Arlyn masih menautkan kelingkingnya dengan kelingking Abi. Ketika dia mendengar suara dering ponsel. Itu ponselnya. Yang ada di atas meja makan. Dia melepaskan jarinya dari Abi. Meninggalkan anak itu untuk meraih hp nya.
Itu telepon dari wali kelas Riel. Dia menerimanya. Mendengar sebuah kalimat dan langsung melebarkan matanya.
"Abi, aku harus pergi." Akunya. Mendatangi kamarnya untuk mengambil beberapa barang.
"Pergi? Ke mana?" tanya Abi bingung. Dia melihat Arlyn yang terburu-buru. Tidak biasanya Arlyn begitu. Umi nya adalah orang yang selalu bermalas-malasan. Melakukan segala hal sesuai kemauannya. Tapi Arlyn yang sekarang terlihat bahwa dia terburu-buru.
Arlyn baru akan membuka pintu, ketika mengingat Abi yang berdiri sendirian di dekat sofa.
Dia tidak bisa meninggalkan anak itu sendirian di rumah. Dia menghampiri Abi. Menariknya ke kamarnya. "Ikut aku."
Abi merasa bingung. Jantungnya berdetak cepat. Umi nya mengeluarkan aura yang membuat Abi merasa cemas. Seperti sebuah masalah terjadi.
Arlyn menyuruh Abi berganti baju. Menyuruhnya untuk cepat. Abi merasa bingung tapi tetap melakukan apa yang Arlyn suruh. Dia sudah biasa disuruh bergerak cepat oleh Arlyn. Perempuan itu suka bermalas-malasan tapi tidak suka ketika dia dibuat menunggu.
Begitu Abi sudah memakai pakaian keluar rumahnya, Arlyn menarik tangannya lagi. Membawanya keluar pintu rumah. Arlyn mengunci pintunya. Menoleh pada Abi. Melihat anak itu memiliki wajah tidak suka. Memandangi bagian luar pekarangan rumah. Arlyn menoleh ke arah yang dilihat oleh Abi. Melihat sebuah mobil yang familiar. Lalu seorang pemuda yang sama familiar nya keluar dari pintu depan.
Arlyn langsung menarik tangan Abi. Membawanya ke arah mobil yang terparkir itu.
Adrian baru akan mengeluarkan sebuah kotak berisi pie cokelat. Ketika dia menyadari kedatangan seseorang dengan langkah cepat. Adrian menjulurkan kepalanya ke atas atap mobil.
"Arlyn?"
"Antarkan aku ke sekolah mereka."
"Sekolah?" Adrian memasang wajah bingung. Tapi Arlyn tidak menjawabnya. Dia membuka pintu belakang. Memberitahu Abi untuk masuk.
Normalnya Abi akan meminta Arlyn duduk bersamanya. Tapi Abi merasakan ketegangan dari Arlyn. Abi sedang tidak bisa meminta apapun pada perempuan itu.
"Kau masuklah." suruh Arlyn pada Adrian. Adrian terperangah tapi tetap menuruti Arlyn.
"Jalankan mobilnya. Ikuti arahanku."
Adrian benar-benar merasa bingung dengan apa yang tengah terjadi tapi dia tetap mengikuti arahan Arlyn. Sebuah sekolah yang ada di kawasan perumahan Arlyn. Memakan waktu setengah jam perjalanan dengan berjalan kaki. Dan sepuluh menit dengan mobil.
Arlyn meminta Adrian untuk membukakan pintu. Adrian dengan kikuk menekan tombol buka. Arlyn langsung pergi keluar mobil. Dengan langkah cepat masuk ke kawasan bangunan sekolah.
"Umi!" Abi sempat mempelajari cara Arlyn membuka pintu dan dengan instingnya menarik pegangan pintu, mendorongnya ke arah luar. Abi melompat keluar mobil. Menutup mobil namun tidak rapat. Dia berlari mengikuti Arlyn. Adrian keheranan di tempat duduknya. Tapi dia cepat-cepat memarkirkan mobil, menutup pintu Abi dan berlari menyusul Arlyn juga Abi setelah menekan tombol kunci.
Arlyn menghampiri Riel. Yang berdiri dengan kepala menunduk bersama empat orang guru, seorang ibu murid, dan seorang murid laki-laki seumuran Riel.
"Ibu Riel." salah satu guru wanita menyadari kedatangan Arlyn.
Arlyn melihat ke arah Riel. Riel menyadari keberadaan Arlyn dan mengangkat wajahnya.
Muka anak itu kotor. Rambut dan baju seragamnya berantakan. Begitu juga dengan anak murid yang lain. Tapi penampilan Riel lebih buruk.
"Apa situasinya?"
"Anak kamu mengajak berantem anak saya!" Si orangtua murid bicara dengan kasar. "Lihat anak saya! Kamu tidak mengajari anakmu tata krama?"
Arlyn mengerutkan kening. Merasa terganggu dengan orangtua murid itu. Dia menoleh pada Riel. Merendahkan tubuhnya hingga setengah berjongkok.
"Beritahu aku apa yang terjadi."
Riel menggigit bibirnya. Wajahnya kusut. Dia terlihat kesulitan untuk menjawab. Abi yang berdiri di belakang Arlyn menggenggam sisi luar pakaian perempuan itu. Terkejut dengan keadaan Riel. Apakah Riel terjatuh?
Abi ingin bersuara. Memanggil Riel dan menanyakannya apa yang terjadi padanya. Tapi atmosfer yang ada membuatnya merasa takut dan membuatnya hanya bisa merapatkan diri pada Arlyn. Meremas pakaian perempuan itu.
"Anak kamu dorong anak saya! Lihat bajunya sampai kotor begini! Tidak mungkin anak saya yang memulai. Pasti anak kamu!"
Arlyn mengernyit. Benar-benar terganggu dengan suara jelek wanita itu. Dia terlihat seperti pekerja kantoran. Dari gaya dandanannya, mungkin memegang jabatan tertentu.
Tapi untuk apa Arlyn peduli hal itu?
"Riel, beritahu aku apa yang terjadi."
Riel memainkan jari di antara kedua tangannya. Terlihat berperang dengan dirinya sendiri apakah dia harus mengatakannya pada Arlyn.
"Kau ingat janji yang kau dan kedua saudaramu katakan padaku?"
Mendengar itu Riel mengangkat wajahnya. Memandang Arlyn dan melihat wajah perempuan itu. Arlyn menatapnya lekat meski pandangan matanya datar seperti biasa. Mendorongnya untuk bersuara.
Riel ingat janji yang dia buat pada Arlyn bersama kedua saudaranya.
Untuk selalu jujur dan berani mengakui kesalahan. Untuk selalu mengatakan kebenaran. Setidaknya pada Arlyn. Arlyn menyuruh mereka bertiga untuk berjanji padanya untuk selalu menjadi berani dan jujur. Sebagai syarat untuk bisa tinggal bersama perempuan itu.
Riel menggigit bibirnya. Memberanikan diri. "Aku hanya sedang duduk diam di jungkat jungkit. Raees memang sudah biasa mencoba menggangguku. Biasanya aku akan menjauhinya. Tapi kali ini,"
Riel mengingat alasannya tidak kunjung pergi meski Raees muncul di dekatnya. Dia sedang tidak ingin melakukan apapun selain duduk di jungkat jungkit. Memainkan permainan itu seorang diri di kala jam istirahat. Pikirannya sedang dipenuhi sesuatu. Tentang Abi. Tentang dirinya yang tidak mampu menghibur adiknya. Riel menyalahkan dirinya sendiri. Dia merasa gagal menjadi kakak.
Raees sudah menunjukkan sikap antagonisnya. Memerintah Riel untuk menyingkir dari mainan dua orang itu. Biasanya Riel akan langsung pergi. Memilih untuk menghindari Raees. Tapi hanya untuk hari ini. Dia sedang murung. Dia ingin sendirian duduk di jungkat jungkit.
Raees merasa kesal dan mendorongnya paksa. Riel menolak dan mempertahankan posisinya. Raees terus memaksa sampai rasa kesal dan amarah geram mulai muncul di dalam dada Riel. Dengan emosi dia mendorong Raees yang langsung terjatuh.
Riel terkejut. Dia tidak menyangka dirinya akan melakukan sesuatu seperti mendorong orang hingga terjatuh.
Riel ingin meminta maaf. Tapi Raees lebih dulu berdiri dan balas mendorongnya. Riel berdiri dan Raees mendorongnya lagi. Hal itu terjadi hingga tiga kali sampai emosi memenuhi Riel. Dia mulai balas mendorong dan akhirnya kedua anak itu terlibat dalam aksi saling mendorong. Tidak ada lagi yang terjatuh. Keduanya berhasil mempertahankan posisi masing-masing tapi guru lebih dulu muncul dan melerai. Penampilan Raees dan Riel sudah lebih dulu berantakan. Raees merengek untuk memanggil ibunya. Dan ibunya menuntut wali kelas Riel untuk memanggil orangtua anak itu. Yang akhirnya memanggil Arlyn untuk datang.
Riel mengakui kesalahannya. Itu semua karena dirinya yang lebih dulu mendorong Raees. Jika saja dari awal dia pergi, mengikuti suruhan Raees, masalah ini tidak akan terjadi. Arlyn tidak akan terpaksa datang menemuinya.
Arlyn mendengarkan penjelasan Riel dan langsung mengerutkan keningnya. Sangat tidak mengerti kenapa drama seperti itu bisa terjadi.
Apa-apaan drama ini? Mendengarnya saja sudah sangat tidak masuk akal. Jangan bilang aku harus mengurus masalah ini?
Arlyn merasa jenuh. Ini masalah yang sangat tidak penting dan tidak cukup berharga untuk mendapat atensi darinya. Seharusnya saat ini Arlyn berada di kamarnya. Berbaring beristirahat. Karena ada masalah ini, dia harus meninggalkan rumah dan mungkin berhadapan dengan orang tua murid yang mempunyai sindrom superioritas itu.
Arlyn menghela nafas kasar tanpa suara. Dia membawa tubuhnya bangun. Berdiri diam sebelum berputar ke samping berhadapan dengan sang orangtua murid.
"Nyonya mau saya melakukan apa?" tanya Arlyn acuh.
"Melakukan apa? Tentu saja menyuruh anakmu untuk meminta maaf pada putraku! Aku tidak peduli apakah kau orangtua atau hanya walinya. Kau harus mendidik anak asuhmu dengan baik!"
Arlyn mengernyit. Benar-benar terganggu dengan fakta bahwa ada manusia hidup seperti wanita di depannya.
Riel yang berada di samping belakang Arlyn memainkan jemarinya.
"Ma-"
"Riel, tutup mulutmu. Kita tidak meminta maaf untuk yang bukan kesalahan kita." Arlyn menekan. Dia tidak akan membiarkan Riel, Abi, dan Azel mengucapkan maaf untuk hal yang bukan kesalahan mereka.
"Lebih baik Anda melupakan masalah ini, nyonya. Dan didik anakmu dengan lebih baik. Dia akan tumbuh menjadi anak yang menyebalkan." ucap Arlyn tanpa peduli. Wajahnya dipenuhi oleh ekspresi risih.
"Apa katamu?!" Wanita itu hendak menampar Arlyn. Arlyn sudah siap menghindar tapi sebuah tangan lebih dulu menahan tangan yang baru terangkat di atas bahu itu.
"Nura?" Panggilan itu menarik perhatian semua orang. Terutama si wanita yang merupakan pemilik nama.
"P- Pak Adrian?"
Mata wanita itu melebar. Pupil matanya mengecil. Sangat syok melihat kemunculan bos nya.
Adrian memasang wajah heran. "Inikah alasan ijinmu tadi?"
Adrian mengingat kehadiran Nura di ruang kerjanya. Berkata bahwa ada urusan mendesak dan dia harus meninggalkan kantor untuk sementara waktu. Adrian memberikan ijinnya. Lalu memiliki keinginan untuk menemui Arlyn dengan membawa bingkisan. Melihat kehadiran pekerja nya di tempat yang sama dengannya dalam situasi yang tidak dia duga.
Adrian melepaskan genggamannya pada tangan wanita itu. Nura terlihat panik. Dia memegang tangan yang barusan digenggam oleh Adrian.
Arlyn mengernyit. Merasa bingung dengan hal yang terjadi di depannya. Kedua orang itu saling mengenal?
Wanita itu terlihat takut. Benar-benar tidak menyangka kehadiran Adrian. Tangannya bergetar. Putranya, Raees, mengernyit dan memanggilnya bingung. "Mamah?"
Nura terperanjat dan menunduk ke arah anaknya. Dia kemudian melihat ke arah Adrian. Yang memiliki ekspresi tidak mengerti di wajahnya.
Nura merasa takut. Ketidaknyamanan memenuhi dirinya. Dia ingin pergi. Dia ingin pergi dari hadapan Adrian.
"S, saya pamit lebih dulu." Nura meraih tangan Raees dan membawanya pergi bersamanya. Tidak peduli dengan tas anaknya yang masih tertinggal di kelas. Meninggalkan keempat guru yang memiliki wajah heran juga Adrian dan Arlyn yang memiliki wajah penuh tanda tanya.
Apa yang baru saja terjadi? Arlyn tidak mampu mencerna hal yang tadi muncul di depannya.
Tapi, apapun itu. Sang pembuat masalah sudah tidak ada. Sebagai gantinya dia mengalihkan atensinya pada Riel.
"Kau bisa pulang kalau kau mau."
Melihat penampilan anak itu, tidak mungkin Riel kembali ke kelas dan belajar bersama teman-temannya seolah tidak ada yang terjadi.
Riel masih syok. Dia hanya bisa menuruti apa yang Arlyn ucapkan padanya.
"Aku akan membawa Riel pulang lebih awal." ucap Arlyn. Keempat guru itu hanya bisa mengiyakan. Keributan tadi juga berada di luar dugaan mereka.
Riel mengambil tas nya. Arlyn menitip pesan pada wali kelas Riel untuk memberikan pesan pada Azel bahwa dia akan pulang sendirian tanpa kedua adiknya seperti biasa hari ini.
Riel masih syok dan hanya berjalan mengikuti langkah Arlyn dalam diam. Abi memasang wajah cemas dan menggenggam tangan Riel. Riel hanya memberikan tolehan. Tapi dia langsung menunduk lagi.
Adrian mengendarai mobil ke rumah Arlyn. Arlyn langsung menyuruh Riel untuk membersihkan dirinya. Ketika Riel selesai mandi dan berpakaian, Azel muncul dari pintu dengan penampilan berantakan. Peluh berada di keningnya. Baju seragamnya basah oleh keringat. Dia pulang dengan berlari.
"Riel." bisiknya. Riel melihat itu dan langsung berlari pada Azel. Memeluk saudarinya dan menangis. Azel memeluk Riel. Mengelus elus kepalanya. Menenangkan adiknya. Abi yang duduk di sofa sambil menunduk melihat itu dan ikut bergabung dengan kedua saudaranya. Ketiganya saling berpelukan. Azel dan Abi sama sama memeluk Riel yang menangis.
Adrian menontoni pemandangan itu di kursi meja makan. Anak-anak itu saling ada untuk melengkapi satu sama lain. Adrian bisa melihatnya. Azel sebagai tiang penyangga. Riel sebagai pemersatu. Abi sebagai yang bungsu. Mereka adalah kakak beradik yang bisa menghadapi apapun ketika mereka bersama.
Arlyn yang duduk di seberang Adrian menghela nafas. Sudah lama tidak melihat pemandangan seperti itu. Anak-anak itu tidak pernah menemui masalah sejak tinggal bersamanya. Hari ini berada di luar dugaan. Tapi, selama ketiga anak itu bersama, mereka akan baik-baik saja.
Arlyn mengharapkan itu di dalam hatinya.
04/06/2022
Measly033