Chereads / Turning Into Beautiful / Chapter 14 - Tugas Baru

Chapter 14 - Tugas Baru

"A–a–a, Pak Raymond! Kenapa berdiri di sana?" teriak Divya yang masih merasa sangat terperanjat.

Dengan tatapan khasanya, Raymond kembali berjalan mendekati sekretarisnya. "Kenapa kalian begitu takut melihat kehadiranku?" ia kembali menatap wajah kedua insan yang ada di di sana secara bergantian.

"Hahaha, siapa yang takut, Pak? Eh, Pak Luke!" Divya langsung memanggil pria yang berusaha kabur dari sana. "Sial, kenapa jadi aku yang sendiri di sini? Memang Pak Luke tidak gentle! Dia main kabur saja. Sekarang aku harus bagaimana? Bisa habis nyawaku di dalam tempat ini bersama dengan Raymond," gerutu Divya di dalam benaknya.

"Divya!" bentak Raymond kemudian.

Bahu Divya langsung terguncang. "Eh, iya, Pak. Ada apa Pak Raymond?" tanya Divya berusaha menenangkan atasannya.

Dengan satu alis yang sudah menanjak, Raymond kembali melangkahkan satu kakinya di depan Divya. "Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku tadi?"

Divya langsung mengerucutkan pandangannya. "Panggilan? Saya tidak mendengar ada panggilan dari ponsel saya, Pak." Divya berusaha menyangkal.

Tatapan Raymond semakin menajam. "Kamu masih bisa menyangkal? Coba lihat ponsel kamu. Apakah aku sedang berbicara sebuah omong kosong?" Raymond dengan kasar langsung membuang pandangannya.

Divya segera beranjak dan mencoba melihat ponselnya yang ada di dalam tas kerjanya. Dengan spontan ia langsung tertawa canggung. Darahnya seperti merosot dari ujung kepala ke ujung kaki. Ia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tempat yang sama. Salivanya pun secara mendadak tertelan dengan paksa.

"Maaf, Pak. Saya lupa mengaktifkan nada deringnya. Maaf, Pak Raymond." Ia segera menundukkan separuh badannya.

Pria bertampang tegas itu kembali menatap wajah Divya. "Hari ini aku masih berbaik hati denganmu, Divya. Jika, sekali kamu melakukan hal ini. Kamu tahu apa yang akan terjadi, 'kan?" ancam Raymond.

Divya langsung menganggukan kepalanya dengan cepat. Demi menenangkan emosi sang atasan. Ia rela mengubah sifat dasarnya ke dalam bentuk lain. Dengan rasa rendah hati, ia mulai menawarkan kepada Raymond untuk disuguhkan kopi susu. Namun, pria itu menolak, ia malah ngajak sekretaris cantik itu untuk segera mengikutinya.

Divya pun segera mengikuti atasannya. Ia juga tidak menyangka Raymond akan membawanya ke parkiran mobil. Hatinya terus bergejolak, bertanya-tanya perihal aktivitas apa yang akan ia terima dari pria itu. Kedua netranya pun masih terus memantau pergerakan Raymond.

"Dia mau apa? Kenapa malah masuk ke dalam mobil? Argh, ponselku. Kenapa aku meninggalkannya di dalam ruangan? Sekarang apa? Aku harus bertindak apa?" pikir Divya merasa sangat khawatir.

Raymond kembali menatap wajah sekretarisnya. "Kenapa kamu malah menatapku seperti itu? Cepat masuk!"

"Pak, kita mau ke mana?" tanya Divya, ia ingin memastikan bahwa pria itu tidak akan bertindak aneh kepada dirinya.

"Sudah kubilang masuk, ya, masuk saja! Masih banyak bertanya!" serang Raymond, ia tidak mau mengungkapkan maksud hatinya.

Setelah merelakan diri, Divya pun mulai masuk ke dalam mobil pria itu. Entah ke mana Raymond akan membawa Divya. Wanita yang masih memalingkan pandangannya pun merasa sangat cemas. Hal itu terlihat dengan jelas dari gesekan yang ia lakukan pada sepuluh jemarinya.

"Haha, Divya! Kenapa kamu begitu takut dengan diriku? Aku tidak akan bertindak aneh kepada dirimu." Raymond masih berbicara di dalam hatinya.

Setelah setengah jam berkendara, akhirnya mereka berdua sampai pada sebuah kediaman mewah. Tempat itu seperti kerajaan, besar dan  sangat asri. Divya kembali melirik ke arah pria yang baru saja berjalan masuk. Ia masih terdiam pada tumpuannya.

Raymond kembali berbalik dan berkata, "Kamu mau berdiri di sana saja?" sentaknya.

"Memangnya saya boleh masuk ke dalam sana, Pak?" tanya Divya dengan polosnya.

"Kalau tidak boleh, mana mungkin aku mengajakmu ke sini? Pertanyaanmu itu sebenarnya tidak perlu dijawab! Cepat, ikut aku!" titah Raymond, ia segera berbalik dan melanjutkan perjalanannya.

Divya masih sangat terpukul melihat kemegahan tempat itu. Kedua netranya terus berkeliling menatap tiap benda mewah yang sempat terlintas. Raymond segera menghentikan perjalanannya. Namun, Divya masih belum menyadari hal tersebut. Sehingga, tubuhnya tanpa sengaja menabrak Raymond.

"Ya, ampun! Maaf, Pak!" ucapnya merasa terperangah.

Raymond langsung berbalik dan menatap wajah sekretarisnya dengan serius. "Ceroboh sekali!"

Divya kembali menundukkan separuh badannya. "Maaf, Pak Raymond," ungkapnya. "Kenapa dia begitu emosional sekali? Salahnya, kenapa berhenti secara mendadak. Namun, kenapa dia membawaku ke sini?" gerutu Divya di dalam batin.

Raymond kembali meluruskan pandangannya. "Segera bersihkan kamarku!" titahnya.

Divya langsung tersentak heran. "Apa? Membersihkan kamar Anda? Yang benar saja, Pak! Memangnya di dalam rumah sebesar ini tidak ada pelayannya?" gerutu Divya, ia merasa tidak terima diperlakukan seperti pelayan oleh atasannya.

"Kamu mau melakukannya tidak?" tanya Raymond penuh dengan penekanan.

Dengan raut keterpaksaan Divya langsung menjawab. "Baiklah, Pak. Akan saya bersihkan. Hanya di kamar saja, 'kan?" tanyanya kembali.

"Iya, cepat bersihkan!" jawab Raymond dengan ketus.

Divya pun segera berlalu, tetapi dia lupa bertanya di mana kamar pria itu. Ia pun kembali berbalik dan mendekati Raymond untuk melampiaskan maksudnya. Dengan tentang ketatnya Raymond hanya menunjuk di mana tempat yang biasa ia singgahi.  Divya pun segera beranjak dan membersihkan kamar sang atasan.

"Argh, kenapa kamar ini berantakan sekali? Seperti tidak dibersihkan selama setahun!" gerutu Divya setelah masuk ke dalam sana. "Bukan hanya kotor! Ruangan ini juga sangat berbau. Kenapa pria itu begitu jorok?" Divya kembali berjalan untuk membersihkan ruangan tersebut.

Tidak lama kemudian, Raymond masuk ke dalam sana untuk mengontrol pekerjaan Divya. Meskipun, banyak pelayan yang bertugas. Ia masih belum bisa mempercayai orang-orang tersebut untuk membersihkan ruangan pribadinya. Biasanya, ia memerintahkan Luke untuk melakukan hal tersebut.

Setelah melihat hasil kerja Divya, akhirnya ia memutuskan untuk mempekerjakan wanita itu untuk melakukan hal yang sama. Awalnya Divya merasa keberatan. Namun, Raymond kembali menegaskan akan memberikan gaji tiga kali lipat dari biasanya. Tentu saja Divya menyetujui permintaan sang batasan.

"Hm, dia tahu sekali kalau aku membutuhkan banyak uang. Tidak masalah bagiku bekerja seperti ini. Lagian, aku cuma membersihkan kamarnya saja, 'kan?" pikir Divya.

"Hm, Divya! Kemarilah!" panggil Raymond.

Wanita bertubuh semampai segera berjalan mendekati pria itu. Raymond pun langsung memberikan uang yang ada di dalam saku celananya. Ia mengatakan bahwa uang tersebut untuk biaya transportasi Divya. Mata sang sekretaris langsung berubah menjadi hijau.

"Banyak sekali? Ongkos ke rumah palingan cuma seratus ribu saja. Kenapa dia memberikan lebih banyak dari itu?" pikir Divya merasa sangat penasaran. "Pak, engkos transportasi saya mungkin hanya menghabiskan seratus ribu saja." Divya kembali memberikan sisanya kepada Raymond. "Sisanya terlalu banyak, Pak."

"Ambil saja kembaliannya. Anggap saja kompensasi karena pekerjaanmu hari ini. Setiap pulang dari kantor, kamu harus selalu melakukan hal yang sama. Dan di hari libur, kamu harus datang ke sini pagi-pagi. Atau setiap hari kamu datang setiap pagi saja? Membantuku mengurus keperluan pribadi? Aku akan memberikan lima kali lipat gajimu, bagaimana?" saran Raymond.

Divya masih berhitung di dalam pikirannya. "Pilihan yang kedua saja, Pak. Berarti saya hanya mengurus keperluan Anda di pagi hari saja, 'kan?" tanya Divya untuk memastikan.