"Oh. Kau sudah tiba."
Arlyn membuka pintu. Menampakkan dirinya di depan Adrian yang berdiri kaku. Masih belum mampu membuat dirinya tetap rileks ketika berada di dekat perempuan itu.
Adrian belum merespon ketika Arlyn memperlebar kawasan pandangan Adrian ke dalam rumah dengan menarik pintu lebih terbuka. Membuat Adrian bisa melihat sosok Abi, Riel dan Azel dengan pakaian bepergian mereka. Azel dengan dress sebetis dan Abi juga Riel dengan kemeja mungil serta celana seukuran tubuh mereka.
"Ayo." Arlyn menggerakkan dagunya. Memberi tahu ketiga anak di dalam rumah untuk keluar.
"Pagi paman." Riel berujar ceria. Adrian sempat terkejut tapi dia kemudian mengangguk.
"Pagi."
Arlyn sudah selesai mengunci pintu rumahnya. Melewati keempat manusia di depan rumahnya menuju mobil Adrian. Adrian menyadari itu mempercepat langkahnya. Menekan tombol kunci dan membuka pintu.
Cklek
Arlyn memandang datar pintu mobil depan yang ditarik buka oleh laki-laki di sampingnya.
"Masuklah."
Suara Adrian keluar dengan begitu lembut. Senyum samar terpatri di wajahnya.
"Hm." Arlyn hanya memberikan gumaman sebagai respon. Dia menoleh ke belakang. Melihat Abi, Riel dan Azel berdiri berkumpul. Bersama-sama memiliki ekspresi wajah terpana memandangi mobil putih di hadapan mereka.
"Kalian. Jangan berdiri terus di sana. Masuk ke dalam mobil."
Riel mengangkat wajahnya ke arah Arlyn. Ekspresi wajahnya seolah mengatakan apakah-kita-akan-naik-mobil-ini-?.
Arlyn berdecak. "Kalau kalian tidak mau pergi maka tidak apa-apa."
Abi dan Riel sama-sama membuka mulut mereka syok.
"Pergi! Aku mau pergi!" Abi berseru.
Arlyn tidak merespon dan masuk ke dalam mobil.
Adrian menutup pintu dan bergerak membuka pintu lain. Riel yang pertama kali berhambur masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang. Disusul Azel yang tidak banyak bicara. Sedangkan Abi,
"Abi."
Arlyn membuka pintu. Mengeluarkan sisi kepalanya. Memandangi Abi yang tidak kunjung masuk bersama kedua saudaranya.
Abi menolehkan wajahnya pada Arlyn. "Umi," dia merapatkan bibir. "Bisakah umi duduk di belakang bersama kami?"
Arlyn menerima pertanyaan itu mengerutkan kening. "Memangnya ada apa?"
Abi menggigit bibir bawahnya. Arlyn berdecak. "Jangan meminta hal-hal yang merepotkan. Tidak sopan membiarkan paman Adrian duduk di depan sendirian."
Abi memiliki ekspresi terkejut di wajahnya. Dia baru akan berbicara tapi Arlyn bersuara lebih dulu. "Cepat masuklah. Biar paman itu bisa segera menyalakan mobil." Arlyn mengernyit. "Di sini panas."
Abi yang melihat Arlyn merasa tidak nyaman langsung dengan cepat masuk ke dalam mobil. Duduk di sebelah Azel dengan sikap sempurna.
Adrian berdiri kaku di luar. Masih terkejut dengan skenario konyol yang baru saja terjadi. Tapi dia segera tersadar dan menutup pintu, menghampiri sisi pintu setir.
Adrian menyalakan mobil dan akhirnya mobil pun melaju.
Perjalanan berlalu dengan hening. Riel menontoni pemandangan di luar kaca mobil dengan mulut terbuka. Azel duduk tenang di antara kedua saudaranya. Sedangkan Abi, duduk dengan kepala menunduk, menautkan jari jemarinya dengan jemari di tangan yang lain.
Adrian membukakan pintu Arlyn dan ketiga anak lain begitu mereka tiba di tempat tujuan. Sebuah mall yang tidak begitu besar. Tujuan yang diminta oleh Arlyn.
"Ingat untuk tidak terpisah. Aku tidak punya tenaga untuk mengawasi kalian." Arlyn berkata pada ketiga anak yang mendongak padanya.
"Azel, awasi kedua adikmu."
"Iya umi."
"Aku tidak akan nakal aku janji!" Riel berseru.
Arlyn menujukan pandangannya pada Abi. "Abi?"
Abi diam menatapi Arlyn dan akhirnya menunduk. "Iya."
"Bagus. Sekarang ayo masuk."
Arlyn melirik Adrian. Adrian menyadari lirikan itu pun sempat terkejut tapi dia kemudian langsung mengikuti ucapan Arlyn. Mereka berjalan bersama menuju pintu masuk mall dengan Riel Azel dan Abi berpegangan tangan di dekat Arlyn. Sedangkan Adrian mengikuti di belakang.
"Umi." Riel meraih tangan Arlyn.
Arlyn melirik dan langsung kembali membawa pandangannya ke depan. Membiarkan Riel dengan gembira menggenggam tangannya.
Abi diam-diam menontoni tangan Riel dan Arlyn.
Azel menyadari itu melepaskan genggaman tangannya pada Abi. Abi menoleh bingung dan menerima tunjukan dagu dari Azel.
Mata Abi melebar. Dia merapatkan bibir tapi kemudian matanya mengarah pada satu tangan Arlyn yang bebas.
Dia menelan ludah gugup dan dengan gerakan ragu-ragu meraih tangan Arlyn. Arlyn merasakan sesuatu menyentuh dan menggenggam kedua jarinya pun menoleh heran. Abi mendongak ke arahnya dengan mata takut.
Arlyn menghela nafas tanpa suara dan melepaskan tangannya dari Abi.
Mata Abi melebar terguncang.
Dia baru hendak menarik kembali tangannya dengan wajah menekuk. Tapi tangan Arlyn lebih dulu meraih tangannya. Menggenggam tangan Abi di tangannya.
Mata Abi seketika berbinar dan tawa lebar tanpa suara langsung menghiasi wajah mungilnya.
Azel tersenyum kecil di tempatnya. Sedangkan Adrian yang menyaksikan skenario tadi memiliki kedua bibir yang tidak tertutup rapat. Terkejut dengan apa yang dia saksikan barusan.
Riel dan Abi sama-sama menunjukkan wajah terpana begitu Arlyn membawa mereka ke lantai dua mall. Dimana banyak toko berjejer memamerkan produk jualan mereka.
Arlyn berujar begitu mereka tiba di sebuah toko mainan. "Abi, pilih barang yang kamu mau."
Abi terkejut. "Pilih?"
"Ya." Arlyn menunduk kearah Abi dengan wajah tanpa ekspresi biasanya. "Hari ini ulang tahunmu. Aku akan membiarkanmu membeli sesuatu." Dia menjeda. "Hanya untuk hari ini."
Mata Abi melebar. "Umi, apakah umi mengajak kami pergi karena ini?"
"Apa lagi." Arlyn menghela nafas. Dia suka menikmati waktunya bermalas malasan di rumah. Hanya untuk hari ini. Karena salah satu anak asuhnya berulang tahun, dia akan merelakan waktu bermalas-malasannya.
"Cepat pilih sebelum aku berubah pikiran."
Abi syok dan langsung buru-buru melepaskan tangannya dari Arlyn. Berlari masuk ke dalam tokoh mainan. Arlyn menoleh ke arah Riel. "Kau juga masuklah."
"Sungguh?" Riel bertanya tidak percaya.
Arlyn mengangguk. "Ya. Awasi adikmu." Dia menoleh pada Azel. "Kamu juga."
Azel mengangguk. Riel melihat itu langsung melepas genggamannya pada Arlyn dan berlari ke arah menghilangnya Abi diikuti Azel di belakangnya. Arlyn berdiri tanpa ekspresi menontoni ketiga anak di dalam toko sibuk menyentuh barang dan memamerkannya pada satu sama lain. Terutama Abi dan Riel. Azel lebih banyak menyimak keributan di antara kedua adiknya seperti biasa.
"Menurutmu mainan seperti apa yang akan anak-anak itu pilih?"
Adrian yang baru saja melamun dengan mata menyangkut pada ketiga anak yang sama terkejut mendengar suara Arlyn.
"Mereka? Bukankah hanya Abi yang akan membeli?"
"Ya, tapi mereka adalah anak-anak yang pintar. Abi adalah anak yang baik. Dia pasti akan memilih barang yang juga disukai oleh kedua saudaranya." Arlyn menyeringai. Adrian terkejut dengan ucapan Arlyn. Hal itu tidak biasanya terjadi pada tiga orang anak kecil.
Dia merawat mereka dengan baik.
Hal itulah yang muncul di benak Adrian.
Seringai di bibir Arlyn menunjukkan kebanggannya terhadap ketiga anak yang tinggal bersamanya.
Adrian terpana dengan senyum licik di wajah Arlyn.
"Umi! Yang ini!" Abi memamerkan sebuah alat masak mainan dengan wajah penuh keyakinan. Azel dan Riel berdiri di sampingnya dengan ekspresi puas.
"Itu? Kau yakin?" Tanya Arlyn. Abi mengangguk cepat.
"Iya!"
"Baiklah." Arlyn menaikkan bahu.
Abi merapatkan bibirnya. "Umi sungguh akan membelikan ini? Kalau tidak jadi, tidak apa-apa! Sungguh!" Serunya. Riel dan Azel mengangguk angguk di sampingnya.
Arlyn menaikkan alisnya. "Tentu saja. Ini hari ulang tahunmu." Dia menyeringai. Memiringkan kepalanya ke arah Adrian.
Lagipula bukan dia yang akan membayar.
Melainkan pemuda dari keluarga kaya yang ada di sampingnya.
Adrian terperangah tapi langsung tersadar dan mengulurkan tangannya ke arah Abi. "Berikan padaku. Paman akan membawanya ke kasir. Kalian tunggu saja di sini."
Abi memandangi Adrian dan uluran tangan pemuda itu ragu, lalu menoleh ke arah Arlyn. Menerima tatapan balasan dari perempuan itu.
Abi memberanikan dirinya dan menyerahkan kotak mainan di tangannya pada Adrian yang langsung dibawa pergi oleh laki-laki itu.
Abi menontoni setiap gerak gerik Adrian yang menuju kasir. Melihat seorang perempuan dengan baju pegawai melakukan penscanan pada mainan pilihannya, dan menerima kartu yang diberikan oleh Adrian.
Begitu Adrian kembali dia menyerahkan kotak mainan itu kembali pada Abi yang langsung diterima oleh anak itu.
Abi tersenyum lebar sebelum perlahan menutup mulutnya. Menggigit bibir bawahnya.
"Terimakasih, paman Adrian." Ucapnya pelan. Merapatkan diri ke belakang kaki Arlyn. Arlyn menghela nafas dan menepuk kepala Abi.
"Sejak kapan kau jadi anak yang pemalu?" Arlyn mengerutkan kening.
Adrian di sisi lain terperangah dengan ucapan terimakasih Abi. Dia memasang senyum tipis. "Sama-sama."
Sejenak tidak ada yang bersuara. Riel terlihat bingung sedangkan Azel hanya menghela nafas. Arlyn lah yang pertama memecah keheningan.
"Karena barang yang dicari sudah dibeli, sekarang ayo pulang." Dia berbalik pergi. Membuat Adrian terkejut. Begitu juga dengan Abi. Riel berseru tidak terima.
"Apa?! Pulang?! Aku sudah berdandan!" Serunya mengusungkan dada. Memperlihatkan Arlyn baju yang dia kenakan. Satu satunya baju kemeja yang dibelikan oleh Arlyn untuk Abi dan dirinya.
Arlyn berwajah masam. "Memangnya kau mau apa lagi?"
"Jalan-jalan! Kami belum pernah ke sini!" Riel berseru rewel lagi. Abi di samping Riel mengangguk angguk was was.
Arlyn cemberut tapi kemudian melihat Azel yang menyangkutkan matanya pada sebuah toko pernak pernik.
Memang benar ketiga anak itu jarang sekali berjalan jalan. Itu karena Arlyn merasa dirinya tidak punya tenaga untuk mengawasi tiga anak sekolah dasar. Meskipun Azel menujukkan sikap yang dewasa, menuruti permintaan Arlyn untuk menjadi pengawas kedua adiknya yang lain, Arlyn masih merasa itu belum cukup. Bagaimanapun Azel masih hanya berumur 11 tahun. Dan Riel, meskipun dia selalu bilang kalau dia tidak akan terpisah, nyatanya ketika dia dibuat tertarik oleh sesuatu, maka dia tidak akan awas pada sekitarnya lagi.
Sedangkan Abi,
Arlyn melihat Abi yang menatapinya dengan mata memelas. Arlyn mengernyit terganggu dengan wajah masam. Tapi kemudian dia berpikir,
Baiklah, hanya untuk hari ini. Karena anak itu berulang tahun hari ini.
Arlyn menggeram tanpa suara. "Baiklah baiklah. Kita belum akan pulang. Kalian boleh berkeliling." Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar tempatnya berdiri. Terganggu dengan tidak adanya tempat duduk.
Dia berdecak dan mendekati Riel dan Abi. Meletakkan kedua tangannya di kepala kedua anak itu. "Kalian bertiga boleh pergi. Tapi berjanjilah untuk selalu bersama-sama."
"U- Umi tidak ikut?" Abi bertanya ragu-ragu. Merasakan ketakutan.
"Tidak. Aku lelah. Kalian pergilah." Arlyn menoleh ke samping. Ke arah dimana laki-laki yang memandanginya diam-diam berdiri.
"Aku yakin kau sudah sering ke sini. Apakah kau bisa membantuku mengawasi mereka?"
Adrian terkejut. "Y- Ya, tentu."
"Bagus. Kalau begitu kalian pergilah. Aku akan menunggu di sini." Arlyn meninggalkan keempat orang yang lain dan pergi menyender pada dinding mall. Melipat kedua tangannya di depan dada memandangi keempat orang yang menontoninya dengan ekspresi beragam. Adrian dengan wajah melongo. Azel dengan wajah bingung samar. Riel dengan ketidaksabarannya untuk segera pergi. Dan Abi dengan wajah sedih memandangi Arlyn.
Abi lah yang paling menarik perhatian Arlyn. Dia langsung menggoyangkan tangannya. Memberitahu Abi untuk segera pergi bersama kedua saudaranya dan juga paman yang akan mengawasi mereka bertiga.
Abi sedikit terkejut. Dia menundukkan kepalanya murung. Sembari memeluk kotak mainan di kedua tangannya dan mengikuti tarikan tangan Riel.
"Paman! Ada apa saja di tempat ini?" Riel bertanya antusias.
Adrian sedikit terkejut tapi dia langsung mendapatkan kesadaran dirinya.
"Apakah ada yang ingin kamu kunjungi?" Adrian bertanya pada dirinya sendiri tempat seperti apa yang kira-kira akan menarik perhatian anak-anak seumuran Riel Azel dan Abi. Adrian belum pernah berinteraksi dengan anak-anak. Hal itu membuatnya sedikit kikuk.
"Aku ingin bermain game! Aku belum pernah melakukannya. Umi selalu melarang!" Melas Riel. Adrian merapatkan bibirnya bingung.
Jika Arlyn melarang, apakah aku juga harus tidak mengikuti keinginannya?
Adrian bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tapi Riel sangat memelas dan dia benar-benar ingin bermain. Adrian bukanlah Arlyn yang bisa melarang dengan tegas.
Dengan ragu-ragu Adrian membuka mulutnya. "Baiklah. Kita akan pergi ke tempat bermain."
Mata Riel melebar berbinar.
"Yey! Sungguh??" Tanyanya memastikan. Adrian mengangguk.
"Ya."
Bahkan jika Arlyn melarang, Adrian akan membiarkan Arlyn memarahinya.
"Kakak juga mau kan? Abi?" Tanya Riel pada kedua saudaranya.
Azel memiliki wajah datar tapi dia diam-diam juga ingin bermain seperti Riel. Sama seperti adiknya, dia belum pernah pergi ke tempat bermain yang biasa dia lihat dan selalu menarik perhatiannya.
Dia mengangguk pelan. Sedangkan Abi memeluk kotak mainannya erat. Memandangi tempat duduk video game balapan mobil dengan bibir menempel rapat.
Dia selalu ingin memainkan itu. Dia sering melihat anak-anak yang terlihat lebih dewasa memainkannya dan mereka selalu terlihat bersemangat. Membuat Abi merasa bahwa memainkan itu akan membuatnya bersemangat juga.
Dia ingin mencobanya. Arlyn selalu melarang tapi Abi ingin mencobanya.
Dia mengangguk ragu-ragu. Riel menerima anggukan kedua saudaranya langsung mendongak kepada Adrian. "Ayo paman!"
Adrian dengan kikuk mengangguk. Memberitahu Riel bahwa dia harus membeli kartu dan mengisinya dulu. Riel tidak begitu mengerti tapi dia mengiyakan.
Riel Azel dan Abi berdiri bersama di dekat sebuah mesin bermain. Menontoni interaksi Adrian dengan penjaga kasir. Di luar dugaan mereka Adrian berbalik dan memanggil mereka.
"Azel, Riel, Abi, kemari."
Riel langsung berlari kecil menghampiri Adrian tapi Abi diam di tempatnya. Memeluk kotak mainannya. Azel melihat itu dan langsung menarik tangan Abi bersamanya.
Abi sedikit takut tapi dia tidak bisa menolak tarikan tangan Azel.
Begitu ketiganya berdiri di depan Adrian laki-laki itu meminta mereka untuk naik ke kotak untuk anak-anak. Membuat mereka bisa melihat apa yang tersaji di atas kaca kasir.
Abi hanya bisa melihat dengan matanya di atas permukaan kaca. Melihat enam kartu tersaji di sana.
"Kalian bisa memilih satu. Gambarnya berbeda-beda jadi kalian pilih yang kalian suka," ucap Adrian.
"Oh!"
Riel langsung mengambil keenam kartu di sana dan menunjukkannya pada kedua saudaranya.
"Kakak mau yang mana?"
Azel meneliti gambar di kartu satu persatu. Tidak lama kemudian dia memilih satu dan mengambilnya di tangannya.
"Abi! Giliranmu!" Riel menyodorkan lima kartu yang tersisa pada Abi yang masih memeluk kotak mainannya.
Abi memandangi kelima kartu itu ragu-ragu. Tapi perlahan tangannya mengambil satu.
Kartu itu memiliki gambar karakter kartun perempuan dengan rambut sebahu berwarna pirang. Menoleh ke samping dengan sorot mata datar. Karakter perempuan itu mengenakan tudung berwarna putih. Di sampingnya adalah pemandangan istana di atas langit biru cerah ber awan. Abi melihat karakter perempuan itu sebagai sosok bidadari. Dia merasa karakter di kartunya itu mengingatkannya pada seseorang.
Dia memandangi gambar di kartu di tangannya itu lekat. Sedangkan di sisi lain Riel juga sudah memilih satu dan meletakkan tiga kartu yang tersisa di atas kaca kasir. "Sudah paman!"
Adrian mengangguk. Kembali bicara pada perempuan kasir. Perempuan itu kemudian tersenyum dan mengulurkan tangannya pada ketiga anak yang menonton.
"Kakak pinjem kartunya dulu ya.."
Riel menurut dan menyerahkan kartunya. Begitupun dengan Azel. Sedangkan Abi menggenggam kartu itu ke dadanya.
Riel melihat itu dan mengambil kartu dari tangan Abi. Memberikannya pada sang penjaga kasir. Abi mengulurkan tangannya tidak rela.
"Tenanglah Abi. Kakak itu cuma akan mengisi kartunya agar kita bisa bermain. Kamu akan mendapatkan kartumu kembali!" Riel menepuk nepuk kedua bahu Abi dengan senyum lebar.
Sang penjaga kasir terkekeh dan melakukan pekerjaannya.
"Ini kartunya. Selamat bermain."
"Terimakasih kakak!"
"Terimakasih."
Riel berucap semangat dan Azel berterimakasih pelan. Sedangkan Abi hanya mengambil kartu dari sang penjaga kasir tanpa mengucapkan apa-apa.
"Ayo kita main!" Riel berkata pada kedua saudaranya dengan riang seraya melompat dari kotak pembantu.
Azel ikut melompat turun sedangkan Abi turun dengan gerakan pelan. Mengikuti arah lari Riel ke sebuah mesin permainan.
Yang pertama Riel lakukan adalah memainkan mesin pengambil boneka. Dia dengan instingnya menggesekkan kartunya dan langsung mengulurkan kedua tangannya menggerakkan tuas dan menekan tombol dengan telapak tangannya setelah naik ke kotak tangga.
Dia mengincar sebuah boneka kucing berwarna abu-abu dan dia mendapatkannya.
Dia tersenyum lebar dan mengambil boneka dari bagian bawah mesin.
"Kakak!" Riel mengulurkan boneka itu pada Azel.
Mata Azel sedikit melebar tapi langsung menerima pemberian Riel.
"Untukku?" tanyanya. Riel mengangguk dengan senyum lebar.
"Terimakasih." Azel berucap pelan.
Riel tidak merespon dan langsung menggesekkan kartunya lagi. Mengincar boneka lain dan kembali mendapatkan yang dia mau.
Dia mengambil boneka itu dan memberikannya pada Abi.
"Abi. Untukmu."
Abi memandangi boneka di kedua tangan Riel. Lalu mengambilnya dengan satu tangan. Memandanginya lagi.
Itu adalah sebuah boneka berbentuk naga kecil. Naga itu berwarna hitam dan memiliki pipi juga empat kaki yang tembam. Begitu pula dengan ekornya yang cukup panjang untuk dilingkarkan ke tubuh boneka itu. Sang naga memiliki mata yang besar dengan pupil berwarna biru. Di kepalanya ada dua tanduk kecil dan dua tanduk besar.
Sayapnya tidak begitu besar dan membuatnya terlihat imut. Riel merasa boneka naga hitam dengan mata biru itu sangat cocok dengan Abi.
Dia kemudian mengincar boneka untuk dirinya sendiri.
Itu adalah boneka kucing yang mirip dengan milik Azel. Dengan warna merah kecoklatan dan ukuran yang sedikit lebih kecil.
Riel mengulurkan boneka itu ke arah saudaranya. "Sekarang kita semua punya boneka kita masing-masing!"
Abi memandangi kedua boneka saudaranya lalu ke bonekanya sendiri.
Hanya dia yang memiliki boneka naga. Tapi, dia menyukainya.
Dia merasakan keterkaitan dengan boneka itu. Dia memeluknya. "Terimakasih, Riel."
Abi tersenyum. Riel tersenyum lebar.
"Sama-sama!"
Azel tersenyum melihat kedua adiknya. Memeluk bonekanya sendiri.
Adrian berdiri menontoni ketiga anak itu. Merasakan ikatan tak terputuskan di antara mereka.
Arlyn, wanita yang hebat.
Dia tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari ketiga anak itu. Sampai akhirnya Riel menyadari keberadaannya dan terlihat terkejut sebelum berbalik menggesek kartu dan memainkan mesin boneka itu lagi.
Dia mendapatkan satu boneka dan mengincar satu boneka sekali lagi. Setelah dia mendapatkan keduanya, dia berlari kecil ke arah Adrian dan mengulurkan salah satu boneka di tangannya.
"Paman! Untukmu!"
Adrian tidak menyangka dirinya akan mendapatkan satu juga.
Dia menerima boneka pemberian Riel. "Terimakasih."
Adrian memandangi boneka di tangannya. Berbeda dengan milik Riel Azel dan Abi yang besar, milik Adrian berukuran lebih kecil dan memiliki rantai gantungan kunci di bagian ekor. Itu adalah boneka tupai.
Terlihat lucu karena setengah tubuhnya berwarna abu-abu dan coklat, sedangkan bagian setengahnya yang lain berwarna kuning dan putih. Bonekanya berukuran sebuah telapak tangan orang dewasa seperti Adrian. Adrian memegang boneka itu di kedua tangannya dan merasa hatinya menghangat.
Dia tidak mengerti perasaan apa itu. Tapi apapun perasaan itu membawa kenyamanan di hatinya.
"Abi! Ayo kita mainkan game yang selalu kamu lihat itu!" Atensi Adrian teralihkan setelah mendengar seruan semangat Riel. Anak itu menarik tangan Abi hingga adiknya itu harus berlari kecil menyamai kecepatan langkah orang yang menariknya. Azel mengikuti kedua saudaranya tanpa suara.
"Duduk di situ." Riel mendudukkan Abi di kursi bermain. "Berikan kartumu."
Abi dengan ragu-ragu memberikan kartunya. Riel langsung mengambilnya dan menggesekkannya di bagian mesin bermain.
Abi kemudian melihat layar yang mulai berjalan. Menunjukkan barisan mobil.
"Three. Two. One. Start!"
Suara dari layar mengejutkan Abi.
"Apa yang kamu lakukan? Pegang stirnya. Injak itu!" Riel memberi instruksi.
Abi mengikuti instruksi Riel takut-takut. Dia memegang setir kecil di depannya dan menginjak pedal di dekat kakinya. Melihat mobilnya yang mulai berjalan di layar.
Adrenalin Abi mulai naik. Dia menggerak gerakkan stir sesuai instingnya.
"Injak remnya! Kau akan menabrak!" Riel memegang kursi bermain Abi kencang. Ikut merasakan ketegangan Abi. Abi mengikuti ucapan Riel sebelum kembali menginjak pedal gas. Membawa mobil yang dia mainkan ke garis finish di urutan terakhir.
Hal itu membuat Abi merasa tidak puas.
"Aku mau lagi."
"Lagi? Kau tidak mau mencoba permainan yang lain?"
"Tidak." Abi menjawab tegas. "Ini."
Riel terdiam sebelum terkekeh.
"Baiklah baiklah. Ayo main lagi." Dengan itu Riel menggesekkan kartu Abi lagi dan permainan dimulai.
Kali ini Abi memegang stir dan menginjak pedal gas tanpa instruksi. Menyelesaikan permainan hingga dia memperoleh posisi ketiga dari lima pemain.
"Lagi."
Riel mengedipkan matanya sebelum tertawa.
"Baiklah. Kali ini kamu akan mengincar posisi pertama." Riel menggesekkan kartu Abi lagi.
Azel menontoni kedua adiknya dari samping. Sampai sebuah permainan dengan gambar dinosaurus di layar dengan jarum menyerupai jarum jam menarik perhatiannya.
Dia memandangi permainan bergambar dinosaurus itu hingga Adrian menyadarinya.
"Kamu mau ke sana?" Tanya Adrian.
Azel tampak menontoni kedua adiknya yang tampaknya masih fokus pada permainan mereka dan akhirnya mengangguk.
Adrian tersenyum. "Aku akan menemanimu." Ucapnya.
Azel mengikuti Adrian. Meninggalkan kedua adiknya yang tenggelam pada permainan di depan mereka.
Azel memandangi dua tombol yang ada di mesin bermain.
Yang satu bertuliskan stop instantly sedangkan yang satu bertuliskan stop slowly. Dia tau arti keduanya.
Mengikuti yang dilakukan Riel, dia menggesekkan kartunya.
Jarum jam di mesin mulai berputar. Azel menyangkutkan matanya pada ujung jarum dan memencet tombol yang ada di kiri.
Ujung jarum berhenti di angka 25.
Azel mendengar sebuah suara dan menyadari sesuatu keluar dari sebuah lubang pipih horizontal di bagian depan bawah mesin.
Secara insting dia mengambil barisan tiket yang keluar. Dia memandanginya dan melihatnya yang berjumlah dua puluh lima.
Dia memandangi barisan angka melingkar di layar dan tangannya bergerak menggesek kartu lagi.
Sekali lagi dia memfokuskan matanya dan memencet tombol dengan telapak tangannya.
Ujung jarum berhenti di angka 50.
Barisan tiket keluar dari lubang pipih yang sama. Azel mengambilnya dan menggulungnya di tangannya.
Dia memandangi barisan angka lagi. Menemukan tulisan bonus di bagian atas.
Dia menetapkan tujuan dan menggesekkan kartunya.
Membiarkan jarum jam berputar beberapa kali. Sebelum dengan cepat menekan tombol.
Membuat ujung jarum berhenti di tulisan bonus. Dan barisan tiket keluar.
Azel melihat angka yang ada di layar.
100. Dia mendapatkan 100 tiket.
Azel diam-diam merasa bersemangat.
Dia membiarkan barisan tiket terjuntai ke lantai dan menggesekkan kartunya lagi. Kali ini berencana menekan tombol yang lain.
Dia menekannya.
Jarum jam berjalan selama beberapa detik sebelum berhenti di angka 25.
Barisan tiket yang terjuntai menjadi semakin panjang.
Azel menggesekkan kartunya lagi. Menekan tombol yang sama. Membuat barisan tiket bertambah banyak.
Dia melakukannya lima kali hingga juntaian tiket mencapai panjang yang cukup tak terhingga.
Dia mengambil tiket-tiker itu dan melipatnya sesuai garis pembatas. Membuatnya menjadi menyerupai tumpukan tiket setinggi lima centi meter.
Dia bisa memperoleh lebih tapi dia merasa cukup.
Azel membalikkan tubuhnya kearah Adrian. Adrian memiliki ekspresi terperangah.
Azel sangat pandai memainkan permainan yang satu itu. Dia memiliki mata yang tajam, sepertinya.
Adrian menyadarkan dirinya. Memasang senyum. "Ada permainan lain yang ingin kamu coba?"
"Hm." Azel mengangguk. Menyangkutkan pandangannya pada permainan memasukkan bola ke dalam lubang ber angka.
Dia bisa mendapatkan tiket lagi dari sana.
Dia memainkan permainan permainan serupa hingga suara Riel menarik atensinya.
"Kakak!"
Riel datang dengan Abi di sampingnya.
"Wah!" Terkejut melihat tumpukan tiket di tangan Azel.
"Kakak mendapatkan semua itu??"
Azel mengangguk.
"Aku juga mau coba!" Riel mengambil alih mesin permainan yang dimainkan Azel. Melihat lingkaran dengan angka yang berputar. Menekan tombol hingga sebuah bola menggelinding menuruni perosotan tembus pandang.
Bola itu berjalan jalan sebentar di atas lingkaran yang berputar, sebelum masuk ke sebuah lubang.
Lubang dengan angka 10.
Riel memandangi barisan tiket yang dia punya, kemudian melihat tumpukan tiket di tangan Azel. Merasa tidak puas.
"Aku ingin lagi!"
"Jangan membuat umi menunggu terlalu lama."
Ucapan Azel membuat bahu Riel menurun kecewa. Tapi kemudian dia berpikir kalau Azel benar. Mereka sudah bermain cukup lama.
Riel mengangguk. "Ayo kita tukarkan tiket tiket itu!"
Azel mengangguk setuju. Riel menarik Abi untuk ikut dengannya dan Azel ke kasir.
"Kakak! Kami ingin menukar ini!" Riel berucap. Meletakkan 10 tiket miliknya di atas meja kaca.
Sang penjaga kasir mengambil tiket Riel dan membuka mulutnya.
"Adik bisa memilih yang ada di bawah ini."
Tangannya menunjuk barisan barang-barang kecil dengan variasi angka 2 hingga 10.
Riel berwajah masam ketika melihat barisan barang yang tidak menarik perhatiannya.
Dia baru akan memilih dengan hati tidak rela tapi tangan Azel menahannya.
"Tunggu dulu."
Dia meletakkan tumpukan tiket miliknya.
Memandang tiket-tiket itu sebentar sebelum menarik sebagian dan menyimpannya di saku bajunya.
"Aku mau menukar ini." Azel berkata. Sang penjaga kasir mengambil tumpukan tiket itu dan menghitungnya menggunakan mesin.
Dia mengambil sebuah kertas kecil dan menuliskan sesuatu di sana dengan pulpen.
Memberikannya pada Azel. Kertas itu bertuliskan 5100.
"Kakak hebat!" Riel berseru kagum.
"Pilih yang kamu mau." Kata Azel.
Riel berbinar dan mulai memandangi barisan souvernir yang tertampil di balik kaca transparan.
"Aku mau itu!" Riel menunjuk sebuah jam. Azel mangangguk.
"Kami mau itu." Ucapnya.
Sang penjaga kasir meletakkan jam di depan mereka.
"Masih ada 3.500 lagi." Dia berkata.
Azel menoleh pada Riel. "Kamu mau apa lagi?"
Riel melebarkan matanya.
"Aku boleh memilih lagi?" Azel mengangguk. Melihat itu Riel mengedarkan pandangannya lagi dan akhirnya menunjuk sebuah bantal.
"Itu!"
Itu adalah sebuah bantal portabel. Yang memudahkan pemiliknya untuk membawanya kemana mana. Sang penjaga kasir mencoret angka di kertas dan menulis angka baru.
"Masih ada 510 lagi."
"Kakak dan Abi pilihlah. Aku sudah." Riel tersenyum lebar. "Gunakan poin punyaku juga."
Azel mengangguk. Menyangkutkan matanya pada barisan souvenir.
Dia memilih beberapa barang. Membuatnya hanya memiliki 200 poin tersisa.
"Abi. Giliranmu." Azel memberitahu.
Abi sejak tadi sudah memperhatikan setiap souvenir yang ada.
Dia sudah memilih satu.
"Aku mau yang itu."
***
Arlyn menghela nafas di tempatnya bersandar. Mengerutkan kening merasa waktu sudah berlalu cukup lama dan anak-anak itu belum kembali.
"Kemana saja mereka pergi?" Gerutunya.
"Umi!"
Suara familiar menarik perhatiannya. Riel, Azel dan Abi berlari bersamaan kearahnya. Arlyn menghela nafas lega. Merasa akhirnya dia bisa pulang.
Dia baru akan mengajak anak-anak itu untuk pergi ke area parkir tapi sesuatu terulur kearahnya.
Tiga benda.
Sebuah gantungan kunci dengan boneka kucing berwarna hitam. Sebuah kalung dengan bandul kecil berbentuk mutiara(yang Arlyn tau pastinya terbuat dari plastik), sebuah bantal, dan hiasan rambut berupa jepit yang memiliki hiasan bunga.
"""Selamat ulang tahun umi!""" Ketiga anak itu berucap bersamaan dengan nada mereka masing-masing. Riel dengan ceria. Abi dengan malu-malu. Dan Azel dengan datar.
Arlyn terdiam di tempatnya sebelum mengerutkan kening dan menghela nafas.
Bertarung dengan dirinya sendiri apakah dia harus menerima hadiah-hadiah dari anak-anak itu atau tidak.
Dia dengan ragu-ragu mengambil ketiga benda yang diulurkan padanya. Memandangi benda-benda itu dengan kening berkerut. Tapi memilih untuk menyerah.
"Terimakasih." Ucapnya setengah hati. Riel dan Abi langsung tersenyum lebar. Bahagia dengan Arlyn yang menerima pemberian mereka.
"Arlyn."
Kali ini Arlyn menoleh pada satu orang lagi.
Seorang pemuda yang lebih tinggi darinya. Memiliki senyum malu-malu. Menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
"Ini-"
"Tidak."
Adrian melongo di tempatnya.
"Darimana kau tau ulang tahunku?"
Adrian terperangah. "Uh, Abi memberitahuku bahwa ulang tahunmu sebentar lagi. Lalu mereka sempat bilang kalau mereka akan menghadiahimu barang-barang itu karena hari ini ulang tahunmu." Dia berujar kikuk. "A, Aku membeli-"
"Jangan coba-coba menghadiahiku. Simpan barang itu untukmu sendiri."
"...." Adrian terdiam dengan tubuh kaku.
"Sekarang ayo pulang. Aku lelah." Arlyn berkata dan berlalu pergi. Abi dengan riang mengikuti Arlyn dan menggenggam bahu bawah Arlyn. Dengan kedua tangan Arlyn yang penuh dengan barang-barang pemberian anak-anak asuhnya.
Riel yang tidak mengerti apa-apa menyusul Arlyn dan juga menggenggam baju bawah Arlyn di sisi yang lain. Sedangkan Azel yang bisa merasakan perasaan Adrian pun menggelengkan kepalanya simpati.
Adrian terdiam di tempatnya sebelum memaksa dirinya kembali sadar dan mengikuti keempat orang di depannya.
04/06/2022
Measly033