"Laut!!!" Riel berseru girang melihat pemandangan yang ada di depannya. Dia menarik tangan Abi dan mengajaknya berlari ke tempat dimana pasir putih terhampar, juga dimana debur ombak ringan menyapu pasir di pesisir.
Arlyn mengerutkan kening. Dengan langkah yang dipercepat menyusul kedua anak itu. Keenam orang itu baru saja keluar dari mobil. Arlyn belum sempat mengucapkan apa-apa dan Riel sudah langsung berlari pergi dengan membawa Abi dari area tempat parkir. Adrian terkejut di samping mobil. Leta menghela nafas. Dari tempatnya Adrian bisa melihat Arlyn menjitak kening Riel. Riel langsung melepaskan pegangan tangannya dari Abi dan langsung memegang bagian yang terkena jitakan dengan kedua tangannya. Dari kejauhan Adrian bisa melihat Arlyn mengucapkan sesuatu pada anak itu dengan wajah kesal. Kedua tangannya berada di pinggangnya.
Adrian rasa dari gerakan mulut Arlyn dia bisa tau apa yang perempuan itu katakan. "Jangan bepergian tanpaku. Kau dan kedua saudara saudarimu masih kecil. Aku harus mengawasi kalian. Jangan asal berlarian, mengerti?"
Adrian kemudian melihat Riel bicara. "Tapi aku tau! Aku hanya tidak boleh ke tempat dimana ada ombak, 'kan? Aku hanya tidak sabar bermain pasir!"
Arlyn memegang keningnya. Mengerutkan kening frustasi. Dia kemudian melepaskan tangannya dan kembali bicara. "Kalau begitu berjanjilah untuk diam di sini. Bermainlah di sini. Jangan mendekati air. Mengerti?"
Riel memasang senyum lebar dan membentuk pose hormat. "Siap umi!" Arlyn mengernyit bertanya-tanya darimana Riel belajar melakukan itu. Dia tidak pernah melakukan pose itu sebelumnya. Arlyn menghela nafas. Lalu menoleh pada Abi. Melihat anak itu memandanginya dari bawah.
"Awasi Riel, mengerti?"
Abi mengangguk. Riel yang mendengar itu melebarkan matanya. "Apa?? Aku tidak akan nakal aku janji!!"
Arlyn kembali menjitak kening anak itu. Membuat warna merah di sana. "Aku harus membantu paman Adrian dan nenek Leta untuk membawa barang-barang. Kalian tunggu di sini. Oke?"
Abi mengangguk. Riel mengangguk beberapa kali dengan senyum lebar yang senantiasa menempati wajahnya bahkan setelah mendapat dua jitakan dari Arlyn.
Arlyn membalikkan tubuhnya dan melihat Adrian juga Leta dan Azel sudah ada di area pasir. Membawa tas. Adrian dengan barang paling banyak. Tiga buah tas berada di satu tangannya. Satu tas lain berada di tangan satunya, dan satu tas kecil menggantung di bahunya. Azel tidak membawa apapun sedangkan Leta membawa tikar di tangannya.
Leta mengeluarkan kekehan. Arlyn memasang wajah masam dan menghampiri ketiga orang itu.
Mereka menggelar tikar di atas pasir pantai.
Arlyn langsung mendudukkan dirinya begitu tikar tergelar.
"Mba Arlyn kenapa?" Leta tertawa melihat Arlyn yang tetap terlihat malas meskipun sudah berada di tempat tujuan mereka.
Arlyn tidak merespon. Dia membawa punggungnya miring ke belakang dengan kedua tangan sebagai tumpuan.
Dia melihat ke arah langit. Sekarang sekitar pukul tiga siang menjelang sore. Langitnya berwarna biru dan awan terlihat bergerumul. Memberi lukisan di biru langit.
Arlyn menghirup udara dalam-dalam hingga ke dasar paru-parunya sembari memejamkan mata. Lalu menghembuskan nafas.
Senyum tersungging di wajahnya. Senyum tipis, namun sudah menggambarkan hal apa yang tengah dia rasakan.
Betapa damainya.
Arlyn merasakan kesejukan memenuhi dadanya. Kepalanya terasa ringan dan Arlyn merasakan kelegaan.
Dia merasakan mata melihat seseorang dan langsung menyadari keberadaan Adrian ketika dia membuka matanya.
Laki-laki itu duduk di sampingnya. Kepala tertoleh ke arahnya. Senyum lembut berada di wajahnya. Dia memandangi Arlyn seolah Arlyn adalah sumber kebahagiaannya.
Arlyn mengernyit terganggu. Tapi tidak mengatakan apa-apa dan kembali memejamkan matanya. Masih dengan kening berkerut karena merasakan pandangan Adrian padanya yang tidak kunjung terlepas. Perlahan dia tidak sanggup bersikap tidak tau dan membuka matanya dengan wajah masam. Dia menoleh ke arah Riel dan Abi. Melihat Azel sudah bergabung bersama mereka.
Mereka membuat gambar. Menggunakan ujung jari mereka. Karena kali ini gambarnya besar jadi ketiga anak itu saling bekerja sama. Memberi detail untuk satu sama lain.
Arlyn mengernyit.
Apa yang mereka lakukan?
Dari kejauhan dia bisa melihat apa yang mereka gambar.
"Mba Arlyn. Mereka ngegambar sesuatu," tawa Leta. Dia bangun dan pergi menghampiri ketiga anak yang sedang berada di dalam dunia mereka sendiri.
Arlyn awalnya acuh. Tapi kemudian dia menyadari satu hal.
Dia kini hanya berdua dengan Adrian. Bahkan ketika Leta masih ada bersama mereka pun Adrian tidak terlihat terganggu. Begitu fokus dalam memperhatikan Arlyn. Bagaimana dengan sekarang? Tanpa Leta. Hanya Adrian dan dirinya. Apa yang akan pemuda itu lakukan?
Arlyn berwajah gelap. Berharap sedalam hatinya agar Adrian tidak melakukan apapun yang akan tidak dirinya sukai.
Arlyn tidak tau apakah harapannya pupus atau tidak. Karena setelah itu pemuda yang duduk di sebelah kiri sedikit lebih ke belakang itu bersuara. "Kita akan menginap di hotel. Kita bisa pulang besok, tapi kalau ada tempat yang ingin dikunjungi lagi, kita bisa mengunjungi tempat itu terlebih dahulu."
Suara Adrian terdengar lembut.
Dia selalu bersuara dengan lembut ketika bicara dengan Arlyn.
Arlyn merasakannya. Seolah seluruh kelembutan yang dimiliki oleh Adrian sebagai manusia dikumpulkan dan dipersembahkan hanya untuk Arlyn.
"Hm." Arlyn memberikan gumaman sebagai respon.
Tempat lain untuk dikunjungi? Arlyn rasa tidak ada. Tidak masalah jika mereka langsung pulang sehabis dari hotel.
Tapi berbeda jika Abi Riel dan Azel juga Leta berkeinginan untuk ke tempat lain.
Arlyn terdiam.
Anak-anak itu, belum pernah pergi berjalan-jalan sebelumnya. Mereka selalu di rumah. Karena Arlyn tidak merasa dirinya sanggup untuk menjaga ketiga anak itu jika mereka keluar. Selain itu,
Mata Arlyn perlahan berubah kosong. Kepalanya diisi oleh pikirannya sendiri.
Adrian melihat Arlyn dan merasa dirinya menyadari itu. Dia ingin memanggil. Menyadarkan Arlyn dari lamunannya. Tapi tangannya yang awalnya sudah bergerak hendak terjulur untuk memegang bahu Arlyn dia tarik kembali. Adrian menggigit bibirnya.
"Umi! Lihat!"
Suara Riel menyadarkan keduanya. Adrian melihat Arlyn yang diam sebentar. Wajahnya datar. Tapi kemudian dia memberdirikan dirinya. Berjalan menghampiri ketiga anak yang pakaian dan lututnya tertempeli oleh pasir. Leta di dekat mereka menyeringai. Dia sudah melihat apa yang anak-anak itu gambar dan tidak sabar melihat reaksi Arlyn untuk menggodanya.
Arlyn melihat itu. Wajah tiga anak mungil. Arlyn. Leta. Dan Adrian. Berada di dalam satu rumah. Penuh senyum dan tawa.
Arlyn yang biasanya berekspresi datar digambar dengan bibir tersenyum kecil di gambar itu. Gambar di atas pasir memang tidak begitu menawan. Tapi siapapun yang melihatnya akan merasakan kehangatan di hati mereka.
Adrian ikut menghampiri Arlyn setelah menerima seruan panggilan dari Riel. Juga pandangan menunggu dari Azel dan Abi. Adrian juga bisa melihatnya. Dia sudah melihat gambar-gambar milik Riel Azel dan Abi. Mereka menggambarnya. Menggambarnya bersama Arlyn. Menggambarnya bersama mereka. Seolah Adrian adalah bagian dari mereka dan bukannya sekedar orang yang bertamu ke rumah mereka.
Adrian saat itu terperangah dan tidak menyangka itu sama sekali. Jadi setelah dia melihat gambar di atas pasir itu pun, —gambar dimana wajahnya berada di dalam sketsa rumah bersama kelima orang lainnya—, dia merasakan kehangatan tidak mendasar di dalam hatinya. Memberikan kelegaan di dalam dirinya.
Dia merasa bahagia, jadi dia melihat ke arah Arlyn. Ingin melihat reaksi perempuan itu.
Perempuan itu terdiam dengan mata sedikit kosong.
Namun kemudian Adrian melihatnya. Sudut bibir Arlyn perlahan bergerak. Menyunggingkan senyum kecil seperti bagaimana wajah Arlyn tergambar di atas pasir. "Kau pikir aku akan menerima dua orang lagi untuk tinggal di rumah? Keberadaanmu dan Abi saja sudah menghasilkan banyak suara," ejeknya pada Riel.
Riel tersenyum. Kemudian berjalan dengan langkah lebar menghampiri Arlyn. Memeluk kaki perempuan itu.
"Kami menyayangimu, umi." Suara Riel tidaklah girang dan menyeru seperti biasanya. Kali ini dia berucap pelan. Sungguh-sungguh dari dalam hatinya. Arlyn masih bisa mendengar suara anak itu. Dia terdiam. Tidak menyangka Riel akan memeluknya dan mengatakan hal seperti itu.
Dari sudut matanya dia melihat Azel dan Abi ikut mendekatinya lalu ikut memeluk kakinya dari sisi kiri kanan yang lain. Ketiga anak itu seperti saling memeluk tapi sebenarnya mereka memeluk kaki Arlyn. Arlyn tidak menyangka itu dan akhirnya hanya memegang kepala mereka. Kepala Azel, dan Abi.
"Hm." Dia memberikan gumaman.
Adrian melihat itu. Merasakan kehangatan tak berujung memenuhi dadanya. Dia bahkan menyadari keberadaan pengunjung pantai lain. Para wanita tampak terenyuh melihat pemandangan yang ada di depan mereka. Yang bersama pasangan mulai mendekatkan diri pada pasangan mereka. Menyalurkan kelembutan.
Adrian sedang tenggelam dalam perasaannya tapi kemudian menyadari lambaian tangan dari Leta. Adrian menoleh pada wanita itu. Melihat wanita itu mengangguk. Bibirnya membuka membentuk kata tanpa suara.
Wanita itu berkata.
'Lakukanlah'
Dia memberitahu Adrian untuk melakukan apa yang sudah menjadi rencananya. Tujuan utama dia mengajak Arlyn ke pantai.
Adrian mengangguk. Memberi senyum hangat pada wanita itu.
Abi, Riel dan Azel melepaskan pelukan mereka pada Arlyn. Mendongak ke arah perempuan itu. Memberi senyum.
Arlyn yang melihatnya hanya menghela nafas.
Anak-anak itu bersikap tidak seperti biasanya. Hari itu adalah hari dimana Riel Azel dan Abi menumpahkan rasa sayang mereka pada Arlyn.
Leta berseru. "Foto! Kita harus berfoto!" Dia tersenyum lebar.
Arlyn menoleh. Memasang wajah masam tapi kemudian menghela nafas pasrah. Adrian mendengar Leta tersenyum dan melepaskan tas kecil dari bahunya. Mengeluarkan sebuah kamera dari sana.
"Kau tampaknya penuh persiapan," cemooh Arlyn.
Adrian terperangah tapi kemudian tersenyum tipis.
"Kemari kemari! Gambar di pasirnya harus kefoto!" ngotot Leta. Tertawa puas. Adrian mengangguk-angguk mengiakan.
"Satu, dua, tiga." suara Adrian memberi aba-aba.
Ckrek
Sebuah foto terambil dan langsung tercetak. Itu adalah sebuah kamera polaroid. Riel terpana. Dia pernah melihat kamera seperti itu di tv. Kamera seperti itu bisa langsung mencetak foto yang terambil. "Paman! Lagi!"
Arlyn berwajah masam. "Lagi? Mau berapa foto yang kau ambil?"
Arlyn tidak suka berfoto dan tidak suka difoto. "Yang banyak! Yang banyak-banyak!" Riel membentuk lingkaran besar dengan kedua tangannya di atas kepala. Abi dan Azel mengangguk-angguk. Leta tertawa setuju.
Beberapa foto terambil dengan Riel dan Abi memasang gaya yang berbeda-beda. Leta pun ikut bergaya. Berbeda dengan Azel dan Arlyn yang cenderung statis. Azel juga berusaha bergaya, tapi hal itu justru membuatnya tampak kikuk dan lucu. Riel langsung memeluk tangannya. Membentuk gaya untuk Azel. Abi juga bergabung. Semua foto terambil dengan Arlyn berada di tengah—dan keempat orang lainnya membuat keributan di sekelilingnya.
Adrian tersenyum hangat. Tumpukan foto sudah ada genggamannya. Dia memandangi foto-foto itu dengan hati hangat.
"Mas nya mau ikut foto juga?"
Sebuah suara menarik perhatiannya. Seorang wanita. Yang bersama pasangannya. Keduanya tampak tengah berkencan. Sang wanita mengenakan gaun tanpa lengan bermotif bunga-bunga dan topi rajut di kepalanya. Laki-laki yang menjadi pasangannya memberi senyum menyapa pada Adrian. Adrian sedikit terperangah tapi tetap mengangguk.
"Uh, ya."
"Sini saya fotoin. Mas nya ikut ke sana." Wanita itu berkata dengan senyum lebar. Dia sudah menontoni kumpulan keluarga kecil itu dari kejauhan sejak tadi. Membuatnya bersemangat untuk membuat keluarga kecil serupa bersama pasangannya. Dia mengulurkan tangannya. Menunggu Adrian menyerahkan kameranya. Adrian sempat merasa canggung tapi kemudian menyerahkan kamera itu.
"Sana mas sana. Biar saya fotoin." Wanita itu terlihat antusias dengan sang pasangan seperti memberi instruksi untuk cara mengambil foto. Kedua orang pasangan itu akhirnya ribut sendiri menyuruh keenam orang yang menjadi objek foto untuk bergaya.
Riel bersemangat seperti sebelumnya. Leta tertawa. Kali ini Abi menggenggam tangan Arlyn di tangannya. Ingin mengambil foto dengan dirinya tengah menggenggam tangan Arlyn.
"Mas! Foto sama mbaknya sana!" Wanita itu berseru. Menyuruh Adrian untuk berdiri di sebelah Arlyn.
Mata Leta melebar. Dia langsung menarik Abi Riel dan Azel pergi dari sana.
"Ambil fotonya mbak!" pinta Leta pada wanita yang memegang kamera.
"Siap!!" Wanita itu berucap semangat. Bersiap menekan tombol foto.
Tinggal lah Arlyn berdiri seorang diri dengan Adrian. Mengutuk di dalam hatinya. Adrian merasa pipinya memanas. Dia merasa begitu gugup tapi juga senang di saat yang bersamaan.
Wanita dengan kamera sudah menyuruh keduanya untuk membentuk pose-pose lucu ala pasangan tapi semua foto berakhir dengan Adrian membentuk pose canggung dengan Arlyn yang tidak merubah gayanya sama sekali. Melipat kedua tangan di depan dada dengan wajah gelap.
Wanita dengan kamera itu membentuk wajah tak percaya kikuk. Melihat Arlyn, dia sudah tau tipe wanita seperti apa dia. Lalu melihat Adrian, dia sudah bisa melihat perasaan apa yang dimiliki pemuda itu untuk perempuan di sampingnya.
Wanita itu merasa kedua pasangan itu lucu dan hanya bisa mendoakan kesuksesan Adrian.
"Gambarnya bagus-bagus jangan khawatir!" bangga wanita itu. Adrian menerima kembali kameranya. Gambar-gambar yang diambil wanita itu tidak tercetak dan hanya tersimpan di dalam kartu memori kamera. Dia mengucapkan terimakasih pada pasangan yang muncul tiba-tiba itu. Sang wanita tersenyum ceria. Kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Adrian setelah berjinjit.
"Semoga sukses mas. Mas pasti bisa."
Dia memasang senyum menggoda dan akhirnya merangkul tangan pasangannya. Mengajak pasangannya pergi.
Adrian di tempatnya terdiam. Merasa bingung, tapi di saat yang bersamaan bisa menangkap apa yang dimaksud wanita itu. Dia tersenyum.
Dia akan mendapatkan Arlyn.
04/06/2022
Measly033