"Jadi kau sudah memberikan sesuatu pada Arlyn?"
Adrian bergumam. "Ya."
"Baguslah. Aku mendoakanmu untuk kehidupan romansa mu bersama Arlyn."
Nevan berucap dan dia langsung bisa melihat warna merah di wajah juga telinga Adrian yang semakin menebal. Dia mendengus mencemooh tapi juga ikut senang untuk sahabatnya.
Nevan masih tidak mengerti apa yang begitu menarik dari Arlyn tapi jika memang Arlyn lah yang memenuhi hati Adrian maka Nevan akan mendukungnya. "Lalu? Apa lagi yang akan kau lakukan?"
Adrian memasang wajah bingung. "Apa lagi apa?"
"Aku mengajak Grace untuk pergi menonton, pergi ke luar, ke Paris, lalu melakukan banyak hal di sana. Sebagai sepasang kekasih." Nevan menyeringai di kalimat yang terakhir.
Adrian sempat tidak mengerti maksud Nevan tapi begitu dia sadar, wajahnya langsung memerah. Tidak lagi hanya di pipi dan telinga tapi wajahnya kini berubah sangat merah seolah wajahnya baru saja terkena siraman air panas lalu melepuh.
Adrian menggeleng. "Aku— tidak. Aku tidak punya pemikiran seperti itu."
Nevan menaikkan alisnya. "Jadi kau hanya akan pergi ke rumahnya, memperhatikannya, tanpa meningkatkan hubungan di antara kalian?"
Ucapan Nevan membuat Adrian tenggelam dalam pikirannya.
Ketika dia pertama mendekati Arlyn, keinginannya hanyalah sesederhana mampu melihat sosok perempuan itu ketika dia mau.
Namun perlahan, tanpa sadar, muncul keinginan di dalam dirinya untuk menyentuh perempuan itu.
Dia sudah melakukannya kemarin. Dia menggenggam tangan Arlyn. Tangan itu terasa sangat lembut di tangannya. Sedikit lebih dingin dari tangannya tapi tangan besarnya mampu menghangatkan tangan dingin Arlyn.
Di luar itu, Adrian belum punya keinginan lain.
Dia hanya ingin membahagiakan Arlyn. Jika dia bisa menggunakan harta uang yang dia punya untuk membawa sebuah kesenangan untuk Arlyn maka Adrian akan memberikan itu. Untuk sekarang dia tidak punya keinginan lain selain melihat sosok Arlyn, menontoni gerak geriknya yang selalu memiliki sisi kelembutan, juga membahagiakan perempuan itu.
Nevan memperhatikan Adrian yang duduk di depannya. Bisa melihat bahwa laki-laki itu tengah tenggelam dalam pikirannya. Tidak masalah. Tenggelamkan dirimu dalam pikiran. Nevan ingin Adrian memahami dirinya sendiri lebih baik. Apa yang sebenarnya dia inginkan. Hasrat apa yang sebenarnya ada di dalam dirinya. Nevan harap Adrian bisa menemukan itu, dan akhirnya mengejar kebahagiaannya sendiri.
Itu di tempat Adrian.
Sedangkan di tempat Arlyn,
Arlyn duduk di atas sofa. Memandangi Abi yang duduk dengan kedua lutut ditekuk ke arah dada. Wajahnya menunduk dan ekspresinya kosong. Dia sedang murung. Sesuatu memenuhi kepalanya. Sesuatu yang Arlyn tahu bukanlah hal yang baik.
"Abi."
Arlyn memanggil. Tampak keterkejutan dari anak itu. Matanya sempat melebar namun kemudian dia kembali ke keadaan awal. Duduk murung dengan lutut ditekuk dan kedua tangan memeluk lututnya sendiri.
"Apa yang kau pikirkan?"
Arlyn benar-benar harus mencari tahu hal apa yang tengah mengganggu anak itu. Tapi jika Abi menolak memberi tahu, tidak ada cara lain bagi Arlyn selain membuat praduganya sendiri.
Arlyn rasa dia tahu jawabannya. Itu berhubungan dengan Adrian. Laki-laki itu. Yang hari lalu memberinya sebuah kalung. Kalung yang kini juga masih menggantung di lehernya. Muncul keinginan pada Arlyn untuk menyentuh bandul di dada atasnya. Tapi dia tidak bisa melakukan itu di depan Abi. Abi akan semakin terpuruk.
Dia menghela nafas. Dia menggunakan kedua tangannya melepas kaitan kalung dari lehernya. Lalu meletakkan kalung itu di atas meja lemari di sebelah sofa.
"Abi." Dia memanggil lagi. "Kau tidak mau memberitahuku apa yang mengganggumu?"
Muncul keraguan di mata Abi. Seperti dia ingin mengatakan sesuatu, tapi juga enggan. Ini tentang ego nya.
Ini adalah pagi menjelang siang hari. Jam sepuluh pagi. Arlyn bangun pukul tujuh seperti biasa. Memaksakan dirinya untuk bengkit dari pembaringannya di ranjang. Untuk melihat keadaan ketiga anak asuhnya yang akan bersiap untuk pergi ke sekolah.
Seperti biasa Azel sudah siap dengan seragamnya. Tas nya sudah tersiapkan dengan baik di kursi meja makan. Dia sedang berada di dapur. Mengambil tiga piring. Membuat sarapan sederhana untuk dirinya dan kedua adiknya. Pagi ini dia membuat tiga telur mata sapi untuk dimakan bersama roti. Arlyn bisa menebak bahwa itu dari permintaan Riel. Entah apa yang terjadi pada anak itu. Sejak kemarin nafsu makannya sedang sangat meningkat. Pasti dia berkata pada Azel bahwa dia ingin telur dan bukannya sekedar roti dengan selai seperti biasanya.
Arlyn harus bersyukur ada Azel sebagai pengurus kedua adiknya. Arlyn tidak punya tenaga untuk menanggapi Riel. Juga Abi, di beberapa waktu tertentu.
Begitu dia selesai menontoni Azel dari kejauhan, dia menyadari Riel yang juga sudah berseragam tengah berdiri bersandar pada bingkai pintu kamarnya. Kedua tangan menyentuh dinding. Kepalanya menengok ke dalam kamar. Memperhatikan sesuatu.
Arlyn tersadar dengan ketiadaan Abi. Biasanya anak itu akan duduk di kursi meja makan dengan Riel. Menunggu Azel selesai membuat sarapan untuk mereka.
Tapi kini kursi meja makan kosong. Riel tidak duduk di sana dan melainkan berdiri di bingkai pintu kamar bersama kedua saudaranya itu.
Arlyn menghampiri Riel. Riel terkejut dengan kemunculan Arlyn. Dia mendongak melihat wajah Arlyn yang melihat ke dalam kamar. Riel memiliki wajah khawatir. Rasanya dia ingin memanggil umi tapi dia kemudian merapatkan bibirnya. Menahan untuk membuat suara.
Arlyn melihat sebuah tonjolan di balik selimut. Seseorang masih berada di atas ranjangnya. Menutupi diri dengan selimut yang memiliki gambar potongan pai apel. Riel tidak bisa menahan dirinya untuk memelas lagi. Dia memanggil Arlyn dengan suara memohon. "Umi..."
Abi menolak untuk keluar dari ranjangnya. Menolak untuk keluar dari persembunyiannya di balik selimut. Tidak mungkin sakit. Jika dia sakit dia pasti akan merengek. Lalu Azel dan Riel akan langsung mengetuk pintu kamarnya. Memberitahunya bahwa Abi sakit.
Abi tidak sakit. Dia hanya menolak untuk keluar dari kamar. Mungkin menolak untuk ke sekolah.
Arlyn menunduk ke arah Riel. "Apa yang terjadi?"
Riel memiliki wajah ingin menangis. Dia menggeleng. "Abi bersikap aneh sejak kemarin."
Setelah kepergian Adrian, Arlyn hanya membereskan beberapa kekacauan akibat pesta kejutan kecil di depan kamarnya. Dia berkata pada Leta dan kedua anak asuhnya bahwa dia akan kembali beristirahat. Tidak ada siapapun yang protes. Arlyn menebak Leta akan pulang di sore hari. Sedangkan ketiga anak itu bisa melakukan apapun yang mereka mau. Mungkin bermain kejar-kejaran di taman belakang. Atau apapun.
Arlyn tidak keluar dari kamarnya. Dia hanya keluar ketika dia ingin minum dan ke kamar mandi. Tidak menyadari keanehan apapun yang tengah terjadi.
Arlyn memandangi tonjolan di balik selimut itu. Dia menghela nafas. Tau dia harus melakukan sesuatu yang merepotkan. "Kau makanlah. Jangan sampai terlambat ke sekolah." ucapnya.
Riel terlihat ragu. Dia enggan meninggalkan Abi tapi juga tau dia tidak bisa meninggalkan sekolahnya. Dengan murung dia meninggalkan Arlyn dan adik satu panti asuhannya. Menemui Azel yang juga sudah bisa mengerti situasi yang tengah berlangsung dan akan membiarkan Arlyn yang mengurus Abi.
Azel sudah tahu alasan Abi murung. Itu karena Adrian. Azel sendiri tidak punya masalah dengan keberadaan Adrian. Justru, dia ingin umi nya, sosok penyelamatnya dan kedua adiknya, bisa memiliki kehidupan yang baik. Azel masih berumur sebelas tahun. Dua belas tahun sebentar lagi. Tapi dia sudah memiliki pemikiran yang cukup dewasa.
Dia tahu apa yang sedang berlangsung. Umi nya memiliki seseorang yang menyukainya. Dan bahkan jatuh cinta. Umi nya akan memiliki seseorang yang akan membahagiakannya.
Azel tidak tahu apa yang akan terjadi. Apapun itu, dia akan menghadapinya.
Bahkan jika Arlyn benar-benar membuka hati pada laki-laki dewasa yang dia panggil sebagai Paman Adrian, dan memutuskan untuk membuat keluarganya sendiri, meninggalkan dirinya, juga Riel dan Abi, mengembalikan mereka ke panti asuhan, Azel akan menerimanya. Itu adalah hak Arlyn. Azel tidak akan protes.
Pagi itu rumah semua penghuni rumah Arlyn dalam keadaan murung. Azel tidak memberi banyak efek karena memang dia anak yang pendiam dari awal. Tapi kemurungan Riel akibat Abi, membuat suasana kusam.
Riel dan Azel pamit pada Arlyn untuk ke sekolah. Hanya berharap umi mereka akan melakukan sesuatu pada Abi. Menghibur anak itu. Azel tau apa yang tengah terjadi tapi Riel tidak tau apa-apa. Yang dia tau Abi murung dan dia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu. Sejak kemarin Riel sudah mencoba menghiburnya. Mengajaknya bermain, bahkan memberinya canda. Tapi itu tidak berpengaruh sama sekali. Membuat Riel ikut tenggelam dalam kemurungan.
Azel tidak mengucapkan apa-apa tapi dia menepuk nepuk punggung atas Riel. Memberitahunya bahwa dia hanya perlu percaya pada Arlyn. Umi mereka akan melakukan sesuatu.
Hal yang pertama dilakukan Arlyn adalah mengambil hp nya. Membuat panggilan kepada wali kelas Abi. Memberitahunya bahwa Abi akan ijin karena sakit.
Hal yang mudah dari anak sekolah dasar adalah Arlyn tidak perlu repot-repot membuat surat ijin atau semacamnya. Dia hanya perlu membuat pernyataan melalui telepon dan sang wali kelas akan langsung menerimanya.
Wali kelas itu hanya menunjukkan kekhawatiran pada Abi. Karena Abi nyatanya tidak pernah sakit. Dia adalah anak yang sehat dan ceria. Sekalinya dia sakit, itu tidak pernah di hari sekolah. Dan dia akan langsung sembuh setelah meminum obat dan menerima tepukan di kepala dari Arlyn.
Arlyn memberikan terimakasih pada sang wali kelas lalu menutup panggilan teleponnya.
Dia menurunkan hp nya dari telinga dan menolehkan kepalanya pada Abi. Meletakkan hp nya di atas meja makan dan menghampiri anak itu.
Sebenarnya dia sedang tidak punya tenaga untuk melakukan apapun. Kelelahan itu membuat sisi tegasnya berkurang. Dia menepuk anak di dalam selimut dengan gerakan pelan. Terasa lembut bagi Abi yang ditepuk. "Apakah kau akan keluar dari sini? Kau tidak merasa sesak?"
Menutupi wajah di dalam selimut terlalu lama, perlahan Abi akan merasa sesak.
Mungkin Abi menyadari itu dan akhirnya membuka sedikit tutupan selimutnya. Membuat udara akhirnya kembali menyambutnya.
Arlyn melihat mata Abi yang sembab. Bagian seprai yang dia tiduri juga basah. Bisa dilihat dari warnanya yang menggelap.
Arlyn bukan tipe orang yang akan mengusap air mata seseorang yang tengah menangis. Dia membiarkan air lengket itu tetap ada di mata Abi. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu keluar dari kamar?"
Tidak baik untuk anak seumuran Abi terlalu lama berada di dalam kamar. Kamar haruslah menjadi sekedar ruangan untuk tidur. Anak seumuran Abi harus banyak menghabiskan waktu di luar. Melihat banyak hal. Menambah pengetahuannya akan dunia.
Abi diam sebentar sebelum meringkukkan dirinya. Kembali menenggelamkan wajahnya pada permukaan selimut yang bergambarkan pai.
"Kalau kau bersedia untuk keluar, aku tidak akan memarahimu karena membolos. Kau sudah berjanji kau akan bersekolah dengan benar bersama Azel dan Riel. Bukankah aku sudah memberitahumu bahwa seseorang harus menepati janjinya?"
Ucapan Arlyn membuat Abi membuka matanya. Dia membangunkan tubuhnya. Merubah dirinya ke dalam posisi duduk. Wajah mungilnya menunduk. Masih sedikit enggan untuk melihat ke arah Arlyn. Tapi ucapan Arlyn sudah sangat tertanam di dirinya. Seseorang harus menepati janjinya. Abi tidak ingin melanggar janji yang sudah dia buat pada Arlyn.
Arlyn merasa puas. "Bagus. Sekarang ayo keluar. Makan makananmu. Azel sudah membuat sarapan untukmu."
Abi bergerak menurut. Dia melewati Arlyn dan membawa langkah kaki kecilnya ke luar kamar. Arlyn duduk di pinggir kasur Abi menonton kepergian anak itu sebelum pergi menyusulnya. Melihat Abi yang sudah duduk di kursi meja makan. Memegang roti telur nya dengan mata kosong dan wajah tanpa ekspresi.
Arlyn mendudukkan dirinya di kursi di seberang Abi. Memperhatikan anak itu dengan dagu bersandar pada kedua tangannya.
Abi makan dengan sangat lambat. Dia tidak mengunyah dan justru mengemut. Mulutnya tidak kunjung terlepas dari roti telur di tangannya. Dia makan seperti tupai menggerogoti sebuah tomat.
Entah berapa lama waktu berlalu. Arlyn menemukan dirinya tidak merasa bosan menontoni anak itu makan. Dia mulai berpikir untuk membuat video Abi murung yang sedang makan. Dia pikir orang-orang akan rela membuang waktu satu jam berharga mereka hanya untuk melihat sebuah makanan habis secara perlahan di tangan anak itu.
Satu jam mungkin sudah berlalu. Arlyn tidak mengecek. Tapi dia rasa itulah waktu yang digunakan Abi untuk menghabiskan makanan di tangannya. Dia mungkin bahkan tidak sadar dirinya sudah makan dengan sangat lama. Terlalu tenggelam dalam pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya.
Arlyn melihat Abi dan membuka mulutnya. "Sudah selesai?"
Arlyn melihat Abi yang mengangguk pelan. Masih menolak untuk melihat ke arahnya.
"Sekarang ambil minum dan minum di depanku."
Abi menurut. Dia turun dari kursinya. Mengambil gelas di dapur. Mengisi airnya. Kembali duduk di kursinya. Meminum air di dalam gelas dengan sangat lambat. Setengah jam berlalu untuk anak itu menghabiskan air di dalam gelas besarnya. Atau mungkin itu hanya Arlyn yang melebih lebihkan. Tapi dia benar-benar merasa itulah waktu yang sudah terbuang melihat betapa lambatnya anak itu memakan dan meminum sarapannya.
"Masih menolak untuk berbicara?"
Abi tetap diam. Kedua tangan menggenggam gelas besar di atas pahanya.
"Kalau begitu baiklah."
Arlyn pergi dari bangkunya. Dia meninggalkan Abi sendirian di kursinya. Anak itu diam-diam menontoni kepergian Arlyn. Melihat punggung perempuan itu yang mengarah ke taman belakang. Mungkin ingin mengambil bunga untuk diletakkan di dalam vas.
Umi nya selalu terlihat cuek, menunjukkan bahwa dirinya tidak tertarik pada bunga, tapi dia selalu akan merasa aneh ketika melihat vas bunga yang kosong. Dia selalu ke belakang untuk memetik satu atau dua bunga Azel yang memasukkannya ke dalam vas.
Abi masih murung. Dia memiliki keinginan untuk duduk di lantai dan menekuk lutut. Jadi itulah yang dia lakukan. Dia menghampiri sofa tamu yang ada di depan pintu. Mendudukkan dirinya di atas karpet. Beberapa menit berlalu dan Abi merasakan kedatangan Arlyn. Perempuan itu melakukan sesuatu di meja makan. Mungkin memasukkan tangkai bunga yang dia ambil ke dalam vas sesuai tebakan Abi.
Ada beberapa detik dimana Arlyn berdiri diam di tempatnya. Tapi perlahan dia membawa langkahnya ke arah Abi. Duduk di atas sofa.
Ada selang keheningan. Sebelum akhirnya perempuan itu memanggil. "Abi."
"Apa yang kau pikirkan?" Tanyanya.
Setelah selang beberapa waktu tanpa jawaban dari Abi, perempuan itu memanggil lagi.
"Kau tidak mau memberitahuku apa yang mengganggumu?"
Abi tidak juga menjawab dan akhirnya Abi merasakan pergerakan tangan dari Arlyn. Umi nya melepaskan sesuatu dari lehernya. Lalu meletakkan apa yang dia lepaskan di atas lemari di sebelah sofa. "Kau tau apa yang kau khawatirkan tidak akan terjadi. Apa yang membuatmu khawatir?"
Abi mencoba menahan isi hatinya untuk keluar. Tapi perlahan dia tidak mampu menanggungnya lagi. Dia takut. Dia takut Arlyn akan meninggalkannya. Dia takut dia tidak akan bisa melihat Arlyn lagi. "Umi sudah mulai menerima Paman Adrian." Ucapnya dengan mulut menempel pada lutut. Membuat Arlyn mendengar suara tidak jelas tapi tetap berhasil menangkap apa yang Abi katakan. "Jika pun aku menerima Paman Adrian, aku tidak akan meninggalkanmu. Kau akan tetap tinggal bersamaku dan kedua saudaramu juga nenek Leta. Tidak akan ada yang berubah." Ucap Arlyn.
Abi menggigit bibirnya. Semakin menenggelamkan wajahnya ke lututnya. Tidak mampu menahan isi hatinya lagi. "Tapi Abi tetap takut.." Dia mulai menangis. Air mata keluar dan Isak tangis terdengar di telinga Arlyn.
Arlyn terheran-heran. Tapi dia rasa dia bisa mengerti ketakutan yang dirasakan anak itu.
Arlyn sedang lelah. Dirinya menjadi lebih lembut dari biasanya. "Kalau begitu begini saja."
Dia mengulurkan tangannya. Menunjukkan jari kelingkingnya. Abi yang menyadari pergerakan itu tidak bisa tidak mengangkat wajahnya. Ingin melihat apa yang sebenarnya tengah dilakukan Arlyn. Dia melihatnya. Jari kelingking Arlyn. Itu adalah hal yang selalu dilakukan Arlyn ketika dia menjanjikan sesuatu pada Abi. Kemudian hal itu ditiru oleh Riel dan dirinya. Dia juga sering melihat itu dilakukan oleh teman-temannya.
Kadang teman-temannya akan melanggar janji mereka.
Tapi Arlyn tidak. Dia selalu menepati janjinya. Ketika Arlyn sudah menunjukkan jari kelingkingnya pada Abi, maka itu artinya Arlyn sungguh sungguh pada ucapannya.
Biasanya Arlyn melakukan itu ketika dia menjanjikan Abi untuk menjemputnya dari sekolah. Arlyn akan memberikan jari kelingkingnya dan Abi akan menyambutnya dengan senyum lebar. Ketika Arlyn menjanjikan sesuatu, maka Abi harus menjanjikan hal lain sebagai gantinya. Ketika Arlyn berjanji untuk menjemput dirinya juga Azel dan Riel dari sekolah, maka Abi akan berjanji untuk tidak mengganggu Arlyn selama empat jam. Selama empat jam Abi akan membiarkan Arlyn beristirahat dengan tenang di ruang tamu tanpa Abi menghampirinya atau meminta elusan di kepala.
Abi mengangkat wajahnya. Melihat kelingking yang dijulurkan Arlyn.
"Aku tidak akan meninggalkanmu dan kedua kakakmu. Kalian akan tinggal bersamaku. Dan aku akan tinggal bersama kalian." Suara Arlyn bergema di telinga Abi.
Abi mengangkat wajahnya. Melihat ke arah Arlyn. "Sungguh?"
Arlyn memberikan senyum licik. Senyum yang menjadi ciri khas umi nya. "Sungguh."
Abi merapatkan bibirnya. "Apakah aku harus menjanjikan sesuatu juga?"
Arlyn mengeluarkan kekehan.
"Khusus untuk hari ini, tidak."
Abi memandangi wajah Arlyn. Sebelum dengan gerakan ragu-ragu menjulurkan jari kelingking mungil miliknya pada kelingking Arlyn. Membuat simbol perjanjian. Bahwa Arlyn akan selalu bersamanya, dan juga kedua kakaknya. Dan Abi akan terus bersama Arlyn bersama Azel dan Riel.
04/06/2022
Measly033