"Umi!!!"
Salah satu anak laki-laki melangkah lebar menuju Arlyn. Tubuhnya hanya setinggi perut orang dewasa yang kedua pahanya dipeluk olehnya.
Arlyn menggerakkan tangannya. Menepuk kepala anak yang memeluk tubuh bawahnya.
"Kalian sudah makan?"
Anak yang memeluk pahanya tidak merespon. Sedangkan dua anak lainnya, perempuan dan laki-laki, menggelengkan kepala mereka. Arlyn bergumam. "Akan ada tamu yang berkunjung ke rumah."
Anak yang kepalanya dipegang oleh Arlyn mendongak. "Tamu? Nenek Leta?"
Arlyn tidak merespon. Dia menolehkan kepalanya. Melihat Adrian sudah keluar dari mobilnya. Satu tangannya menggenggam bungkusan makanan pesanan Arlyn.
Ketiga anak di sana memandangi sosok Adrian dalam diam.
Adrian merasa canggung dipandangi seperti itu. Arlyn menyadari itu dan mencemooh. "Kau terganggu dipandangi tiga anak kecil? Kau pikir apa yang akan kurasakan dipandangi olehmu terus menerus?"
Adrian terpukul. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi menahan dirinya.
Yah, Arlyn sebenarnya tidak merasa bermasalah sih. Adrian bisa memandanginya sebagaimana dia mau, dan Arlyn tidak akan membiarkan dirinya terganggu.
"Kalian tidak mau memberi salam?" Tegur Arlyn.
Ketiga anak Arlyn dengan gerakan murung menghampiri Adrian. Mengulurkan tangan mereka. Adrian dengan canggung menerima salaman mereka.
"Ayo masuk." Suruh Arlyn.
Anak yang paling kecil, yang tadi memeluk paha Arlyn, langsung menggerakkan tangannya meremas pakaian bawah Arlyn. Sesekali menolehkan kepalanya ke belakang atas, mengintip Adrian yang berjalan di belakangnya. Begitupun dua anak lainnya.
Yang paling besar adalah yang perempuan. Mereka berdua sama-sama melirik lirik Adrian. Seolah mewaspadai keberadaan laki-laki dewasa itu. Adrian merasakan firasat buruk.
Dia berpikir.
Haruskah dia pulang? Haruskah dia menyerah mengikuti kata hatinya?
Tapi, Adrian tidak mau.
Hatinya memaksanya untuk terus berada di dekat Arlyn. Jika tidak, dia hanya akan merasa gelisah. Membuat pikirannya direnggut oleh keberadaan sosok perempuan itu.
Dia menelan ludahnya.
Apapun yang akan terjadi nanti, Adrian akan menghadapinya.
Arlyn membuka pintu rumahnya. Mendorong pelan ketiga anaknya untuk masuk. Lalu berbalik kearah Adrian.
"Masuklah."
Adrian dengan kikuk menganggukkan kepalanya kecil. "Permisi.."
Ketiga anak Arlyn berdiri berkumpul. Mereka mengawasi interaksi antara Adrian dan umi mereka.
"Letakkan barang-barang kalian di kamar. Ganti baju atau tidak, terserah. Ada makanan untuk kalian." Perintahnya.
Ketiganya terlihat ragu. Tapi akhirnya menurut. Mereka berbalik pergi. Membuat Adrian hanya berdua bersama Arlyn di dekat pintu yang sudah tertutup.
Adrian membawa matanya memandangi Arlyn.
Arlyn membuka mulutnya seraya mengambil kantong plastik dari tangan Adrian. "Kau memikirkan apa?"
Adrian terlonjak.
Dia ingin mengucapkan sesuatu. Dia ingin bertanya. Mungkin.
Tapi lidahnya kaku. Dia bertanya-tanya apakah Arlyn akan protes dirinya tidak mendapat jawaban. Tapi Arlyn hanya melenggang pergi ke area dapur. Melakukan sesuatu pada bungkusan di tangannya, lalu kembali dengan piring. Meletakkan barang-barang di tangannya di atas meja.
"Ah."
Arlyn bersuara. Membuat Adrian langsung memfokuskan perhatiannya pada perempuan itu.
Yang sebenarnya konyol karena, sejak awal matanya memang tidak pernah terlepas dari Arlyn.
Arlyn kembali membuka mulutnya. "Aku tidak terpikirkan kau akan berkunjung jadi aku hanya membeli tiga." Dia menolehkan wajahnya pada Adrian. "Apa kau lapar?"
Adrian terdiam sebentar sebelum menggeleng. "Tidak."
Adrian bukan tipe orang yang harus makan sehari tiga kali. Dia tidak masalah tidak makan siang.
Arlyn memasang senyum. Tidak perlu dijelaskan lagi perasaan apa yang melingkupi dada Adrian. "Baguslah kalau begitu. Kau duduklah. Kita akan menonton tiga anak itu makan."
Adrian masih belum beranjak. "Kau tidak makan?"
Adrian melihat Arlyn menggeleng. "Aku tidak makan siang."
Adrian reflek ber oh tanpa suara. Tanpa sadar merasa senang karena mendapat satu info tentang Arlyn.
"Kemari. Duduk di situ." Arlyn menunjuk salah satu kursi yang mengelilingi meja makan bundar dengan satu vas bunga berisi bunga petikan yang Adrian tidak ketahui namanya apa.
Adrian dengan gerakan hati-hati mendudukkan dirinya. Melihat Arlyn yang kemudian duduk di kursi di sebelahnya.
Adrian mempersiapkan dirinya untuk membuka percakapan. "...Kau suka bunga?"
Arlyn menggeleng. "Azel suka bunga. Dia menanam beberapa tanaman bunga di belakang."
"Oh."
Adrian memandangi bunga di depannya. Bunga itu memiliki kelopak berwarna putih.
"Yang mana Azel?" Dia bertanya.
Arlyn menoleh. Melihat ketiga anaknya sudah kembali. Berdiri diam empat meter dari meja makan.
"Kalian duduklah." Panggilnya.
Mereka diam sebentar. Sebelum dengan perlahan membawa tubuh mereka duduk di ketiga kursi yang tersisa.
Yang paling kecil duduk di sebelah Arlyn. Yang perempuan duduk di sebelah Adrian. Tidak canggung. Tapi menolak untuk melirik Adrian. Sedangkan yang satu lagi duduk di antara kedua saudara saudarinya.
"Ini Adrian. Panggil dia-- kau mau mereka memanggilmu apa?"
Adrian tidak menyangka Arlyn akan bertanya padanya. "....Paman?"
Mereka adalah anak Arlyn. Adrian pikir sudah sewajarnya mereka menyebutnya dengan sebutan itu.
"Oke. Kalian panggil dia paman. Adrian, ini Abi, Riel, lalu Azel."
Ketiganya memandang ke arah Adrian. Azel, anak perempuan yang duduk di sebelah Adrian melirikkan matanya ke arah pemuda itu. Ingin melihat, tapi ragu-ragu.
"....Senang bertemu kalian." Adrian menyapa canggung.
Arlyn menggerakkan kedua tangannya. Meletakkan tiga bungkus makanan di hadapan ketiga anak di meja.
Azel melihat jumlah makanan yang ada mengangkat wajahnya.
"Umi tidak makan?"
Arlyn menggeleng. "Kalian cepat makan. Jangan lupa mencuci piring sendiri."
Yang bernama Riel memiliki wajah kaget sebelum berbicara. "Ini, bukannya ini mahal?"
Arlyn langsung mengangguk. "Benar. Makanya kalian harus memakannya sampai habis atau paman Adrian akan marah." Dia memiringkan kepalanya kearah Adrian. Memberi senyum licik.
Ketiga anak di dekatnya memberi pandangan mereka pada Adrian. Adrian dengan ragu-ragu membuka mulutnya.
"Kalau kalian suka kita bisa beli lagi." Dia memberi tahu. Arlyn menggeleng tidak setuju.
"Membeli makanan mahal hanyalah membuang buang uang. Aku membeli ini dengan uang paman ini. Kalian berterima kasihlah."
Azel dan Riel mengucapkan terimakasih pelan. Sedangkan Abi tidak kunjung membuka mulutnya. Memandang Adrian dalam diam.
"Cepat makan." Titah Arlyn kepada ketiga anaknya.
Adrian melihat Riel dan Azel menggerakkan tangan mereka membuka bungkusan makanan. Memindahkan isinya ke dalam piring. Lalu mulai menggunakan sendok dan garpu mereka.
Riel berujar. "Umi.. Tidak perlu membeli ini lagi. Waktu itu aku hanya main-main."
Dia memelas. Arlyn mendengus. "Dengan memandangi gambar mereka setiap hari?"
Riel menundukkan wajahnya.
"Jangan khawatir. Aku tidak menggunakan uang kita. Paman ini punya banyak uang. Bukan begitu?"
Adrian melihat Arlyn memandanginya dengan senyum khas nya.
Adrian merasa canggung mendengar kalimat itu dikatakan terhadapnya.
"Benarkah?"
Riel mengangkat wajahnya. Memperhatikan Adrian dengan wajah lucu. Adrian menelan ludahnya.
"...Ya.."
Arlyn terkekeh. "Sekarang kalian makanlah. Tunjukkan pada paman ini kalau kalian suka makanannya."
Riel dengan semangat menyendok makanan dan memasukkannya ke mulutnya. Azel melakukannya dengan lebih tenang. Sedangkan yang paling kecil, Abi, tidak menggerakkan tangannya yang dia letakkan di atas pahanya.
Arlyn memiringkan kepalanya. "Kau tidak makan?"
Abi menggigit bibirnya.
"Umi."
Arlyn diam menunggu anak itu melanjutkan kalimatnya.
".....Apakah umi akan mengembalikan kami ke panti?"
04/06/2022
Measly033