"Riel, beritahu aku."
Suara Arlyn terdengar di tengah dirinya mengawasi ketiga anak di dalam rumahnya menggambar di ruang tamu. Arlyn berbaring miring di atas sofa dengan kepala bersandar pada tangan.
Dia melihat apa yang tengah ketiga anak yang mengelilingi meja di depannya itu gambar.
Seorang perempuan. Dengan gaun. Seorang pria, dengan tuksedo. Tiga anak kecil menonton dari samping. Dan seorang wanita dengan garis kerutan di wajah. Ketiga anak itu, salah satunya memiliki rambut panjang sebahu dan mengenakan gaun mungil. Dua anak lainnya memiliki rambut pendek dan mengenakan baju kemeja dengan celana pendek selutut. Ketiganya membawa keranjang berisi sesuatu. Yang kalau dilihat dari varian warna yang digunakan, menggambarkan tumpukan kelopak bunga.
Wanita yang memiliki garis wajah juga membawa keranjang serupa. Sedangkan perempuan yang berdiri di samping pria dengan tuksedo membawa buket bunga di tangannya. Tangan satunya dilingkarkan di tangan pria di sisinya.
Perempuan itu, berambut lurus sedikit melewati bahu. Dengan ekspresi wajah datar.
Abi melihat apa yang digambar Azel, lalu menirunya. Membuat sebuah gerbang bunga yang mengatapi dua orang yang ada di tengah. Riel menyadari itu dan akhirnya melakukan hal yang sama.
Yang mereka gambar adalah sebuah latar pernikahan. Yang berisikan enam orang di dalamnya. Gambar yang dibuat Riel dan Abi masih hanya goresan garis dan pengaplikasian warna. Seseorang tidak mampu dengan mudah menangkap apa isi gambar mereka—kecuali orang itu tahu apa yang tengah ada di pikiran mereka.
Tapi berbeda dengan milik Azel. Gambarnya belum selesai, tapi Arlyn bisa melihatnya.
Arlyn, dengan pria yang wajahnya familiar dengan dirinya.
Siapa lagi kalau bukan Adrian. Azel mengerahkan semua kemampuan menggambarnya dalam menggambar dua wajah itu. Sedangkan yang lainnya masih hanya berupa sketsa.
Arlyn merasakan firasat buruk. Apa yang digambar oleh ketiga anak itu, pasti memiliki makna.
Sesuatu yang mereka ingin untuk terjadi.
Berdirinya Arlyn di sisi seseorang. Dan orang itu adalah Adrian.
Arlyn mengerutkan keningnya. Tidak begitu menyukai pikiran itu. "Riel," dia bicara. "Beritahu aku."
"Hm?" Riel menolehkan wajahnya ke belakang demi bisa melihat wajah perempuan dewasa yang memanggilnya.
"Apa, umi?" tanyanya dengan wajah bertanya-tanya.
Arlyn semakin mengerutkan kening. "Apa yang tengah kalian gambar?"
"Oh, ini?" Riel melirik kertas gambarnya.
"Rahasia," katanya. Melanjutkan gambarnya. Mengeluarkan tawa kecil. Arlyn merasa kesal. Dia melihat ke arah Azel dan Abi. Tapi tau dirinya akan mendapat respon serupa.
Kedua anak itu tidak menunjukkan reaksi sama sekali. Azel tetap pada gambar miliknya. Abi masih menggoreskan pewarna dengan pikiran setengah melamun.
Arlyn bisa melihat itu. Abi menggambar sembari melamun. Tapi tetap menggambar apa yang ingin dia gambar.
Arlyn dengan gaun yang cantik. Yang desainnya dibuat oleh Abi sendiri. Tangan Arlyn di dalam gambar memegang buket bunga yang besar. Di gambar itu, Abi membuat sosok Arlyn sangat cantik. Dia memusatkan perhatiannya pada gambar Arlyn di atas kertas. Menambahkan detail desain pakaian sesuai keinginannya. Rumbai di bagian rok gaun. Lipatan yang menambahkan keindahan. Titik-titik glitter di seluruh bagian gaun. Menunjukkan bahwa dia ingin Arlyn mengenakan pakaian seperti itu di hari pernikahannya.
Arlyn mendelikkan matanya. Membuang pandangan dari gambar yang dibuat oleh anak-anak itu.
Keesokan harinya adalah hari di mana Adrian akan datang seperti yang sudah seharusnya. Dia datang dengan kue. Dan tiga buket bunga.
Yang dua berukuran besar sedangkan yang satu berukuran kecil. Yang kecil diberikan kepada Azel, sedangkan yang besar diberikan kepada Leta dan Arlyn.
"Ya ampun mas... gak nyangka tua begini masih bakal dikasih bunga." Leta menepuk-nepuk lengan Adrian. Menertawai kekonyolan pemuda itu. Tapi juga merasa senang di saat yang bersamaan. Sudah tua pun, bukan berarti dia akan kehilangan kesukaannya diberikan bunga oleh seseorang juga. Dari laki-laki tampan seperti Adrian, apalagi.
Adrian memberi senyum kecil canggung. Nyatanya dia merasa bahwa Leta juga berhak menerima bunga darinya. Dia sudah membantu Adrian dalam mendekatkan diri kepada Arlyn. Adrian menyadari apa yang senantiasa dilakukan wanita itu dan Adrian ingin berterimakasih.
Dia menoleh pada Arlyn. Yang juga sudah menerima bunga darinya. Adrian memberikannya dengan malu-malu. Arlyn yang sedang duduk di kursi meja makan melirikkan matanya pada buket di tangan Adrian, ke wajah Adrian, lalu kembali ke buket bunga. Dengan wajah berpaling mengambil bunga di tangan Adrian. Meletakkannya di atas paha, menyenderkan dagu pada tangannya yang dia letakkan di atas meja.
Ada selang beberapa detik keheningan. Adrian tidak membawa dirinya pergi dari hadapan Arlyn yang menunjukkan sikap acuh.
Adrian memberanikan dirinya.
"Arlyn," panggilnya.
Arlyn yang mendengar namanya disebut menaikkan alisnya sedikit. Melirikkan matanya ke arah Adrian yang memiliki warna merah di pinggiran telinganya.
Arlyn menaikkan alisnya. Memberi pertanyaan pada Adrian 'ada apa'.
Adrian membawa telapak tangannya ke belakang kepala. Memalingkan pandangannya. Tidak sanggup menahan rasa malunya. "Apakah, aku bisa membawamu ke suatu tempat besok?"
Arlyn menaikkan alisnya. "Suatu tempat?"
"Hm." Adrian mengangguk. "Ibu Leta, Azel Riel dan Abi juga bisa ikut."
"Benarkah?! Kemana kita akan pergi?!!" Riel yang mendengar ucapan Adrian berseru bertanya dari ruang tamu.
Adrian membalikkan tubuhnya sedikit. "Aku ingin mengajak kalian ke sebuah pantai. Kalau boleh, kita akan menginap selama semalam." Dia berucap dengan senyum gugup kecil.
"Menginap?!!! Aku mau!! Aku mau menginap!! Aku belum pernah pergi dengan menginap!!" Riel menunjukkan antusiasme. Abi yang duduk di sampingnya sempat murung tapi begitu mendengar ucapan Adrian dirinya menjadi ingin tahu. Sama seperti Riel, dia belum pernah menginap. Lebih tepatnya, Arlyn tidak pernah membawa mereka bepergian. Karena itu merepotkan, dan Arlyn tidak menyukai ongkos yang akan perlu dirinya keluarkan.
Azel pun—meski ekspresi datarnya tidak banyak berubah—, tapi dari dagunya yang terangkat dan matanya yang terlihat ingin tau—, semua bisa lihat bahwa dia memiliki keinginan yang sama dengan kedua adiknya.
Leta membulatkan matanya di tempatnya. "Sungguh?? Mas mau ajak saya juga??" Dirinya ragu dengan pendengarannya.
Adrian tersenyum kecil. "Iya, ibu. Saya akan mengajak ibu juga."
"Oh ya ampun," Leta membawa telapak tangannya ke dada. Begitu syok dengan apa yang didengarnya. "Ibu tua ini tidak menyangka. Terimakasih Mas Adrian..." melasnya. Merasa senang dirinya akan jalan-jalan tidak lama lagi. Dengan seseorang seperti Adrian, apalagi. Yang sudah bisa dipastikan akan menjadi yang mengurus segala kebutuhan terkait ongkos kepergian.
Leta sudah tidak pernah berlibur—tidak pernah berjalan-jalan. Jika dia pergi bersama Adrian, maka itu akan menjadi liburan pertamanya setelah enam tahun. Leta merasa tidak sabar.
Arlyn terdiam di tempatnya.
Pantai. Hamparan pasir dan deburan ombak. Biru air laut, dan kilauan cahaya dari langit. Hembusan udara, dan kepuasan hati.
Terakhir dirinya ke pantai adalah ketika kedua orangtuanya masih hidup. Waktu itu umurnya delapan belas tahun. Dalam delapan belas tahun waktu hidupnya, dia sudah sering mengunjungi pantai. Karena kedua orangtuanya juga menyukai salah satu lokasi wisata itu.
Setiap waktu libur. Dia dan kedua orangtuanya akan pergi ke pantai. Menikmati pemandangannya di kala gelap. Arlyn duduk bersama kedua orang tuanya di atas tikar. Menontoni deburan ombak di waktu malam.
Itu adalah kedamaian yang Arlyn sukai. Awal mula sifat pemalasnya muncul.
Dirinya yang kehilangan orangtuanya sudah tidak pernah bisa merasakan kedamaian itu lagi. Setiap uang yang dia punya akan dia gunakan untuk toko yang dia buka di kala umurnya 19 tahun. Juga untuk membayar biaya hidup, dan pajak tempat tinggal.
Dia tidak ingin meninggalkan rumahnya. Rumah kedua orangtuanya dan dirinya. Dia akan mempertahankan bangunan tempat tinggal itu selama yang dia bisa.
Menjual barang-barang di dalamnya. Mempersedikit furnitur yang ada. Membuat rumahnya sekosong yang dia bisa.
Dia menemukan cara untuk bertahan. Untuk terus hidup. Menghadapi segala takdir yang menemuinya.
Ketika dia membawa Abi Riel dan Azel ke rumahnya, semua pengeluaran menjadi semakin banyak. Hal itu membuat Arlyn harus benar-benar membuat perhitungan akan pengeluarannya.
Juga membuat Arlyn tidak pernah lagi mendatangi deburan ombak dan biru air laut itu.
Keinginan untuk pergi membuncah di dalam dirinya. Dia melepaskan dagunya dari tangannya. Menoleh memandang Adrian. "Kau akan membawaku ke pantai?"
Adrian terperanjat mendengar suara Arlyn. Menoleh ke arahnya. Memasang senyum kikuk. "Ya. Apakah kau tidak mau?"
"Bukannya tidak mau." Arlyn memalingkan wajahnya.
Diam-diam dia tidak sabar untuk pergi ke tempat itu. Dirinya ingin merasakan kedamaian yang sudah lama tidak dirinya rasakan lagi itu. Tapi dia punya kekhawatiran Adrian akan melakukan sesuatu yang dirinya tidak akan dirinya sukai.
Bukannya dia takut. Dia hanya merasa dirinya akan memiliki ketidaktahuan akan sikap seperti apa yang harus dia punya jika Adrian melakukan sesuatu yang ada di pikirannya.
Tapi karena dia bilang dia juga akan membawa Abi Riel dan Azel juga Leta dalam perjalanan mereka, Arlyn merasa itu bukan masalah. Dia pikir karena mereka akan pergi bersama-sama, pemuda itu tidak akan punya kesempatan untuk melakukan sesuatu yang tidak akan Arlyn sukai.
Dia bertanya. "Kapan kau akan membawaku pergi?"
Adrian mengerjap. Tidak menyangka Arlyn akan menerima ajakannya. "Um, kita bisa pergi besok."
Hari ini adalah hari jumat. Mereka akan punya waktu dua hari sebelum semua orang punya urusan masing-masing di hari senin.
Arlyn terdiam sebelum mengangguk. "Baiklah."
Adrian terperanjat. Tidak menyangka. "Benarkah? Kau mau?"
Arlyn bergumam. "Hm. Sudah lama aku tidak ke tempat itu."
Sudah lama, yaitu enam tahun. Enam tahun dia menghabiskan hidupnya di dalam kota. Keluar dari rumah hanya untuk ke toko. Sebelum kemudian ada Azel Riel dan Abi. Membuat tempat yang dia tuju bertambah. Sekolah, mall, dan rumah teman Azel. Tempat ketiga anak itu menginap. "Jam berapa kita akan berangkat?"
"Hm, pukul sembilan," jawab Adrian setelah berpikir sejenak.
Adrian tau Arlyn punya jam tidur yang lebih panjang dari orang-orang kebanyakan. Dia memilih waktu dimana Arlyn biasa memulai aktivitasnya.
"Hm. Baiklah kalau begitu." Arlyn menjawab dan pergi dari tempatnya. Terdiam sebentar. Sebelum membawa bunga dari Adrian masuk ke dalam kamarnya.
Adrian terdiam di tempatnya. Dia merasa sesuatu meledak-ledak di dalam dadanya.
Arlyn menerima bunga darinya. Arlyn menerima ajakan perginya.
Adrian masih terpana dan Leta yang duduk di sofa bersama Riel Abi dan Azel menyadari itu sebelum kemudian tersenyum.
Memiliki rencana di dalam kepalanya tentang sesuatu yang akan dirinya lakukan di tempat tujuan mereka besok.
***
Enam manusia berkumpul di samping sebuah mobil. Setiap dari mereka membawa tas. Salah satu di antara mereka membuka bagasi mobil. Memasukkan beberapa barang ke dalamnya. Semua tas disimpan di dalam bagasi dan kursi penumpang hanya akan diisi dengan manusia tanpa barang bawaan mengganggu mereka.
"Ibu duduklah di depan," ucap Arlyn. Berencana akan duduk bersama ketiga anak asuhnya di belakang. Tapi Leta justru menggeleng.
"Mba Arlyn duduk di depan temenin mas Adrian," ucapnya. Tersenyum lebar.
Arlyn menaikkan alisnya.
Kenapa harus aku?
Dia baru akan mengucapkan sesuatu lagi tapi Leta lebih dulu membuka pintu mobil dan mendorong Arlyn masuk. Mengundang kebingungan dari perempuan itu.
Abi ingin mengucapkan sesuatu tapi Leta menutup mulutnya.
Awalnya Abi mau meminta Arlyn untuk duduk bersamanya. Namun kemudian dia teringat sesuatu.
Umi, akan bersama Paman Adrian.
Kemurungan kembali menyerang anak itu. Dirinya hanya bisa menurut dengan pandangan mata kosong ketika Leta mengajaknya untuk masuk ke dalam mobil. Disusul oleh Riel dan Azel. Adrian menutup pintu para penumpang, sebelum kemudian masuk ke pintu penyetir.
"Kita berangkat sekarang," ujarnya dengan senyum kecil.
"Ayo!" Riel berseru semangat di sebelah Azel.
Adrian melirik Arlyn. Tidak mendapat respon dari perempuan itu. Arlyn hanya diam di tempat duduknya dengan pandangan mata ke arah jalan.
Leta melihat itu dan memasang senyum licik tanpa disadari siapapun.
Perjalanan memakan waktu yang cukup lama. Di jam dua belas Riel mengeluh lapar. Membuat Adrian memberhentikan mobil mereka si sebuah tempat makan.
Itu adalah tempat makan sunda. Riel yang belum pernah makan di luar langsung memiliki mata berbinar.
Tempat makan di depannya terlihat sangat menarik. Ini pertama kalinya dia melihat bangunan seperti itu. Bangunan dari batang pohon bambu. Dengan sekat berupa anyaman rotan.
Mata Riel berbinar-binar. Begitu juga dengan Abi dan Azel. Leta melihat itu dan mengeluarkan kekehan miris. Anak-anak yang malang. Arlyn tidak pernah membawa mereka ke tempat seperti tempat mereka tengah berada sekarang. Tentu apa yang ada di depan mereka menarik perhatian yang besar dari ketiga anak itu.
"Kalian cepatlah masuk." Suara Arlyn terdengar. Dia dan Adrian sudah lebih dulu masuk ke bangunan tempat makan beratapkan kayu dan serabut itu.
Riel terperanjat dan langsung berlari ke arah Arlyn. Menontoni semua yang ada di sekelilingnya dengan mata dan mulut terbuka. Abi memegang kain celana pakaian Arlyn. Tidak ingin dirinya terpisah dari perempuan itu.
Mereka dibawa ke sebuah saung oleh seorang pelayan perempuan begitu Adrian selesai membuat reservasi.
"Kalian pesanlah makanan yang kalian mau," ucap Adrian dengan senyum kecil begitu semua orang duduk mengelilingi meja. Leta sengaja membuat Arlyn duduk di sebelah Adrian. Riel duduk di sebelah pemuda itu juga. Abi memaksakan dirinya untuk duduk dekat dengan Arlyn tanpa Leta bisa mencegahnya. Leta mendudukkan dirinya di sebelah Abi sedangkan Azel duduk bersama Riel. Membiarkan salah satu sisi meja berbentuk persegi itu kosong.
Riel membuka buku tipis berlapis kulit yang ada di atas meja karena rasa ingin tau. Terkejut melihat barisan gambar makanan yang ada di dalamnya.
"U- Umi, a- aku mau ini..." ucapnya memelas.
Arlyn yang mendengar itu berwajah masam. "Jangan minta padaku. Minta pada Paman Adrian."
Riel mengalihkan arah pandangannya. "Paman. Boleh?" mohonnya.
Adrian sempat terdiam karena mendengar ucapan Arlyn tapi kemudian tersenyum. "Pesan yang kamu mau, Riel."
Wajah Riel langsung berubah cerah.
Dia sudah biasa hanya dibolehkan memesan satu oleh Arlyn. Jadi sekarang pun dia hanya memilih satu. Setelah melewati banyak sekali pertimbangan.
Azel memesan satu. Leta berkata bahwa mereka bisa memesan yang berbentuk paket. "Agar lebih murah", katanya.
Adrian terkekeh. Merasa hatinya menghangat melihat Leta yang tampak senang.
Arlyn mamandangi barisan gambar makanan di dalam buku menu. Juga deret angka di sampingnya. Menghela nafas. Mendelikkan matanya pada Adrian.
Dasar orang yang ber-uang banyak.
Adrian menyadari delikan mata itu dan merasa gugup.
Apakah aku melakukan kesalahan?
Abi menarik kain celana Arlyn. "Umi. Umi mau pesan apa?"
Arlyn menggerutu. "Aku tidak memesan apapun. Kau saja." Dia menggeser buku menu di tangannya pada Abi.
Abi berwajah bingung. Tapi tetap menurut. Diam-diam memiliki antusiasme dalam memesan.
Dia belum pernah ke tempat seperti dimana dirinya tengah berada sekarang. Makanan-makanan yang ada di dalam buku menu itu terlihat tidak nyata untuk ada.
Makanan seperti ini ada?
Rasa ingin tahu memenuhi Abi. Rasanya dia ingin mencoba semuanya. Tapi dia tahu ajaran Arlyn. Untuk hanya memilih satu. Dia tidak boleh rakus.
Abi memilih satu. Sedangkan Adrian di sisi lain terdiam melihat respon Arlyn.
Apakah Arlyn tidak suka?
Adrian mulai murung.
Arlyn menyadari itu dan mengerutkan kening.
Ada apa dengannya tiba-tiba?
Pemuda di sampingnya itu murung untuk alasan yang tidak dirinya ketahui.
Waktu menunggu makanan tiba diisi dengan Riel yang terus-menerus bertanya pada Arlyn akan makanan yang ada di dalam menu.
"Umi! Nasi liwet itu apa?"
"Umi! Ikan nila, berarti warnanya ungu??"
"Umi kenapa yang ini mahal sekali?? Ini, lo- lobter- lobster? Apa ini? Udang berevolusi menjadi kepiting?"
"Umi!"
Riel terus bertanya hingga wajah Arlyn menggelap. Tapi dia tetap menjawab semua pertanyaan Riel. Menjawab semua keingintahuan anak itu.
Rasa ingin tahu anak seumuran Riel Abi dan Azel akan berada di puncaknya.
Tunggu hingga ketiga anak itu tumbuh lebih dewasa. Arlyn sudah melihat banyak hal. Dia berharap ketiga anak itu tidak akan kehilangan arah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang baik.
Di setiap pertanyaan yang terlontar Leta akan membantu untuk menjawab. Dengan wajah tersenyumnya. Adrian juga membantu Arlyn menjawab beberapa pertanyaan Riel.
Adrian tidak menyangka Riel akan memiliki banyak sekali pertanyaan. Dia bertanya-tanya apakah Arlyn menghadapi hal seperti itu di banyak waktu. Melihat bagaimana Arlyn menjawab, Adrian menebak Arlyn selalu memberikan jawaban untuk Riel. Memenuhi keingintahuan anak itu.
Adrian merasa hatinya menghangat. Arlyn menjadi sosok orangtua yang sangat baik pada Riel dan kedua saudaranya ketika dia bisa memilih untuk tidak acuh. Mengabaikan pertanyaan-pertanyaan anak itu. Tapi tidak. Arlyn menjawab semuanya. Dengan pengetahuan yang dia punya. Ketika dia tidak tau, dia akan meminta Adrian untuk memberikan jawaban untuk Riel. Membuat Adrian ikut menjadi bahan pemenuhan keingintahuan anak itu.
Begitu makanan datang, Riel berwajah semangat. Abi memiliki ekspresi malu-malu ingin. Dia memegang kain celana Arlyn dengan kedua jarinya.
"Selamat makan..." Leta bersuara dengan senyum lebar. Dia menggeser tumpukan piring dari pelayan dan meletakkannya masing-masing di depan setiap para penghuni meja. Makanan tersaji di atas meja dan semua orang bisa mengambil. Abi, Riel dan Azel dengan bijaksananya memesan makanan yang juga bisa dimakan oleh semua orang. Mengundang suara ketertarikan dari Leta. Mereka memang anak-anak yang dewasa.
Abi ingin mengambil makanan ketika sepasang sendok dan garpu muncul di atas piringnya. Meletakkan sepotong makanan di sana.
"Umi?" Abi melihat Arlyn yang meletakkan makanan di piringnya. Dan bukan di piring miliknya sendiri.
Arlyn tidak mengatakan apapun. Dia mengambil beberapa makanan dan meletakkan mereka di piring Abi, Riel, dan Azel. Mengesampingkan dirinya.
"Umi, umi makanlah," ucap Abi dengan raut wajah sedih. Punya firasat buruk Arlyn akan tidak makan lagi. Seperti biasanya.
"Khawatirkan dirimu sendiri." respon Arlyn.
Leta melihat itu berwajah masam. "Mba Arlyn. Mba harus makan."
Arlyn mengerutkan kening. Tidak menyangka Leta akan ikut bersuara. Tapi tetap meletakkan makanan di piring Abi.
Tidak ada yang bisa membantah. Arlyn lebih dulu mengambil makanan untuk Riel Azel dan Abi dan membuat dirinya yang terakhir mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Selain itu, dia mengambil porsi yang paling sedikit dari kelima orang lainnya. Berbanding terbalik dengan yang dia letakkan di piring ketiga anak yang lain.
Semuanya terdiam melihat kesedikitan porsi makan perempuan itu.
Arlyn sedang memakan makanannya ketika sepasang sendok dan garpu meletakkan sebuah potongan daging lobster di atas piringnya. Yang menggenggam kedua benda itu adalah dua tangan besar yang sudah jelas siapa pemiliknya. Adrian meletakkan porsi makanan di piring Arlyn.
"Makanlah lebih banyak, Arlyn," harap pemuda itu. Dia sudah melihat Arlyn yang tidak banyak makan. Dia jarang makan. Hanya di beberapa waktu. Keseringan dia hanya menjadi penonton ketiga anak di rumahnya makan. Itulah alasan kenapa Arlyn memiliki tubuh yang ramping.
Adrian memasang senyum. Tapi matanya memancarkan pengharapan. Mengundang keheranan pada Arlyn. Dia akan melanjutkan makannya ketika sepasang sendok dan garpu lagi kembali muncul di depannya. Kali ini dari Abi. "Umi makan."
Ketiga orang lainnya melihat itu dan ikut meletakkan sesuatu di piring Arlyn. Menjadikan piring Arlyn penuh oleh makanan pemberian mereka.
Arlyn mengerutkan kening tapi tidak membantah. Dia akan membiarkan orang-orang berlaku semau mereka.
Setelah mereka makan, perjalanan kembali berlanjut. Dan akhirnya mereka sampai di tempat tujuan mereka.
04/06/2022
Measly033