Tidak ada yang begitu membahas tentang apa yang sebelumnya sempat terjadi.
Riel ingin berucap tapi dia selalu kembali menutup mulutnya. Abi menjadi lebih pendiam. Dia tidak benar-benar tau bagaimana dia harus bereaksi. Azel, dia banyak memperhatikan gerak-gerik Arlyn. Reaksi perempuan itu.
Tapi Arlyn tidak benar-benar menunjukkan perubahan apapun. Seolah tidak ada yang pernah terjadi. Adrian tidak pernah melamarnya dan kepergian mereka ke pantai dan penginapan itu tidak pernah ada.
"Kalian sudah makan?"
Arlyn akan bertanya pada mereka. Tapi setelah itu dia akan kembali duduk di sofa dengan buku pelajaran ketiga anak itu. Seperti biasa mempersiapkan dirinya jika suatu saat mereka membutuhkannya untuk menjelaskan pelajaran yang belum mereka pahami.
"Jadi, umi tidak akan menikah?" Riel memulai pembicaraan dengan kedua saudaranya ketika mereka sedang berada di meja makan. Dua tangan di atas meja dengan leher yang dikedepankan. Membuat bentuk tebuh hendak menggosip. Azel berwajah masam.
"Aku tidak tahu."
Dia pikir Arlyn akan menerima lamaran Adrian. Lalu mereka akan menikah. Lalu, apa yang akan terjadi setelah itu, dia baru akan melihatnya nanti.
Tapi Arlyn menolak. Azel tidak mengerti. Kenapa uminya tidak mau? Apa yang salah?
Dia mengkerutkan kening tidak mengerti dan mulai tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Sedangkan Abi, dia tidak tahu bagaimana dia harus menanggapi apa yang terjadi di malam itu.
Seharusnya dia senang karena Arlyn menolak. Tapi, anehnya dia tidak merasa begitu senang soal itu.
Dia merasakan ketidaknyamanan di dalam hatinya. Seperti sesuatu ada yang salah. Sesuatu yang tidak benar dan membuat dirinya merasa kosong. Dia tidak tahu apa itu.
Sejak malam itu, Abi tidak mencari masalah. Dia tidak membuat dirinya sendiri celemotan hanya agar Arlyn membersihkan mulutnya. Dia tidak mendatangi Arlyn hanya untuk merengek meminta Arlyn mengusap kepalanya. Dia hanya diam saat itu. Tidak mengganggu Arlyn sama sekali. Yang melalui pengamatan Abi, hanya banyak diam seperti biasanya. Uminya terlihat seperti dia sedang memikirkan sesuatu di dalam kepalanya. Begitu fokus sampai tidak menyadari apa yang sedang berlangsung di sekelilingnya.
Melalui jendela kamar hotel, Arlyn memandangi ombak yang ada di luar. Dengan mata setengah kosong. Abi merasa Arlyn sedang memiliki sesuatu di kepalanya. Abi tidak ingin mengganggu. Dia ingin memberi Arlyn waktu untuk sendiri.
Dan waktu untuk sendiri itu cukup lama.
Abi menjadi canggung dengan Arlyn. Dia merasa sulit untuk sekedar mendekat. Untuk sekedar memanggilnya pun sulit.
Hanya Riel. Hanya Riel yang bisa bersikap seolah tidak ada apapun yang terjadi. Berbeda dengannya dan Azel yang masih tidak bisa untuk melihat Arlyn di mata.
Ketika waktunya makan malam, Arlyn memanggil Azel seperti biasa. Riel bergerak ikut seperti biasa juga. Tapi Abi, diam di tempatnya.
Arlyn menyadarinya. Dan membiarkannya.
Bersama Riel dan Azel Arlyn membawa piring-piring juga peralatan makan berserta wadah nasi dan makanan buatan Leta. Arlyn yang tidak pernah memasak. Leta melihat bagaimana Arlyn harus selalu membeli makanan dari luar agar ketiga anak di rumahnya bisa makan makanan rumah. Sejak saat itu Leta menawarkan diri untuk memasak untuk mereka. Dia akan menyimpan makanan buatannya di kulkas dan Arlyn hanya akan perlu memanaskannya ketika dia dan ketiga anaknya hendak makan.
Arlyn berkata pada Riel dan Azel agar mereka duduk. Dia yang akan meletakkan piring dan alat makan di tempat setiap dari mereka.
Ketika dia meletakkan piring untuk Abi, dia menoleh pada anak itu. Yang melihat ke arah meja seperti menghindari kontak mata dengan dirinya. Arlyn menyadari itu. Dia menggerakkan satu tangannya. Lalu menjitak kening Abi.
Abi terperanjat dan langsung mengangkat wajahnya. Dua tangan menutupi bekas jitakan Arlyn. Yang melihatnya dengan wajah tanpa ekspresi. Abi melihat itu dan merasa bingung. Dengan wajah kaku dan mulut terbuka sedikit. Merasa tubuhnya kaku karena terkejut dengan jitakan Arlyn yang tiba-tiba.
"Kalian habis merencanakan sesuatu bersama, bukan begitu?"
Abi terdiam. Begitu juga Azel dan Riel. Yang merasa diri mereka bergidik. Mereka bertiga bergidik. Baru kali ini. Mereka takut pada Arlyn. Mereka merasa mereka sudah membuat kesalahan. Mereka sudah membuat Arlyn marah.
Arlyn mendudukkan dirinya. Menghela nafas tanpa suara. Berjalan dari dapur ke tempat dimana meja makan berada dengan membawa dua wadah yang cukup berat di kedua tangannya membuatnya merasa sedikit lelah.
Dia mengulurkan tangannya meletakkan sesendok nasi di setiap piring ketiga anak yang mengelilingi meja yang sama dengannya.
Azel terperangah dan berkata pada Arlyn. "Umi. Tidak perlu. Kita bisa mengambilnya sendiri."
Arlyn memotong. "Diam di tempatmu."
Azel merungut dan menurunkan bahunya. Dengan punggung yang setengah membungkuk dia menunjukkan kemurungan yang dia punya. Dia belum pernah seperti itu sebelumnya. Yang biasanya akan merungut dan menunjukkan kemurungan adalah Abi. Bukannya Azel yang lebih dewasa dan seringnya hanya berwajah datar.
Riel memajukan piringnya. Memudahkan Arlyn untuk meletakkan nasi di piringnya. Abi melihat apa yang Riel lakukan dan menirunya. Dia juga menyadari bagaimana Arlyn sedang bersikap tidak seperti biasanya. Dia memilih untuk mengikuti suasana hati uminya itu.
Ketika dia sudah mengambilkan lauk untuk ketiga anak lainnya, dia berucap.
"Makanlah."
Azel dan Abi makan tanpa mengatakan apapun. Riel tersenyum tawa seperti biasa. "Selamat makan umi!"
Azel dan Abi tersadar dan akhirnya mengucapkan hal yang sama dengan suara pelan.
Di tengah makan mereka. Arlyn yang juga sudah memakan beberapa suapan kecil makanan itu membuka mulutnya.
"Kalian ingin mempermainkanku?"
Abi Riel dan Azel yang mendengar itu langsung mengangkat wajah mereka dengan wajah terperangah. Juga terperanjat.
"Aku sudah berkata bahwa akan menikah atau tidak adalah keputusanku. Tapi justru kalian membuat rencana untuk paman Adrian tanpa sepengetahuanku. Bukan begitu?"
Ketiga anak itu merasa bahu mereka memberat. Azel dan Abi merasakannya tapi Riel masih merasa bingung kenapa dia merasakan itu.
Arlyn bicara dengan suara pelannya yang seperti biasa. Tapi entah kenapa, di bicaranya yang kali ini, Riel merasakan ketidaknyamanan. Dia merasakan ketakutan samar untuk melihat Arlyn.
Dia melihat Arlyn hati-hati. Melihatnya yang berwajah datar.
"Apa yang waktu itu kalian rencanakan? Agar paman Adrian dan aku bisa berada di tempat dimana hanya ada kami berdua?"
Riel memanyunkan bibir. Abi menundukkan kepalanya lagi. Azel yang sebelumnya diam akhirnya ikut berbicara.
"Kami hanya ingin umi untuk bahagia. Selama ini umi sudah menjadi umi kami. Tapi umi juga berhak untuk mendapatkan hidup umi sendiri."
"Dengan mendorongku untuk menikah dengan seseorang ketika aku tidak ingin?"
"Tapi–" Azel yang hendak membalas akhirnya menutup rapat mulutnya lagi. Dia tersadar dan mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Arlyn sadar bahwa dirinya sudah membuat ketiga anak itu berpikir tentang apa yang dia ucapkan.
"Apa yang sudah berlalu, kita bisa melupakannya." Dia memisahkan-misahkan makanan di atas piringnya. "Ada kemungkinan besar Paman Adrian tidak akan kemari lagi. Jadi kita bisa kembali ke kehidupan kita yang sebelumnya. Tanpa paman itu."
Azel melihat Arlyn lagi. Wajahnya menunjukkan ekspresi tidak setuju.
"Umi.."
Dia seperti ingin melawan dan protes. Mungkin juga memberontak.
Arlyn menaikkan alisnya. Menunjukkan ucapan 'kau mau melawanku?' dari kedua matanya. Azel merasakannya dan jadi dibuat ingin meringsut. Tapi dia mengeraskan dirinya lagi. Dia ingin Arlyn mengikuti apa yang dia ucapkan.
Arlyn dan Azel terlibat dalam perang mata. Arlyn dengan mata yang datar namun tidak menerima bantahan. Azel dengan mata penuh keyakinan dan ketidaksetujuannya.
Sesuatu yang mengejutkan saat itu adalah Arlyn yang tiba-tiba tersenyum kecil. Hal itu mengejutkan Azel.
Arlyn tidak pernah tersenyum sebelumnya. Tidak sejauh yang mereka tau.
"Kau sudah besar." Arlyn berucap dengan suara pelan. Ada jejak kelembutan di suaranya.
Azel mungkin sudah menemui masa pubertasnya.
Azel yang ada di depannya sekarang, tidak seperti Azel yang biasanya. Azel yang sekarang, dia berani untuk menunjukkan protesnya pada Arlyn. Ketika dia sebelumnya hanya diam dengan kedua saudaranya yang lain yang akan merengek tidak senang. Tapi sekarang, justru Azel lah yang bersuara ketika kedua adiknya diam.
"Kalian sudah besar." Arlyn berucap sembari memisahkan makanan-makanannya lagi. "Kalian sudah bukan lagi tiga anak yang meringsut ketika kalian dimarahi." bicaranya pelan. "Kalian sudah menjadi berani."
Mereka mampu mengucapkan apa yang diinginkan oleh mereka. Mereka berani mengucapkan apa yang ada di dalam pikiran mereka. Mereka berani untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini. Membela diri dan menolak untuk menyerah. Sangat berbeda dari ketika mereka ada di panti. Ketika mereka pertama bertemu Arlyn. Ketika Arlyn baru melihat ketiga sosok mereka.
Keinginan Arlyn adalah agar ketiga anak itu tidak lagi tunduk pada apa yang orang lain katakan. Mereka harus punya keinginan mereka sendiri dan mereka harus bisa menunjukkannya pada orang lain.
Abi menunjukkan bagaimana dia ingin tinggal bersama Arlyn dan kedua saudaranya. Untuk mendapatkan perhatian Arlyn. Dia akan merengek untuk menunjukkan pemaksaannya agar dia bisa mendapat apa yang dia mau. Riel sejak awal selalu menjadi yang paling berani dari kedua saudaranya. Dia yang paling pertama membuka diri pada Arlyn dan mengaku bahwa dia ingin memakan kue. Sedangkan Azel,
Ini adalah pertama kalinya.
Azel yang biasanya akan selalu mengalah dengan kedua saudaranya dan mengikuti ucapan Arlyn tanpa sekalipun protes. Menurut dan tidak ingin menyusahkannya. Tapi kali ini dia ingin menunjukkan apa yang dia inginkan. Tentang Arlyn.
Arlyn sadar kalau dia masih selalu memanjakan Riel dan Abi. Itu karena mereka masih kecil. Seiring berjalannya waktu, dia akan menunjukkan pada Riel juga Abi bahwa mereka tidak bisa merengek.
Tapi dia akan melakukannya nanti.
"Kalian pasti akan baik-baik saja meskipun aku tidak ada."
Mereka yang sebelumnya bergidik karena takut pada Arlyn, kini mereka bergidik karena mereka merasa tidak nyaman dengan apa yang Arlyn ucapkan.
"Umi akan pergi?" Abi bertanya takut-takut. Juga merasa takut pada dugaan bahwa Arlyn akan pergi dari mereka seperti yang dia bilang.
Apakah umi akan mengembalikan kami ke panti sekarang? Apakah kami membuat umi marah?
Abi memiliki pikiran itu.
Arlyn menaikkan kedua alisnya acuh dengan mata masih tertuju pada makanan yang ada di atas piringnya.
"Aku tidak memiliki keinginan itu."
Ucapan itu membuat ketiga anak itu merasa hati mereka meringan. Namun kemudian Arlyn bicara lagi. "Aku tidak memiliki keinginan itu tapi aku tidak tahu kapan itu akan terjadi."
Abi dan Azel mengerutkan kening bingung. Sedangkan Riel membuka mulutnya dalam ketidakpahaman.
Di tengah kebingungan itu Arlyn menggerakkan satu tangannya merogoh saku kain celananya. Lalu dia memberikan apa yang ada di tangannya pada ketiga anak yang ada di dekatnya.
Mereka menerimanya meskipun dengan wajah tidak mengerti. Melihat apa yang ada di tangan mereka.
Balok kayu batang pohon berbentuk lonjong. Dengan tebal satu senti meter. Dengan besar sebesar satu telapak tangan Riel. Di bagian depannya terukir sebuah pola. Pola yang terasa familiar tapi juga tidak.
Mereka yang tidak mengerti apa benda yang ada di tangan mereka itu mengangkat wajah mereka untuk bisa melihat Arlyn. Arlyn yang sudah tidak memiliki senyum itu lagi. Wajah datarnya sudah kembali. Dan dia bersuara dengan suaranya yang biasa.
"Itu pemberianku untuk kalian. Kalian bisa menyimpannya atau membuangnya. Itu kebebasan untuk kalian."
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi,"
Arlyn melihat ke arah setiap dari mereka. Setiap dari ketiga anak di depannya. "Apapun yang terjadi kalian harus selalu bersama. Kalian mengerti?" Arlyn memberikan dorongan. "Ketika kalian bersama kalian bisa melakukan apapun. Sebagai adik dan kakak. Kalian akan ada untuk satu sama lain. Walaupun aku dan nenek Leta tidak ada. Kalian akan baik-baik saja."
Kala itu, Arlyn mengucapkan sesuatu yang tidak bisa dimengerti oleh ketiga anak itu.
Umi mereka, tidak akan pergi, bukan begitu?
Dia akan selalu ada untuk mereka. Seperti yang dia telah janjikan di hari itu. Janji yang membuat mereka selalu yakin dan percaya kalau Arlyn akan ada sebagai umi mereka.
Jika Arlyn tidak ada, mereka tidak akan mungkin baik-baik saja.
Tanpa dia dan nenek Leta. Bagaimana mereka akan bisa hidup?
Di dunia yang kejam dan juga masih memiliki orang-orang yang memiliki niat buruk di dalam diri mereka. Mereka yang masih sebatas anak kecil yang tidak tahu apa-apa tidak mungkin bisa hidup tanpa Arlyn. Apa yang sebenarnya Arlyn ucapkan?
Mereka tidak tahu. Tapi mereka meremat balok kayu itu di kedua tangan mereka. Arlyn bilang kalau mereka bisa membuangnya. Tapi mereka tidak akan membuangnya. Apa yang Arlyn berikan pada mereka, mereka akan selalu menyimpannya.
Tidak ada yang mengatakan apapun lagi setelah itu. Arlyn mencuci peralatan makan dan Azel membantunya. Abi dan Riel mengikuti ucapan Arlyn untuk menyiapkan buku-buku sekolah mereka besok. Memberi Abi waktu untuk memandangi pemberian Arlyn di kedua tangannya. Dengan kepala yang tidak henti-hentinya bergerak.
Minggu itu berlalu hanya dengan kunjungan Leta.
Atau setidaknya itulah yang dipikirkan oleh Arlyn. Karena nyatanya pemuda itu muncul lagi. Seperti biasanya. Tidak ada yang berubah. Meskipun Arlyn sudah memberikan penolakannya. Menunjukkan kalau laki-laki itu tidak terpengaruh sama sekali. Adrian datang dengan membawakan makanan. Makanan yang lagi-lagi belum pernah dicicipi oleh ketiga anak itu sebelumnya.
04/06/2022
Measly033