".....Hei."
Nevan tidak mendapat respon dari pemuda di depannnya.
Sudah sebulan setengah berlalu. Temannya bersikap seperti biasa. Terlalu biasa. Hal itu justru membuat Nevan khawatir jiwa temannya itu rusak.
Dia tidak menangis dan tidak marah. Dia tidak lagi melirik perempuan yang lewat.
Dia bersikap seperti Adrian yang biasanya. Adrian sebelum pertemuannya dengan Arlyn.
Tapi tingkahnya mengkhawatirkan.
Dia sering melamun, dan tidak jarang tidak menyadari Nevan yang mengajaknya bicara.
Mereka sedang berada di kantin kantor. Nevan memegang minumannya sedangkan Adrian menunduk memandangi layar hp di atas pahanya.
Lagi-lagi Adrian tidak menyadari panggilan Nevan kepadanya. Nevan membangkitkan tubuhnya. Menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Adrian. Membuat pemuda itu terkejut dan langsung memfokuskan perhatiannya pada Nevan.
"Apa?"
Nevan cemberut.
Begitu dia mendengar cerita dari Adrian hari itu, setelah usaha sulit tentunya. Temannya itu tidak menangis tapi dia berwajah kusut. Tenggelam dalam kepundungan. Nevan kesulitan mengajaknya bicara. Baru ketika Nevan mendatangi rumah pemuda itu di malam hari, menuntut penjelasan, akhirnya Adrian, dengan suara pelan menceritakan hal apa yang telah terjadi.
Penolakan Arlyn. Perkataannya yang memberitahu Adrian bahwa dia tidak bisa lagi menemuinya.
Nevan turut sedih namun di satu sisi dia bersyukur.
Dia lebih mendukung Adrian untuk mencari perempuan lain. Yang masih lajang. Dan tidak memiliki anak untuk diurus.
Tapi, setelah melihat tingkah lesu Adrian, Nevan jadi tidak tega.
Sedalam itu Adrian tertarik pada perempuan bernama Arlyn?
Nevan pribadi tidak melihat keistimewaan dari perempuan itu.
Perempuan itu tidak memiliki selera fashion. Di saat Nevan melihat sosok Arlyn untuk pertama kalinya waktu itu, perempuan itu hanya mengenakan celana bahan dan kemeja polos. Tanpa perhiasan. Dan tatanan rambutnya sungguh sederhana.
Nevan sama sekali tidak tertarik dengan perempuan seperti itu.
Grace nya adalah perempuan yang paling sempurna bagi Nevan. Dia selalu mengenakan pakaian menawan. Perhiasan senada, make up yang tepat, dan tatanan rambut yang memahkotai wajah cantiknya.
Apa yang membuat Adrian menyukai Arlyn? Nevan tidak mengerti.
Dia memilih untuk mencarikan Adrian perempuan seperti Grace, namun dengan kepribadian yang lebih pemalu. Nevan berpikir pasti Adrian akan terlihat cocok berdiri berdampingan dengan perempuan seperti itu.
Tapi tidak. Adrian tidak membiarkannya melakukan itu.
Lagipula yang terpenting bagi Nevan adalah kebahagiaan si sahabat. Jika dia menginginkan perempuan bernama Arlyn itu, maka Nevan akan membantunya.
Meringis membayangkan temannya itu merawat tiga anak yang bahkan bukan darah dagingnya.
"Kau. Datangi rumahnya lagi."
Adrian menaikkan alisnya pelan.
"Rumah siapa?"
Nevan berdecak. "Rumah Arlyn mu."
Mata Adrian melebar sedikit, sebelum wajahnya kembali datar.
"Tapi dia sudah bilang kalau aku tidak bisa menemuinya ...Anaknya tidak menyukaiku."
Dan Arlyn mengikuti kemauan anaknya. Hal yang membuat Adrian terpana, tapi juga merasakan lara.
Nevan menepuk meja. "Suap anak itu."
Alis Adrian terangkat. ".....Suap? Maksudmu?" Tanyanya bingung.
Nevan berujar yakin. "Tidak ada anak kecil yang tidak menyukai mainan dan makanan manis. Manfaatkan kekayaanmu. Berikan mereka coklat dan mainan bagus. Buat mereka menyukaimu."
Adrian menyimak ocehan Nevan.
"Kupikir Arlyn menyayangi anak-anaknya? Bukankah dia akan membuka hatinya padamu kalau kau menyenangkan anak-anaknya?"
Nevan membuka pikiran Adrian.
Adrian adalah orang yang kalem. Jika dia menerima penolakan, dia akan langsung menerima penolakan itu, tanpa memiliki pikiran untuk memberontak, atau membujuk.
Makanya Nevan mencoba membimbing Adrian.
Penolakan? Nevan adalah orang yang tidak menerima penolakan dari siapapun.
Adrian terdiam.
Apakah dia harus melakukan itu?
Sejujurnya dia tidak rela melupakan Arlyn. Dia merasa dirinya tidak akan mampu melakukan itu. Dan dia juga tidak mau. Sebenarnya.
***
Adrian pulang ke rumahnya begitu jam kerja selesai. Dikejutkan dengan pintu rumah yang tidak terkunci. Dia melihat dua pasang sepatu di rak dan langsung memiliki dugaan siapa yang saat ini sedang berada di rumahnya.
"Selamat datang kembali ayah."
Ferdi menyadari kepulangan putra tunggalnya. Dia menurunkan buku di tangannya dan menerima salam dari Adrian.
"My baby.."
Zana membuka kedua tangannya. Memeluk tubuh tinggi anak kesayangannya.
"Ibu sudah masak. Malam ini aku dan ayahmu akan menginap. Besok kami akan ke rumah." Dia mengusap kedua bahu Adrian. "Kita akan berbincang."
Zana tersenyum lebar. Adrian memberi senyum kecil.
"Bagaimana bisnismu?"
Ferdi membuka percakapan begitu ketiganya sudah duduk di bangku meja makan persegi panjang. Menggenggam sendok garpu masing-masing hendak menyantap makanan buatan Zana.
Zana mengomel. "Jangan membicarakan itu."
Adrian tersenyum. "Baik-baik saja, ayah."
Zana menghela nafas. "Apa kabar Nevan? Ibu merindukannya."
Sahabat putranya itu adalah anak yang baik dan ceria. Dia sudah banyak membantu Adrian yang pendiam.
Adrian mengangguk. "Baik, ibu."
Zana bergumam. "Jadi? Sudah ada perempuan yang menarik perhatianmu?"
Pertanyaan itu membuat gerakan tangan Adrian berhenti.
Zana menyadari itu dan membulatkan matanya. "Jangan bilang,"
Dia menyikut lengan suaminya. "Eddy!"
Ferdi mengangkat wajahnya datar. "Dia menolakmu?"
Adrian tidak bereaksi. Mulut Zana terbuka.
"Ada gadis yang menolakmu? Putraku??"
Zana tidak percaya. Putranya adalah laki-laki yang sempurna dan manis. Perempuan seperti apa yang bisa menolak putranya?
Dia mulai berpikir. Mungkin ini karma? Adriannya selalu menolak orang, dan kini hal yang sama terjadi pada dirinya.
Putranya terlihat murung. Zana tidak tega. Dia mengusap punggung tangan Adrian. "Kamu mau mencari yang lain? Bagaimana dengan anak-anak teman-teman ibu?"
Adrian perlahan menggeleng. Zana merasa bahunya melemas.
Dia melirik Ferdi. Melihat suaminya itu hendak memasukkan sendok ke dalam mulutnya.
'Lakukan sesuatu.'
Zana memelototi pria itu. Ferdi berada di antara hendak lanjut makan, atau menuruti permintaan istrinya.
Dia menghela nafas. Menurunkan sendoknya ke atas piring. "Adrian."
Mendengar ayahnya memanggil Adrian mengangkat wajahnya.
Ferdi tengah bertarung dengan dirinya sendiri. Dia bukanlah sosok orang yang bisa menyampaikan kata-kata dengan baik. Terutama kepada anaknya.
Dia berdeham. "Beritahu ibumu alasan kamu selalu menolak untuk dicarikan jodoh." Dia menjeda. "Beritahu ibumu perempuan seperti apa yang sebenarnya kamu cari?"
Jika Adrian menerima pertanyaan seperti ini, biasanya Adrian hanya akan memberi kekehan dan senyum canggung.
Tapi kini hatinya sedang tidak baik. Dan pikirannya agak kacau. Kata hatinya mendorongnya untuk bicara.
"...Aku hanya mau, menjadikan pasanganku nanti, pertama dan terakhir. Seperti ibu dan ayah ...Aku menunggu seseorang muncul dengan sendirinya di depanku." Adrian merapatkan bibirnya. "Aku sudah menemukannya ... Namanya Arlyn. Tapi,"
Adrian berhenti bicara. Zana terdiam.
Jadi putranya benar-benar sudah menemukan orang yang menguasai hatinya.
Tapi orang itu menolaknya.
Kenapa?
Zana membuka mulutnya. "Gadis seperti apa Arlyn ini?"
Adrian berbibir rapat. Namun kemudian dengan perlahan kedua ujungnya bergerak naik. Dia memandangi sendok ditangannya. "Aku juga tidak tahu. Dia hanya.."
Senyum jahil itu. Kesederhanaannya. Kepeduliannya kepada anak-anaknya.
Adrian menyukai dan mengagumi itu. Adrian memuja segala ciri-ciri Arlyn.
Dia baru bertemu dengan perempuan itu sekali. Di supermarket. Lalu selama dua hari, kurang lebih, dia mendapat kesempatan untuk berada di dekat Arlyn dan mengamati segala gerak-gerik perempuan itu.
Hanya dalam kurun waktu itu. Dia dibuat terpukau dengan segala tingkahnya.
Sikap cueknya. Suara tanpa perasannya. Tapi kelembutannya terhadap ketiga anaknya.
Adrian tidak bisa melupakan itu.
Zana tidak mendapat jawaban dari putranya mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.
Ferdi di sisi lain terperangah dengan pikiran polos anak itu.
"Pertama dan terakhir?" Dia mengamati sosok putra yang duduk agak jauh darinya. "Kamu benar-benar menginginkan itu?"
Pemikiran seperti itu terlalu idealis, polos, dan menyulitkan diri sendiri.
Adrian mengangguk. Lalu mengangkat wajahnya membalas pandangan ayahnya.
"Bukankah ayah dan ibu seperti itu?"
Mulut Zana terbuka. Ferdi berekspresi kosong.
"Aku? Benar. Ayahmu? Omong kosong." Zana memberi lirikan mencemooh pada suaminya. "Ayahmu sudah memiliki hubungan 12 kali sebelum bertemu dengan ibumu ini." Dia mengetuk meja dengan ujung jarinya. "Ayahmu memberitahumu itu? Kapan?"
Adrian dengan perlahan menjawab. "...Waktu saat aku SD."
Zana mengeluarkan tawa mencemooh pendek. "Eddy! Berani-beraninya kau membohongi anakmu sendiri!"
Suaminya adalah definisi dari playboy. Namun kemudian berhenti begitu bertemu dengannya.
Zana tidak akan menyangkal. Dirinya dulu adalah mahasiswi pendiam biasa. Namun tiba-tiba Ferdi mendatanginya, mengajaknya berkencan.
Zana awalnya menolak, tapi laki-laki itu terus mendekatinya. Zana akhirnya membiarkannya.
Ferdi bersikap begitu perhatian padanya. Ferdi bahkan memujanya. Untuk alasan yang sampai sekarang belum Zana ketahui dengan jelas.
Jadi putranya ingin memiliki hubungan seperti itu dengan pasangannya? Dengan Arlyn itu, mungkin.
Itu, menggemaskan. Bagi Zana keinginan anaknya itu sangatlah menggemaskan.
Dan romantis. Adriannya adalah laki-laki paling sempurna yang pernah ada.
Putranya menginginkan perempuan bernama Arlyn itu? Putranya akan mendapatkannya.
Akan Zana buat keinginan romantis itu menjadi nyata.
Betapa indahnya.
Zana menanti waktu dimana dia bisa melihat putranya, merengkuh seorang perempuan yang merupakan cinta pertama dan terakhirnya.
Hal itu akan menjadi pemandangan yang bagai keluar dari buku novel yang dulu Zana baca.
Dan yang akan menjadi karakter laki-lakinya adalah putranya.
Zana tidak bisa menahan kebahagiaannya.
Ferdi membuka mulutnya. "Sesuatu seperti pertama dan terakhir tidaklah nyata, Adrian."
Kata-kata ayahnya membuat pilar keteguhan Adrian runtuh.
Selama sebulan setengah ini keraguan mulai muncul di hatinya. Menghancurkan segala keyakinannya.
Bahwa yang namanya pasangan untuk pertama dan terakhir tidaklah nyata.
Bahwa keinginannya hanyalah pemikiran polos belaka.
Bahwa dia benar-benar tidak lagi bisa mengikuti kata hatinya untuk bersama Arlyn.
Dan kata pertama dan terakhir untuk pasangannya nanti---yang Adrian ragu akan muncul---tidak akan bisa berlaku lagi.
Zana mendengar ucapan suaminya langsung menyikut lengah pria itu. "Jangan asal bicara. Cinta pertama dan terakhir adalah nyata dan anakku akan memilikinya."
Dia memegang punggung tangan anaknya. "Pinta bantuan Nevan. Aku yakin dia tahu tentang masalahmu. Ikuti usulan darinya."
Nevan tidak lah berbeda jauh dari suaminya. Tapi berbeda dengan Ferdi yang berkepribadian dingin dan cuek, sahabat putranya adalah laki-laki yang ceria dan gemar menolong. Anak itu pasti akan menjadi penolong putranya. Zana akan menyerahkan Adrian pada Nevan.
***
"Mengerti? My friend." Nevan menepuk bahu Adrian.
Adrian memberikan gumaman.
Nevan tersenyum puas. "Pergilah. Kabari aku nanti."
Adrian meyakinkan hatinya lalu menginjak pedal gas. Nevan menontoni mobil sahabatnya meninggalkan area parkir toko cokelat.
Adrian sedang mengamati jalanan ketika tiba-tiba kaca jendela di samping kanannya diketuk oleh seseorang. Matanya melebar begitu melihat sosok yang menjadi pelaku pengetukan tersebut.
Dia menekan tombol menurunkan kaca. "Ibu,"
Seorang wanita paruh baya. Dengan wajah yang mulai keriput. Beliau memegang payung dan berpakaian seperti waktu itu. Hampir sama persis. Membuat Adrian dengan mudah mengenalinya.
Sang wanita paruh baya memijak beton trotoar pinggir jalan dan Adrian yang hendak berbelok memosisikan mobilnya di samping area pejalan kaki tersebut. Membuat wanita itu dengan mudah menghampiri mobilnya.
Adrian baru mendorong buka pintu mobilnya sedikit sebelum suara wanita itu menghentikannya.
"Tidak usah keluar mas. Saya cuma mau nyapa. Mobil mas gampang dikenal." Wanita itu terkekeh.
Adrian memberi senyum canggung. "Um, ibu mau kemana. Mau saya antar?"
Leta menggoyangkan tangannya. "Saya mau ke rumah mba Arlyn."
Mata Adrian melebar. "..Arlyn?"
Wanita itu mengeluarkan kekehan kecil. "Iya. Mas mau kemana?"
Adrian tersenyum canggung. Meremas pergelangan tangan kirinya. "..Saya juga mau ke sana."
Leta mengedipkan matanya. Beberapa dugaan tercipta di benaknya. Dia menutup mulutnya dengan satu tangan.
"..Bu. Ibu bisa menumpang. Saya bisa mengantar."
Mendengar itu Leta menimbang-nimbang. Dia kemudian mengangguk. Adrian tersenyum kecil. Hendak keluar dari mobil tapi Leta menghentikan.
"Tidak usah. Saya bisa membuka pintu sendiri." Leta melangkah lebar ke arah pintu belakang. Membukanya.
Mata Adrian melebar. "Ibu bisa duduk di depan."
Leta dengan buru-buru menutup payungnya dan membawa tubuhnya menduduki kursi mobil. "Tidak tidak. Saya di belakang sini saja."
Adrian hendak membantah tapi klakson dari kendaraan di belakangnya mengharuskannya untuk melupakan niat tersebut.
Leta dengan ragu namun blak blakan di saat yang bersamaan membuka mulutnya. "Mas kenal mba Arlyn?"
Adrian menjawab kikuk. "Waktu itu saya--"
Dia menutup kembali mulutnya.
Waktu itu saya apa? Melihatnya di supermarket lalu langsung jatuh cinta?
Dia merasa pipinya memanas.
Benar. Dia jatuh cinta pada Arlyn.
Sebelumnya dia kesulitan mencari istilah yang tepat tentang perasaannya.
Namun kini dia menemukannya.
Dan dia merasa senang akan hal itu.
Leta, di sisi lain dibuat sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Mba Arlyn itu orang yang baik loh mas."
Leta memutuskan untuk membuat pemuda yang duduk di depannya itu semakin dibuat tertarik kepada perempuan muda yang dia panggil sebagai mba Arlyn.
Tanpa mengetahui bahwa bahkan tanpa Leta melakukan itu pun, pemuda itu sudah sepenuhnya tunduk pada segala pesona yang dimiliki si perempuan.
Adrian tidak menduga Leta akan mengatakan itu. Namun dia kemudian mengangguk. Senyum samar terpasang di wajahnya.
"Iya. Dia orang yang baik."
Dia belum lama mengenal sosok Arlyn tapi dia yakin akan hal itu.
Caranya bersikap pada Abi, Riel dan Azel membuat Adrian meyakini itu.
Leta mengusap luaran payungnya. "Kalau saya boleh cerita ya mas. Saya kenal Mba Arlyn itu, 6 tahun lalu."
Adrian menggerakkan bola matanya ke arah kaca depan. Melihat sosok Leta dari pantulan cermin.
Leta melanjutkan ceritanya. "Saya tidak punya penghasilan setelah suami meninggal. Anak-anak saya,"
Leta menghela nafas.
"Mereka sudah sibuk dengan keluarga mereka sendiri. Saya sebagai ibu tidak mau merepotkan."
Dia menolehkan kepalanya ke samping. Menontoni pergerakan pemandangan di luar kaca mobil yang ditumpanginya.
"Waktu itu mba Arlyn masih 19 tahun. Tapi kepribadiannya mas,"
Leta tersenyum puas mengingat masa lalu. "Waktu itu saya lagi di halte. Mba Arlyn lagi duduk saya ajak ngobrol."
Dia terkekeh. "Saya cerita masalah saya. Lalu, dia menawari saya berjualan kue."
Adrian menaikkan alis. "Kue?"
Leta mengangguk. "Mba Arlyn itu pintar bikin kue loh mas. Mas pasti suka."
Adrian mendengar itu dibuat membayangkan dirinya memakan makanan buatan Arlyn. Hal itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Mba Arlyn itu sudah tidak punya orangtua. Dia juga tidak punya saudara yang bisa dia hubungi. Dia sendirian di rumah. Cuma punya warisan dari orangtuanya."
Leta menghela nafas sedih. "Tapi dia anak yang kuat. Saya sebagai yang sudah tua kagum. Dia suka membuat kue jadi dia buka toko begitu mas." Leta tersenyum lebar. Adrian terperangah dengan fakta baru tentang Arlyn.
"Lalu mba Arlyn mengajak orang-orang seperti saya bekerja untuk dia." Leta terkekeh. "Jadi toko kue mba Arlyn itu isinya orang tua semua."
Adrian yang mendengarkan cerita Leta dibuat sibuk dengan pikirannya.
Sosok Arlyn mengejutkannya lagi.
Arlyn nya. Perempuan itu. Membantu orang-orang seperti bu Leta untuk mendapat penghasilan untuk hidup?
Hal itu tentu membuat kagum Adrian.
Leta tidak menerima respon dari Adrian tapi bisa melihat keadaan wajah laki-laki itu.
Leta tersenyum puas.
Mereka akhirnya tiba di depan rumah Arlyn. Leta keluar begitu mendengar suara tanda kunci pintu dibuka. Adrian menenangkan dirinya. Dia keluar dari mobilnya. Membuka kap bagasi. Mengeluarkan bingkisan pilihan Nevan.
Leta melihat itu dibuat penasaran. "Itu apa mas?"
Adrian terperanjat. "I- Ini,"
Dia memandangi tumpukan box yang diikat dengan pita di tangannya.
Leta memiliki dugaannya sendiri dan terkekeh.
Anak muda.
Dia akan turut senang dengan Arlyn jika pemuda di depannya ini benar-benar tertarik dengan bos muda nya itu. Leta tanpa kesulitan memiliki dugaan bahwa pemuda yang belum dia ketahui namanya ini adalah anak dari keluarga berada.
Lihat saja mobilnya.
Dan penampilan mempesonanya.
Bahkan Leta yang sudah bersuami dan berumur pun dibuat terkagum-kagum dengan sosok si pemuda.
Leta bertanya-tanya apakah Arlyn, bos nya itu sudah menghabiskan waktu dengan laki-laki ini tanpa dia ketahui.
Siapa yang mendekati siapa, Leta penasaran.
Tapi mengingat kepribadian Arlyn, tidak mungkin anak itu yang mendekati si laki-laki.
Pasti kebalikannya.
Yang berarti,
Leta dibuat terkesiap.
Betapa menggemaskannya.
Bagaimana hubungan antara Arlyn dan laki-laki ini tercipta?
Leta mengharapkan jawaban.
Dan yakin dirinya akan mendapatkan jawaban itu cepat atau lambat.
Leta dengan bibir tertarik kesamping membuka mulutnya. "Ayo mas."
04/06/2022
Measly033