"..."
Nevan lagi-lagi dibuat terheran-heran oleh Adrian yang duduk di bangku kerjanya.
Wajah sahabatnya itu terlihat lebih sumringah. Air mukanya cerah. Dia sedang bahagia. Moodnya sedang sangat baik. Tidak ada lagi sedikitpun kesedihan di wajahnya. Kemurungan waktu lalu sudah tidak lagi tersisa. Yang ada hanyalah antusiasme. Untuk melakukan semua pekerjaannya.
"Ian."
Nevan memanggil. Yang langsung disambut oleh tolehan wajah si yang dipanggil.
Wajah Adrian mungkin masih datar. Tapi siapapun bisa melihatnya. Bahwa laki-laki itu sedang bahagia. Sesuatu yang membahagiakannya berputar di dalam kepalanya. Sesuatu yang Nevan belum ketahui apa.
Adrian memberi pandangannya. Memberi pandangan yang seolah mengatakan 'ada apa?'. Nevan mengerutkan kening. "Apa yang sudah terjadi?"
Adrian menaikkan alisnya bingung.
"Apa yang terjadi apa?"
Nevan cemberut.
"Sesuatu terjadi. Aku yakin. Jika tidak kau tidak akan bersikap seperti ini."
Adrian melongo.
Bersikap seperti apa?
Nevan mengerang. "Berhenti bersikap tidak tau. Sesuatu terjadi. Sesuatu yang membuatmu senang. Beritahu aku apa yang terjadi."
"Jangan bilang," Nevan membulatkan matanya. "Pasti berhubungan dengan perempuan itu kan? Arlyn mu itu. Benar. Aku lupa mencari tahu karena aku sibuk bersama Grace. Sekarang beritahu aku. Bagaimana hasil menyuapnya? Berhasil? Bagaimana respon anak-anak itu? Apakah kau sudah bertemu dengan Arlyn lagi?"
Adrian terdiam mendengar rentetan pertanyaan Nevan. Perlahan semburat merah muncul di pipinya. Parahnya lagi, di pinggiran telinganya. Telinga pemuda itu berubah menjadi begitu merah sampai tidak ada siapapun yang akan bisa mengabaikannya.
Nevan melongo. Dia benar. Sesuatu terjadi. Penyuapan itu kemungkinan besar berhasil. Dan Adrian sudah mendapatkan apa yang dia mau. Bertemu kembali dengan Arlyn.
Nevan tersenyum lebar. Merasa puas. Dia lah yang sudah memberi usulan dan dorongan pada Adrian. Dia senang jika ide nya berguna. "Bagaimana? Perkembangan apa yang sudah terjadi di antara kalian?"
Adrian menunduk malu-malu. "Abi sudah memperbolehkanku menemui Arlyn. Dua hari lalu dan kemarin, aku menghabiskan waktu di rumah mereka."
"Siapa itu Abi?" tanya Nevan.
"Dia salah satu anak Arlyn."
"Yang paling tua?"
"Tidak. Dia yang paling muda."
Nevan terdiam. Tidak menyangka itu. Justru yang rewel adalah anak yang paling muda? Dia sudah mengerti hal-hal seperti hubungan antara orang dewasa? "Berapa umurnya?"
"Mereka semua masih sekolah dasar. Azel kelas lima, Riel kelas empat, sedangkan Abi kelas dua." Adrian menjawab dengan senyum hangat. Nevan tidak mengira Adrian akan memberikan penjabaran seperti itu. Terlihat jelas betapa bahagia Adrian dengan ketiga anak itu.
Adrian tenggelam dalam hal yang ada di dua hari lalu.
Di hari sabtu dan minggu. Kedua hari itu dia habiskan bersama Arlyn dan anak-anaknya.
Di hari sabtu setelah mereka pulang dari mall, Adrian mengantarkan Arlyn dan ketiga anak itu pulang. Melihat Leta yang terlihat tengah berjalan hendak masuk ke pekarangan rumah Arlyn, membawa kantong berisi semacam kotak di dalamnya.
Leta memiliki wajah terkejut. Lalu mulai tersenyum dengan begitu lebar. Menghampiri Arlyn juga Adrian, menepuk nepuk bahu sang pemuda.
Adrian tidak mengerti kenapa Leta terlihat begitu antusias. Wanita itu menepuk nepuk lengannya dengan senyum yang sangat lebar.
Arlyn mengerutkan kening bingung. Riel menyapa Leta. Memamerkan boneka kucing di tangannya. Abi memeluk dua benda di tangannya. Azel memegang boneka miliknya dengan kedua tangan.
Leta menyadari keberadaan Abi dan langsung mengecup-ngecup kening Abi. Mengucapkan selamat ulang tahun pada anak itu.
Ada selang beberapa detik sebelum Leta tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Arlyn terperanjat. Apakah punggung wanita itu akan baik-baik saja?
Leta, menghampiri Adrian, lalu menarik lengan pemuda itu hingga mereka berdua berdiri cukup jauh dari Arlyn dan ketiga anaknya.
Arlyn mengerjap. Mengerutkan kening curiga. Abi juga mengerjap. Merasa bingung pada tingkah Leta. Tidak biasanya wanita itu bersikap seperti tadi. Riel bertanya "apakah nenek Leta punya sesuatu untuk dikatakan pada paman Adrian?" dan tidak menerima jawaban dari siapapun. Azel juga diam di tempatnya dengan wajah datar tapi siapapun bisa melihat keterperangahannya.
Yang sore itu Leta katakan pada Adrian adalah adalah,
"Mas Adrian. Hari ini ulang tahunnya mba Arlyn sama Abi. Saya awalnya mau ngadain perayaan, tapi karena sekarang udah ada Mas Adrian, mas ikut ngerayain aja."
Leta memaksa Adrian untuk menunduk. Mensejajarkan telinganya yang berada di posisi lebih tinggi agar Leta bisa berbisik kepadanya. "Tapi tidak usah malam ini. Mas siapkan sesuatu ya. Kita lakukan perayaannya besok saja. Mas besok datang jangan bilang-bilang, bawa bunga, sama perhiasan buat mba Arlyn. Mas kan kaya. Nenek ini yakin tidak akan ada masalah untuk mas beli hadiah buat mba Arlyn."
Leta terkekeh licik dengan puas. Tampak sangat tidak sabar untuk apa yang akan terjadi di hari minggu. Tidak tahu bahwa Adrian sebenarnya sudah menyiapkan hadiah untuk sang perempuan namun ditolak mentah-mentah oleh si yang berulang tahun.
Tapi Leta terlihat begitu bersemangat. Dia lagi-lagi memukul mukul lengan Adrian. Yang tidak terasa sakit sama sekali, namun mengundang keheranan pada laki-laki itu. Leta kemudian meninggalkan Adrian begitu saja. Kembali kepada Arlyn dan Abi, Riel, juga Azel. Leta menepuk bahu Arlyn lalu membimbing ketiga anak di samping mobil untuk masuk ke pekarangan rumah Arlyn. Mendorong mereka untuk masuk ke dalam rumah.
Kernyitan di kening Arlyn begitu dalam. Dia yakin Leta baru saja mengatakan sesuatu pada pemuda yang kini sudah berada di belakangnya itu.
"Apa yang beliau ucapkan padamu?" tanya Arlyn curiga. Memandang Adrian yang lebih tinggi darinya dengan mata memicing.
Adrian merasa gugup. "Bukan apa-apa."
Tapi Arlyn tidak percaya begitu saja. Dia menyipit. Memandangi Adrian penuh ketelitian. Berusaha merobek lapisan di wajah Adrian dan berusaha mencari kebenaran di balik lapisan itu.
Tapi sebenarnya Arlyn juga sudah bisa menebak apa yang Leta ucapkan pada laki-laki di depannya.
Sesuatu yang berhubungan dengannya. Dan Abi. Arlyn merasa tidak suka dan terganggu.
"Apapun itu, kuberi tahu kau untuk tidak melakukan apapun. Sekarang kau pulanglah. Aku lelah sehabis pergi ke mall tadi. Memang sudah seharusnya aku tidak mencetuskan ide untuk pergi. Aku tidak punya tenaga untuk itu." Arlyn menggoyangkan tangannya. Satu tangannya menggenggam tali tas yang diberikan Adrian begitu mereka tiba di mobil. Yang kini diisi oleh barang-barang pemberian Riel Abi dan Azel. Adrian menyimpan beberapa tas flanel di dalam kap mobilnya. Entah untuk alasan apa.
Di sore hari itu, Arlyn meninggalkan Adrian sendirian di depan perkarangan rumahnya. Menontoni Arlyn yang membawa dirinya masuk ke dalam rumah menyusul Leta dan ketiga anak asuh sekolah dasar nya.
Arlyn menginjakkan kakinya ke dalam rumah dan Leta muncul dari balik pintu. Mengejutkan Arlyn. Dari kejauhan Adrian bisa melihat Arlyn yang menggerutu. Mendapati kekehan terhibur dari Leta.
Arlyn sempat menoleh ke belakang. Melihat Adrian yang masih berdiri di depan pekarangan rumahnya. Arlyn mengerutkan kening dan berdecak tanpa suara. Membawa dirinya masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Leta yang masih berdiri di dekat pintu. Menontoni kepergian Arlyn. Wanita itu kemudian menoleh ke arah Adrian. Memasang senyum antusias dan memberi jempol tangannya. Adrian terkejut. Dia dengan kikuk menganggukkan kepalanya. Leta tersenyum semakin lebar dan menutup pintu seraya membentuk mulut berucap tanpa suara.
"Jangan lupa."
Setelah berucap tanpa suara seperti itu, pintu rumah Arlyn pun ditutup. Adrian mengusap tengkuknya. Membawa dirinya masuk ke dalam mobil. Melalui perjalanan pulang seorang diri. Di rumahnya, Adrian tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Ada hal yang ingin dia berikan pada Arlyn.
Sesuatu yang berharga.
Adrian harap Arlyn akan menerimanya.
Keesokan harinya, Adrian mendatangi rumah Arlyn sesuai perjanjian yang dibuat sepihak oleh Leta.
Jam sembilan pagi. Waktu dimana Arlyn baru terbangun dari tidurnya. Dan waktu dimana semua kejutan akan sudah dalam keadaan siap. Hanya tinggal menunggu sang putri tidur untuk keluar dari kamarnya.
Adrian berdiri bersama Leta di depan sebuah pintu. Abi, Riel dan Azel berdiri berdampingan di depan kedua orang dewasa di belakang mereka.
Abi di tengah membawa piring dengan sepotong kue dan lilin menyala di atasnya. Riel dan Azel memegang petasan pita. Leta memegang syal rajut di tangannya. Di mana di atasnya terjahit sebuah kain bundar dengan lima gambar wajah di atasnya. Lukisan wajah dari benang yang dijahitkan pada kain dengan sedemikian rupa. Tiga wajah kecil. Dan dua wajah yang lebih besar dengan satu lebih tirus dari yang lain.
Kelima orang itu menunggu dalam keantisipasian. Terutama Abi yang punggung tangannya mulai berkeringat. Dengan bibir yang digigit pelan menanti sosok yang dia tunggu-tunggu keluar dari ruangannya.
Semua orang menahan nafas ketika melihat kenop pintu yang ditekan ke bawah dengan pelan.
Semua orang menyiapkan ekspresi terbaik mereka.
Pintu terbuka. Menampilkan sosok Arlyn dengan pakaian biasanya. Rambutnya sedikit berantakan tapi tidak mengurangi kecantikan wajahnya. Setiap bagian dari Arlyn adalah sebuah kecantikan yang hanya dimiliki oleh Arlyn seorang.
"Selamat ulang tahun umi!!!" Abi berseru dengan wajah tersenyum lebar. Kebahagiaan tercetak jelas di wajah mungilnya. Matanya bersinar dan rambut hitamnya menambah pesona dari wajah imut itu.
Dorr! Suara dua petasan pita muncul begitu Abi menyelesaikan seruannya.
"Selamat ulang tahun mba Arlyn.." Leta memasang senyum lebar.
"Selamat ulang tahun Arlyn." Adrian memiliki senyum lembut di wajahnya. Sebuah buket bunga mawar merah yang bisa dicium harumnya dari jarak delapan meter itu pun berada di tangannya. Kali ini Riel hanya memasang senyum terlebar yang dia punya. Sedangkan Azel tetap dengan wajah tanpa ekspresi biasanya. Namun antusiasme masih terpancar di wajah manisnya.
Arlyn berwajah masam. Sudah tahu hal ini akan terjadi. Dia sejak awal sudah merasa luar biasa malas untuk keluar dari kamarnya. Mengetahui keributan yang akan menyambutnya.
Tapi Arlyn juga tidak mau membuat dirinya terkurung di dalam sebuah ruangan di dalam rumahnya sendiri. Rumah ini adalah rumahnya. Sudah sewajarnya dia memiliki kebebasan untuk mengelilingi segala penjuru rumah. Bukannya terkurung di dalam sebuah kamar berukuran sedang hanya demi menghindari sebuah pesta kejutan dari lima orang dimana satu orang dari mereka merupakan wajah baru di rumahnya.
"Umi! Tiup lilinnya!" Riel berseru girang. Abi di sampingnya mengangkat piring di tangannya. Agar bisa lebih dekat dengan Arlyn. Tapi sebuah tangan pendek tetap tidak akan mempu menyamai tinggi Arlyn.
Arlyn menghela nafas tanpa suara. Membungkukkan tubuh bagian atasnya. Menyingkap helai rambut memastikan mereka tidak menyentuh panas api. Dia kemudian meniup lilin itu. Aroma lilin yang habis ditiup memenuhi hidungnya dan juga kelima orang lain yang ada di dekatnya.
"Mba Arlyn jangan cemberut terus. Ini hari ulang tahun mba. Harus semangat!" ucap Leta dengan menggebu-gebu. Yang sebenarnya kemarin tapi perayaan baru di lakukan hari ini. Dia menghampiri Arlyn dan menyerahkan syal di tangannya pada perempuan itu dengan senyum lebarnya.
Arlyn menyadari corak familiar di syal rajut berwarna putih itu. Dia tahu siapa saja yang ada di kain tebal berbentuk lingkaran itu.
Dirinya, ketiga anak asuhnya, dan satu laki-laki yang tidak seharusnya ada. Namun ditambahkan di detik terakhir.
Mata Arlyn memicing. Mengangkat wajahnya untuk bisa melihat wajah laki-laki yang memiliki sebuah buket bunga berwarna merah di tangannya itu.
"Arlyn. Selamat ulang tahun."
Pemuda itu mengucapkannya lagi. Kelembutan senantiasa berada di suaranya. Adrian menjulurkan buket bunga itu pada perempuan berambut lurus sebahu lebih sedikit di depannya.
Arlyn memandangi kumpulan kelopak berwarna merah di depannya itu sebentar. Menaikkan pandangannya untuk melihat wajah si yang menggenggam bunga. Arlyn bisa melihat senyum lembut di wajah itu. Pemuda itu tersenyum dengan begitu tulus. Arlyn bisa merasakan pandangan penuh cinta di kedua mata itu.
Arlyn berwajah masam. Tapi dia menggerakkan tangannya untuk menerima juluran buket bunga itu.
"Terimakasih." ucapnya.
Adrian merasa jantungnya berhenti berdetak begitu Arlyn mengulurkan tangannya menerima buket bunga pemberiannya. Dia langsung menenangkan diri.
"Sama sama." senyum hangat memenuhi wajahnya.
Arlyn memandangi wajah itu dalam diam. Mengalihkan pandangannya. Tidak mampu melihat wajah penuh cinta itu terlalu lama.
Sungguh. Kenapa harus dirinya? Laki-laki itu benar-benar memiliki selera yang aneh. Arlyn tidak pernah menyangka akan benar-benar ada orang yang menyukainya.
Atau justru cinta? Arlyn bukanlah orang bebal. Dia tahu tatapan itu. Itu bukan tatapan suka sederhana.
Laki-laki itu benar-benar mencintainya. Arlyn bisa melakukan apapun dan laki-laki itu akan tetap menyukainya. Arlyn bisa bersikap semaunya dan laki-laki itu akan tetap berada di sisinya.
Arlyn tidak tahu apakah dia harus menganggapnya sebagai kutukan atau berkah. Tapi dia hanya berharap keberadaan laki-laki itu tidak akan mengganggu kedamaian hidupnya.
Leta mengajak semua orang untuk pergi ke meja makan. Hanya ada lima kursi. Jadi Abi duduk di pangkuan Leta. Awalnya Abi ingin duduk dengan Arlyn. Tapi Leta lebih dulu merampas anak itu dan menariknya untuk duduk bersamanya. Abi memberontak tapi Leta menyumpal mulutnya dengan lasagna panggang buatannya.
Abi cemberut. Air mata keluar dari matanya tapi Leta tidak peduli. Leta ingin Adrian memiliki kebebasan untuk memiliki waktu dengan Arlyn.
Arlyn mengernyit. Sudah bisa menebak kenapa Leta bisa seganas itu. Arlyn menghela nafas. Sudah tahu apa yang akan terjadi. Dia akan harus menenangkan anak itu.
Dia mudah mudah berpikir yang tidak-tidak.
Arlyn mengeluh di dalam hati. Abi adalah anak yang sensitif. Dia suka membuat praduganya sendiri dan Arlyn seringkali harus meluruskan pikiran anak itu. Membuat Abi berhenti memikirkan sesuatu yang nyatanya bukanlah hal yang sebenarnya terjadi.
Riel tidak menyadari keadaan Abi sama sekali. Hanya tidak sabar untuk memakan makanan yang ada di atas meja. Ayam panggang dan juga lasagna yang dibuat oleh Leta di pagi-pagi buta. Wanita itu mengotot bahwa dia ingin menginap di rumah Arlyn kemarin sore. Arlyn mengernyit. Tidak biasanya menerima permintaan itu dari Leta.
Tapi Arlyn tidak punya tenaga untuk menolak. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang keras kepala. Dia hanya akan membiarkan orang-orang itu bersikap semau mereka. Jika Leta mengotot ingin menginap, maka Arlyn akan membiarkannya. Dia hanya akan pergi ke kamarnya. Tidur dan bermalas-malasan. Sembari berharap tidak akan ada hal aneh yang akan menyambutnya di keesokan harinya.
Tapi sayangnya hal itu tidak bisa dia hindari. Dia membuka pintu dan lima orang langsung menyambutnya.
Arlyn memicingkan mata pada laki-laki yang duduk di sampingnya. Pemuda itu benar-benar tengah memandanginya.
Tidakkah dia tahu bahwa Arlyn bisa merasakan tatapannya? Tidakkah dia sadar?
Arlyn menghela nafas. Sudah terlalu lelah. Dia hanya akan membiarkan semua orang melakukan yang mereka mau. Dia bahkan akan membiarkan Leta bersikap bagai mak comblang antara Adrian dan dirinya.
Kenapa Leta begitu bersemangat? Kenapa dia ingin sekali Arlyn berpasangan dengan Adrian? Arlyn tidak bisa mengerti. Dia tidak butuh laki-laki. Dia bisa hidup sendiri dengan ketiga anak di rumahnya.
Hari itu, waktu berlalu dengan semua orang memakan makanan mereka masing-masing. Kecuali Adrian yang banyak memperhatikan Arlyn makan. Abi mengawasi Adrian. Leta merasa hatinya akan meledak melihat warna merah muda di antara Adrian dengan bos muda nya. Riel yang tidak berhenti meminta nambah. Azel yang tidak bereaksi pada semua yang tengah terjadi di meja makan. Arlyn dengan wajah masamnya.
Di siang hari, begitu makanan di atas meja sudah habis, Arlyn berkata pada Adrian bahwa laki-laki itu sudah bisa pulang. Memakai alasan bahwa pemuda itu harus menghabiskan akhir pekan dengan keluarganya sendiri dan bukannya keluarga kecil yang bukan keluarganya.
Adrian merasa tertusuk tapi tidak bisa membantah. Yang diucapkan Arlyn benar. Dia bukanlah siapa-siapa di keluarga kecil dengan tiga anak asuh itu. Adrian menuruti ucapan Arlyn untuk pulang. Tapi sebelum itu,
Adrian berdiri di depan Arlyn yang sama-sama berada di pintu.
Leta menutup mulut Abi dan menahan anak itu untuk tidak berlari menghampiri Arlyn. Riel pergi ke dapur untuk mencari es krim di dalam kulkas. Azel berdiri diam di samping Leta untuk melihat kedua orang dewasa yang tengah berdiri saling berhadapan di depan pintu rumahnya.
"Aku, ingin memberikan ini."
Adrian mengeluarkan kotak kecil dari saku celananya.
Arlyn sudah langsung mengernyitkan keningnya melihat kotak dengan kain beludru biru gelap itu.
"Kau tau aku tidak ingin menerimanya."
"Hm." Adrian bergumam kikuk. Senyum kikuk berada di wajahnya. "Tapi aku harap kau akan menerima yang satu ini."
Adrian membuka kotak di tangannya. Mempertunjukkan sebuah kalung dengan bandul kecil di dalamnya.
"Ini kalung milik ibuku. Dia bilang, aku bisa memberikannya pada seseorang yang aku ingin untuk memilikinya." Adrian tersenyum. Meskipun masih memiliki gugup di hatinya. Memberanikan diri. "Aku ingin kau memilikinya."
Arlyn memandangi Adrian. Memandangi kalung di dalam kotak, sebelum kembali memandangi pemuda itu lagi. "Apakah ibumu sudah meninggal?"
Mata Adrian melebar. "Tidak. Ibuku masih sehat."
Arlyn berdecak. "Biasanya benda seperti ini merupakan peninggalan seseorang yang sudah tiada. Benda warisan, atau semacam itu."
Arlyn terdiam. Memandangi Adrian. "Kau ingin aku memiliki ini? Apakah ibumu tau? Apakah ibumu tau kau memiliki perasaan pada orang sepertiku? Apakah ibumu tau bahwa kau memiliki selera yang aneh?" tanya Arlyn dengan mata memicing dan kernyitan di kening.
Pertanyaan bertubi-tubi itu membuat Adrian terperangah.
Apakah dirinya benar-benar seaneh itu?
Apa yang salah dari menyukai Arlyn? Arlyn adalah wanita yang sempurna. Dia lembut, dan sudah membesarkan ketiga anak asuhnya seorang diri dengan baik.
Tidak semua orang bisa berada di posisi Arlyn.
Tanpa orang tua. Mencari penghidupan untuk dirinya sendiri. Membuka usaha untuk membantu orang-orang tua seperti Leta. Membawa tiga anak panti asuhan di bawah sayapnya.
Arlyn adalah wanita yang dermawan. Dengan hati seluas samudera. Arlyn seharusnya sadar akan hal itu.
Arlyn nya berhak atas segala perhiasan yang ada di dunia. Pantas untuk menghabiskan segala harta kekayaan Adrian untuk memuaskan dirinya sendiri. Arlyn nya pantas untuk menerima semua itu.
Jadi, untuk sekarang, Adrian ingin Arlyn memiliki hal yang paling berharga untuknya.
Perhiasan pemberian ibunya. Yang dikhususkan untuk diberikan pada wanita yang memiliki hati Adrian. "T.. Tidak. Ibuku tidak tahu. Aku belum memberitahunya." jawab Adrian jujur.
Dia memang sudah sempat membocorkan rahasianya pada Zana dan Ferdi. Tapi Zana belum tahu apapun soal Arlyn. "Tapi aku yakin ibuku memperbolehkanku untuk memberikan perhiasan ini padamu." ucap Adrian tulus. "Maukah kau menerimanya?"
Arlyn memandangi Adrian dengan wajah masam. Ada selang waktu keheningan. Arlyn sibuk dengan pikirannya.
Dia menghela nafas.
"Jangan salahkan aku jika ibumu protes." ungkapnya. "Jika suatu saat kau ingin aku mengembalikannya kau hanya perlu bilang. Aku akan langsung mengembalikannya padamu."
Mata Adrian membulat. "Mengembalikan? Tidak. Itu tidak akan terjadi."
Adrian tidak menyangka Arlyn akan memiliki pemikiran seperti itu.
"Kalung ini akan menjadi milikmu. Selamanya. Aku hanya akan memberikannya padamu."
Adrian tersenyum dengan sangat hangat. Kehangatan memenuhi dadanya.
Benar. Adrian ingin Arlyn memiliki benda yang ada di tangannya. Adrian ingin benda dari ibunya itu berada di tangan perempuan di depannya.
Perempuan yang cantik meski sederhana. Perempuan dengan hati yang lembut dan hanya memiliki kejujuran di dalam dirinya.
"Bolehkah aku memasangkannya padamu?"
Arlyn terperangah. "Kau ingin aku mengenakannya?"
Adrian mengangguk. "Hm."
Adrian akan merasa lebih senang jika Arlyn mengenakannya dan tidak hanya sekedar memilikinya. Menyimpannya di dalam lemari nya.
"Ini, kalung dari emas putih murni. Kalung ini tidak akan memberikan dampak buruk pada kulitmu. Kau bisa tenang." senyum Adrian tulus. "Kau juga bisa mengenakannya setiap hari. Setiap saat. Bahkan ketika kau tidur. Atau membasuh dirimu. Kau bisa mengenakannya kapanpun."
Adrian perlahan mengambil rantai kalung dari dalam kotak. Sedangkan Arlyn di sisi lain merasa tertohok.
Alasan mengapa Arlyn tidak pernah mengenakan perhiasan,
Selain karena harganya yang menurutnya lebih baik untuk digunakan untuk dibelikan makanan untuk Abi, Riel, dan Azel, perhiasan yang akan bisa dia beli hanya akan berupa perhiasan mainan murah dari besi. Yang dia tahu tidak bisa dikenakan seseorang untuk waktu yang lama dan akan memberikan dampak gatal. Selain itu, dia tidak merasa dirinya butuh mengenakan perhiasan. Dia bukanlah gadis yang senang berdandan seperti gadis lainnya. Dia hanya berpakaian sederhana.
Selain itu, dia adalah orang yang pemalas. Jika dia mengenakan sesuatu seperti kalung murah, dia akan harus berkali kali melepas, dan memasangkannya kembali ke bagian tubuhnya. Dia tidak akan punya cukup antusiasme untuk melakukan itu.
Antara mengenakan sesuatu dan tidak pernah melepaskannya, atau tidak pernah mengenakannya sama sekali. Dia memilih yang kedua.
Adrian sudah selesai mengeluarkan kalung dari kotaknya. Dia memasukkan kotak itu ke dalam saku celananya. Membuka kaitan kalung itu, lalu memegang kedua ujungnya di satu tangan dan tangan yang lain.
"Bolehkah?" tanya Adrian. Senyum lembut senantiasa berada di wajahnya.
Arlyn memandangi Adrian ragu. Namun perlahan dia mengangguk.
Jika sudah seperti ini, bukankah dia tidak bisa menolak? Dia tidak bisa menyuruh laki-laki itu untuk memasukkan kalung itu kembali ke dalam kotak, kan? Arlyn juga tidak bisa memaksakan penolakan setelah semua pertukaran kalimat penuh drama itu.
Adrian tersenyum sumringah mendapat anggukan dari Arlyn.
Dengan hati-hati,
Dengan penuh kelembutan,
Dan ketelitian. Adrian memakaikan kalung emas putih di tangannya pada leher Arlyn.
Sebuah bandul permata kecil memamerkan dirinya di dada atas Arlyn. Keberadaan kalung sederhana memberikan kecantikan luar biasa pada perempuan itu. Adrian merasa kecantikan Arlyn bertambah berkali-kali lipat di depannya.
"Kau cantik, Arlyn."
Sebuah ungkapan tulus keluar dari pemuda itu.
Mengundang keterkejutan dari Arlyn.
Juga Leta yang yang tidak lagi bisa menahan keinginan hatinya untuk meledak. Dia menutup mulutnya dengan satu tangan. Sedangkan satu tangannya lain hanya menutup mulut Abi yang tidak lagi memberontak.
Anak itu berdiri dengan tubuh lemas di tangan Leta.
Selain karena dirinya yang kehilangan tenaga setelah tidak kunjung berhasil membebaskan diri dari penjara tangan Leta, Abi juga bisa melihat bagaimana umi nya berdiri diam di depan pria dewasa di pintu rumahnya.
Pupil mata Abi mengecil.
Sesuatu terjadi.
Umi nya sudah membuka hati pada orang dewasa di depannya.
Abi tidak bisa mencegah apapun lagi.
Arlyn akan menjalin hubungan dengan laki-laki itu, dan Abi tidak akan bisa melakukan apapun.
Arlyn terdiam di tempatnya. Kepalanya tertunduk melihat keberadaan sebuah bandul kecil namun indah di lehernya.
Dia mengangkat wajahnya. Menerima pandangan penuh kelembutan dari kedua mata di depannya. Ditambah laki-laki itu baru saja mengucapkan sesuatu yang berada di luar dugaan Arlyn sama sekali.
Arlyn tidak tahu harus berkata apa.
Dia menunduk.
"T, Terimakasih."
Adrian masih memiliki senyum hangat di wajah tampannya.
Dia kemudian mengeluarkan kotak kalung dari saku celananya. Menggenggam tangan Arlyn dan meletakkan kotak itu di tangannya.
"Simpan kalung itu di kotak ini jika kau ingin melepasnya. Aku tidak memaksamu untuk senantiasa memakainya. Walaupun aku harap kau akan membiarkan kalung itu tetap berada di lehermu." Adrian memberi senyum hangat penuh ketulusan. "Aku akan pulang. Aku akan menemuimu lagi kapan-kapan."
Adrian melepaskan pegangannya dari tangan Arlyn dengan perlahan. Dia tidak mengucapkan apapun lagi dan langsung pergi meninggalkan pintu rumah Arlyn. Memberikan lambaian tangan begitu hendak masuk ke dalam mobil. Melajukan mobilnya pergi hingga tidak lagi bisa dilihat oleh Arlyn yang masih berdiri diam di pintu rumahnya.
Arlyn masih terdiam dengan pikiran kosong tapi juga penuh di saat yang bersamaan. Dia menyadarkan dirinya. Melangkahkan kakinya ke belakang untuk menutup pintu. Hanya untuk melihat wajah Leta yang terlihat sangat sumringah seolah dirinya lah yang baru saja diberikan sebuah kalung emas.
"Kalungnya cantik banget di leher kamu, mba Arlyn." Leta tersenyum lebar tulus.
Tidak menyadari Abi yang diam berdiri di tempatnya dengan pandangan mata kosong.
04/06/2022
Measly033