"Paman! Lihat ini!"
"Paman! Lihat!"
"Paman!"
Siang hari di waktu pekan diisi oleh panggilan menyeru Riel.
Adrian berkunjung seperti biasa. Terhenyak mendapatkan sambutan dari Riel, Azel, dan bahkan Abi.
Mereka tau Adrian akan datang. Dan langsung menyambut membukakan pintu tepat ketika Adrian baru hendak menekan tombol bel.
Yang membuka pintu adalah Riel. Azel dan Abi berdiri di belakangnya. Adrian tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Dia melihat ke arah Abi. Anak itu memandanginya. Masih memiliki sedikit waspada tapi kali ini anak itu menerima kedatangannya.
Adrian tidak tau harus bersikap seperti apa. Riel menarik tangannya. Menyuruhnya duduk di sofa. Azel dan Abi duduk bersamanya. Abi duduk di sebelah Azel tapi wajahnya tertunduk dan kedua jemari tangannya saling bertaut. Dimainkan dengan satu sama lain.
Azel menontoni adiknya dari kejauhan. Adiknya yang satu lagi tengah menghampiri meja makan. Mengambil semua kertas dan peralatan menggambar yang ada di atasnya. Membawanya ke pelukannya. Lalu dia bawa ke arah ruang tamu. Meletakkan semua benda di tangannya di atas meja ruang tamu. Di hadapan Adrian.
"Paman! Lihat ini!" Lalu dia mulai menunjukkan bermacam-macam hasil gambar pada Adrian. Dia melakukannya berkali kali. Dan setiap dia melakukannya dia akan berseru memanggil pemuda itu. Mengundang rasa heran pada Adrian tapi dia tetap menuruti semua ucapan Riel. Dia berusaha sebaik mungkin untuk bisa mengakrabkan diri dengan ketiga anak itu.
Dia sudah memutuskan. Dia akan berusaha membuat ketiga anak Arlyn menerimanya. Setelah itu, barulah dia akan menyampaikan perasaannya pada Arlyn dengan cara yang lebih formal.
Tampaknya keributan yang diakibatkan oleh Riel membangunkan seseorang. Arlyn keluar dari kamarnya. Dengan wajah datar namun sedikit memancarkan kekesalan.
"Umi!" seru Riel. Menunjukkan pada Arlyn bahwa Adrian sudah tiba di rumah mereka.
Arlyn di sisi lain teringat dengan seruan Abi waktu lalu.
"Kami sudah sepakat. Umi harus menikah dengan paman Adrian!"
Benarkah itu lah yang mereka inginkan? Atau ada hal lain?
Arlyn memicingkan matanya curiga.
Dia mengabaikan kehadiran Adrian. Melakukan aktivitasnya seperti biasa. Mengisi air ke dalam gelas. Mendudukkan diri di kursi meja makan. Meminum air dengan pikiran kosong.
Azel dan Abi melihat bagaimana Arlyn bersikap seperti biasa. Dia tidak menanggapi hal yang sedang mereka lakukan.
Di malam menuju hari senin itu, ketiga anak dengan umur rata-rata sembilan tahun itu melakukan perundingan di kamar mereka. Mereka menggunakan ranjang Abi yang berada di tengah.
Sebelumnya Abi sedikit kecewa pada Azel yang ternyata mendukung Adrian untuk memiliki hubungan dengan Arlyn. Namun kemudian dia mendengar apa yang selanjutnya kakaknya itu katakan.
Arlyn berhak memiliki kebahagiaannya sendiri. Abi tidak seharusnya memaksakan kehendaknya pada Arlyn.
Jika Arlyn memang ingin memiliki hubungan dengan paman Adrian, maka Abi harus menerimanya.
Azel menontoni Abi yang duduk di sampingnya. Riel menyadari tatapan Azel dan ikut melihat ke arah anak itu.
"Abi." panggil Azel.
Abi mengangkat wajahnya. Membalas tatapan Azel.
"Kau tidak apa-apa?"
Abi terdiam sebentar sebelum mengangguk.
"Hm."
Riel di sisi lain bertanya. "Jadi umi akan menikah dengan paman Adrian?"
Azel tidak merespon sebelum menggeleng.
"Kita tidak tau. Tapi," dia menjeda. "Kita akan memberi kebebasan pada umi. Kita tidak boleh menghambatnya. Jika umi ingin menikah, maka kita harus siap untuk kembali ke panti."
Riel terdiam.
"Panti?" ulangnya.
Azel mengangguk.
Abi kembali menunduk. Memandangi kedua jemarinya yang berada di atas kedua kakinya yang bersila.
Arlyn memang sudah berjanji untuk selalu bersama mereka. Dia sudah berjanji bahwa mereka bertiga akan selalu tinggal bersamanya. Arlyn tidak pernah melanggar janjinya.
Tapi jika suatu saat Arlyn berubah pikiran,
Maka Abi akan menerimanya. Bersama Riel dan Azel. Mereka akan berpisah dengan Arlyn dan kembali ke panti asuhan mereka.
Panti asuhan dimana mereka mengalami kekerasan dari penyelenggara tempat itu.
Riel terdiam namun kemudian dia menggeleng.
"Jika memang begitu, maka begitulah."
Itu adalah ucapan yang pernah Arlyn ucapkan.
Kala itu Arlyn membawa mereka bertiga ke mall. Arlyn membeli kue dari sebuah toko. Karena Riel tampak begitu penasaran pada kue di etalase toko itu.
Arlyn membeli kue itu. Sang penjaga kasir memasukkan kue ke dalam kantung kertas. Arlyn menerima kantung itu dan menyerahkannya pada Riel.
Berkata bahwa dia tidak boleh memakannya sembari berjalan. Jadi Riel memeluk kantung berisi kue itu.
Arlyn menyuruh mereka bertiga untuk selalu fokus pada kemana Arlyn pergi. Memberitahu mereka bahwa mereka tidak boleh terpisah darinya.
Tapi saat itu perhatian Riel tertarik pada sebuah mainan. Rasa penasaran membuat langkahnya bergerak ke arah benda itu.
Dia ingin memegangnya. Dia ingin memegangnya dengan dua tangannya. Dia meletakkan kantung kue miliknya di sembarang tempat. Meneliti mainan di tangannya dengan begitu lekat. Hingga dia mendapat pegangan tangan seseorang di bahunya.
Itu Arlyn. Dia memasang wajah masam.
Riel tersadar dan langsung meminta maaf.
"U- umi." Dia berucap panik. "A- aku minta maaf."
Arlyn masih merasa kesal. Keningnya berkerut. Tapi dia kemudian menghela nafasnya.
"Di mana kue milikmu?"
"Hm?"
Riel melihat ke arah tangannya. Melihat kantung berisi kue itu sudah berubah menjadi sebuah mainan yang tadi menarik perhatiannya. Dia menoleh ke sekeliling. Tidak menemukan kantung berwarna cokelat itu.
"T- tadi,"
Riel ingin bilang dia meletakkannya di suatu tempat, tapi kemudian dia lupa dimana dia meletakkannya.
Di mana? Di sebuah rak? Di lantai? Atau di mana?
Dia tidak tau. Dia meletakkan kembali mainan di tangannya ke tempat sebelumnya. Dia menyatukan kedua tangannya. Membuat gerakan gugup. "A- aku tidak tau. Aku, aku lupa di mana aku menaruhnya."
Riel merasa panik. Dia takut Arlyn marah. Ini adalah pertama kalinya Arlyn mengajaknya dan Azel juga Abi ke mall. Jika Riel membuat Arlyn marah, Riel takut Arlyn tidak akan membiarkan mereka ikut ke mall bersamanya lagi.
Dia mendongak untuk melihat wajah Arlyn takut-takut. Arlyn memiliki wajah masam. Namun kemudian dia menghela nafas.
"Jika memang sudah terjadi, maka itulah yang terjadi."
Kata-kata Arlyn waktu itu sangat membekas di benaknya. Dan akhirnya Riel mengucapkannya ulang setelah mengubah kata-katanya sedikit.
Jika memang Arlyn ingin menikah dengan paman Adrian lalu dia dan juga kedua saudaranya harus kembali tinggal di panti, maka itulah yang harus terjadi.
Di malam hari itu, ketiganya sepakat. Bahwa mereka akan membantu Adrian mendekati Arlyn. Mereka bertiga akan mendorong Arlyn untuk menikah dengan Adrian. Dan akhirnya perempuan itu, umi mereka, akan memiliki kebahagiaannya sendiri.
Seperti yang selalu Arlyn ucapkan pada mereka sebelumnya.
"Setiap orang memiliki kebahagiaannya sendiri. Dan orang itu harus memperjuangkannya sendiri." Arlyn berkata. "Lakukan apa yang kalian suka. Jangan biarkan siapapun menghambat kalian."
Azel, Riel dan Abi tidak mau menjadi penghambat Arlyn memiliki kebahagiaannya.
Umi mereka terlalu baik. Dia sudah melakukan banyak hal untuk mereka bertiga. Kali ini saatnya untuk mereka untuk membalas kebaikan Arlyn.
Berbalas budi kepada umi mereka. Orang yang sudah membawa mereka pergi dari penyelenggara panti yang menyakiti mereka.
Dengan takdir yang mereka miliki, mereka tumbuh lebih dewasa dari anak-anak seumuran mereka kebanyakan. Mereka sudah tahu banyak hal. Mereka sudah mengerti banyak hal. Termasuk mana yang baik dan mana yang tidak.
Arlyn juga sudah mengajarkan banyak pada mereka. Sebagian besar hal yang mereka tau mereka dapatkan dari Arlyn.
Semua nasihat. Semua kata-kata penyemangat. Mungkin Arlyn tidak menyadari itu, tapi dia sudah memberi dampak besar kepada ketiga anak itu. Berkatnya, mereka bertiga tumbuh menjadi anak yang berani. Jika memang mereka harus kembali ke panti, maka mereka akan kembali. Membuktikan pada Arlyn bahwa mereka sudah menjadi anak-anak yang berani sesuai keinginan perempuan itu.
Buah dari kesepakatan itu adalah apa yang mereka lakukan di hari kedatangan Adrian ini.
Mereka punya rencana.
Riel menoleh kepada Azel. Mendapat anggukan dari anak perempuan itu.
Riel kemudian menoleh pada Abi. Anak itu terperanjat. Dia menundukkan kepalanya. Memainkan jemarinya. Sebelum dengan gerakan kaku mengangguk.
Riel kemudian mengangguk kepada dirinya sendiri. Menoleh ke arah Adrian. Bertemu tatap dengan pemuda itu yang sedari tadi memang sudah memperhatikan gerak gerik Riel.
Adrian merasa, tingkah ketiga anak Arlyn adalah hasil dari suatu perencanaan. Anak-anak itu merencanakan sesuatu, dan melibatkan Adrian di dalamnya.
Adrian menyadari Riel yang menatap meminta persetujuan pada Azel dan Abi. Begitu dia mendapat persetujuannya maka dia akan menoleh pada Adrian. Membuat keduanya langsung berbagi tatapan rapat ketika Riel mengalihkan pandangannya pada pemuda itu.
"Paman! Ayo bermain di taman!" Riel berseru pada Adrian. Memandang pemuda itu lekat. Matanya berbinar. Jika itu Leta pasti Riel akan langsung mendapat cubitan gemas di pipinya.
Dia memandang Riel kikuk. Kemudian menoleh ke arah Azel dan Abi.
Azel memandangnya dengan wajah datar. Tapi Adrian merasakan keteguhan hati dari kedua matanya. Sedangkan Abi, dia masih menundukkan kepala. Tapi matanya melirik ke arah Adrian.
Ketika Riel bilang untuk main ke taman, Adrian punya firasat bahwa mereka bukan benar-benar akan bermain. Tapi akan ada sesuatu yang disampaikan ketiga anak itu, atau setidaknya Riel, kepadanya.
Adrian melirik Arlyn. Yang tampak tidak acuh pada apa yang terjadi di ruang tamu. Dia hanya meminum air di gelas miliknya dengan sangat pelan dan dengan pandangan mata kosong.
Adrian menelan ludahnya. Dia mengembalikan pandangannya pada Riel. Kembali melihat senyum lebar dan mata berbinar itu.
Adrian meyakinkan dirinya, dan mengangguk.
Riel meraih tangannya. Menariknya untuk pergi ke pintu belakang menuju taman. Azel dan Abi mengikuti keduanya dari belakang.
Adrian melihat ke arah Arlyn. Tidak mendapat reaksi apapun dari perempuan itu. Dia hanya duduk dengan pikirannya sendiri.
Riel membawanya ke luar pintu. Kemudian anak itu menutup pintu. Seolah dia benar-benar tidak ingin Arlyn untuk mendengar apa yang akan dibicarakannya bersama Adrian, juga kedua saudaranya.
"Ayo paman!" Riel kembali menarik tangan Adrian. Dia membawa Adrian ke sisi luar taman. Lokasi paling jauh dari pintu belakang. Dari Arlyn.
"Paman duduklah." ucap Riel.
Adrian merasakan dejavu. Kali pertama, dan terakhir dia ke taman tempatnya berada sekarang adalah ketika Abi mengajaknya untuk bicara dua mata dengannya.
Ngomong-ngomong tentang anak itu, dia memperhatikan Adrian dengan wajah datar. Adrian penasaran dengan hal apa yang akan disampaikan oleh Riel.
Apakah ucapan untuk Adrian berhenti menemui Arlyn? Ucapan untuk Adrian tidak lagi mengunjungi rumah mereka dan mengganggu mereka?
Adrian menelan ludahnya. Karena jika memang begitu, dia tidak akan bisa menuruti permintaan anak-anak itu.
Karena dia juga sudah memutuskan. Dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia akan terus berusaha menyenangkan hati anak-anak itu agar mereka menerimanya dan merestui dirinya dengan Arlyn.
Adrian mendudukkan dirinya. Dan ketiga anak itu ikut mendudukkan diri mereka. Yang terakhir melakukannya adalah Abi. Dia masih terlihat menolak untuk menjalankan aksi yang sebelumnya sudah tersepakati antara kedua saudaranya.
Dia sudah menyetujui keputusan Azel dan Riel tapi keengganan dan kepenolakan masih ada di hatinya. Dia duduk dan memperhatikan Adrian dengan wajah datar. Adrian menerima itu hanya bisa menyimpan kekikukan di hatinya.
"Paman, ada yang ingin kami sampaikan." ucap Riel. Matanya dengan penuh keseriusan memandang Adrian tepat di mata.
"Hm." Adrian juga sudah mempersiapkan dirinya. Hanya tinggal menunggu waktu untuk Riel memberitahukan maksud mengajaknya ke sana. Yang Adrian rasa sudah bisa dia tebak apa.
Berisi penolakan untuknya bersama Arlyn.
Namun yang didengarnya kemudian bukanlah hal yang ada di dugaannya.
"Menikahlah dengan umi!" seru Riel. Sangat percaya diri bahwa Arlyn tidak akan bisa mendengar suaranya.
Adrian kehilangan kemampuan untuk bereaksi di tempatnya. Bibirnya terbuka. Matanya sedikit melebar. Keterkejutan tergambar dengan jelas di wajahnya.
Dia ragu dengan pendengarannya. Mungkinkah dia berhalusinasi? Apakah Riel baru saja mengatakan kepadanya untuk menikah dengan Arlyn?
"Ya?" Adrian mengeluarkan tanda tanya. Berusaha memastikan bahwa dia tidak hanya sedang berhalusinasi.
"Menikahlah dengan umi." Riel mengulang. Lebih tenang kali ini. Dan justru penuh kekhusyukan. Seolah dia benar-benar berharap untuk Adrian menikahi uminya. "Tolong buat umi bahagia. Umi sudah memberikan banyak hal untuk kami. Kami ingin membalas budi. Tapi kami belum mampu. Jadi, sebagai gantinya, kami harap paman akan menggantikan kami membahagiakan umi. Bahkan jika kami kembali ke panti."
Riel tidak mengatakan kalimat terakhir dengan jelas. Membuat Adrian tidak berhasil menangkap apa yang dia katakan. Tapi Azel dan Abi bisa. Dan mereka setuju dengan yang diucapkan Riel.
Keputusan mereka sudah bulat. Keberanian sudah muncul di hati mereka. Mereka akan memberanikan diri mereka.
Adrian terdiam mendengar apa yang Riel ucapkan padanya. Di dalam dirinya yang sesungguhnya dia terdiam pada kedewasaan Riel. Juga Azel dan Abi. Mereka adalah anak yang berani. Anak yang berani menyampaikan isi hati dan pikiran mereka. Mereka tidak malu atau takut pada orang dewasa. Mereka berani bicara dan memiliki pemilihan kata yang mengejutkan Adrian. Mereka adalah anak-anak pintar. Tidak sewajarnya anak-anak seumuran mereka bisa bicara dengan kata-kata sulit. Nyatanya mereka begitu karena mereka sering menonton televisi tanpa sepengetahuan Arlyn.
Adrian menyadarkan dirinya. "Kalian, kalian sudah menjadi kebahagiaan Arlyn. Tidak ada keperluan bagi kalian untuk membalas budi. Aku yakin umi kalian merawat kalian dengan tulus. Arlyn tidak akan mengharapkan apapun dari kalian."
Adrian memberitahu. Itulah yang dia yakini. Arlyn tidak akan senang jika dia tahu ketiga anak di depannya memiliki pemikiran seperti itu. Di saat yang Arlyn inginkan hanyalah kebahagiaan anak-anak itu dan untuk mereka tumbuh dewasa dengan baik.
Arlyn yang Adrian tau adalah sosok orangtua seperti itu. Adrian bisa mengetahuinya. Dari bagaimana perempuan itu melarang Riel untuk meminta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahannya, dari bagaimana Arlyn selalu bilang dia malas mengurus ketiga anak di rumahnya tapi pada akhirnya selalu memberikan yang terbaik untuk mereka, lebih dari untuk dirinya sendiri.
Itulah Arlyn. Itulah Arlyn yang Adrian cintai.
"Aku, belum punya keputusan yang jelas untuk menikahi Arlyn." Karena dia sudah merasa cukup dengan melihat sosoknya setiap kali dirinya berkunjung. "Dan keputusan masih ada di tangan Arlyn apakah dia akan menerimaku atau tidak." Sejujurnya Adrian ragu Arlyn akan menerimanya. Mempertimbangkan kepribadian perempuan itu.
Dia mungkin akan menerima kehadiran Adrian di rumahnya bersama ketiga anaknya. Dia mungkin akan menerima pemberian Adrian kepadanya. Tapi dia belum tentu akan menerima ajakan Adrian untuk menikah dengannya.
Di siang hari itu, sebuah kesepakatan tercipta antara Adrian dan ketiga anak yang tengah duduk bersamanya. Atau lebih tepatnya Adrian dengan Riel yang juga mewakili kedua saudaranya.
04/06/2022
Measly033