pertama bertemu dengan wanita bercadar itu. Tapi Erland malah jadi gugup saat akan menikahinya.
"Dasar dinosaurus, sudah tahu mau nikah kenapa dia keringatan? Jangan-jangan dia tak mandi dari kemarin?" Arisha mengira Erland tak mandi karena berkeringat. Apalagi kamar Erland yang jorok membuat Arisha meragukan kebersihan tubuhnya.
"Kau punya tisu?" tanya Erland.
"Gak ada," jawab Arisha.
"Pinjam cadarmu buat mengelap keringatku," bisik Erland. Padahal dia kepo dengan wajah calon istrinya. Siapa tahu benar-benar nenek-nenek. Paling tidak Erland bisa kabur duluan sebelum akad.
"Gak akan, jangan harap," jawab Arisha tegas.
"Aku calon suamimu berbagilah segalanya denganku, termasuk cadarmu," sahut Erland membujuk Arisha.
"Pakai taplak meja saja, dengan leluasa kau bisa menyeka keringatmu." Arisha tersenyum disebalik cadarnya gara-gara Erland berkata seperti itu padanya.
"Ide bagus," jawab Erland. Dia mengambil ujung taplak meja untuk akad digunakan untuk mengelap keringatnya.
Arisha tersenyum kecil disebalik cadar melihat tingkah konyol Erland.
"Mas pengantin apa yang sedang kau lakukan?" Penghulu penasaran dengan tingkah Erland yang menggunakan ujung taplak meja untuk menyeka keringatnya.
"Ini Pak mengecek bahan taplak meja ini katun, sutra atau wol," jawab Erland beralasan. Padahal tisu miliknya habis untuk menyeka keringatnya dari tadi, tinggal taplak meja yang menganggur.
Raditya dan kedua saksi hanya tercengang melihat tingkah Erland.
"Oh, ya sudah kalau begitu akad akan segera dilaksanakan. Anda sudah siap?" Penghulu menanyakan kesiapan Erland.
"Siap." Erland menjawab dengan lantang. Dia siap menikahi wanita bercadar yang masih misterius untuknya. Erland berharap bukan nenek-nenek yang dia nikahi. Jujur Erland menyesal saat wanita bercadar itu menawarkan diri untuk membuka cadarnya tapi justru Erland menolak dan menyuruh dia menutup wajahnya dengan cadar untuk selamanya tanpa membuka cadarnya di depan Erland.
Akad nikah itu dimulai. Raditya menjadi wali nikah Arisha. Dia menyalami Erland dan menatap wajahnya.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Erland Dewangkara bin Eric Dewangkara dengan putri saya yang bernama Elina Clemira bin Raditya Mahendra dengan mas kawin cincin berlian biru seberat 10 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Elina Clemira bin Raditya Mahendra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." Erland mengucapkan akad itu dengan satu tarikan nafas dan suara yang lantang tanpa keraguan seolah dia benar-benar menikahi wanita bercadar itu.
"Sah?" Penghulu bertanya pada semua orang yang ada di ruangan itu.
"Sah." Semua orang menjawab.
"Alhamdulillah." Rasa bersyukur diucapkan semua orang. Termasuk sepasang pengantin yang sudah menjadi suami istri.
Penghulu membacakan doa untuk kedua mempelai pengantin itu. Agar pernikahan mereka sakinah, mawadah dan warohmah.
Setelah akad selesai Erland mencium kening Arisha sebagai tanda sudah menjadi istrinya. Dan untuk meyakinkan semua orang kalau mereka suami istri bahagia.
"Ayo bersandiwara!" bisik Erland.
"Silahkan duluan!" jawab Arisha.
"Oke." Erland tersenyum tipis. Hari ini hari pernikahan mereka berdua. Erland dan Arisha siap bersandiwara seharian demi meyakinkan semua orang termasuk keluarganya.