"This one. This one. And this one."
Nevan mendorong kain-kain pakaian di tangannya pada tubuh Adrian. Adrian mengangguk menurut.
Dia mengenakan lapisan-lapisan pakaian yang dipilihkan oleh Nevan. Dan keluar dari kamarnya begitu dia sudah berpakaian rapih.
Nevan bersiul. Kemudian melipat kedua tangannya di depan dada. "Dia benar-benar memberitahumu untuk tidak membawakan apapun?"
Adrian mengangguk membenarkan. "Hm."
Nevan bergumam. "Aku selalu membawakan bunga untuk Grace. Dan dia selalu senang. Dia akan mengajakku untuk berfoto, dan dia akan memamerkannya si sosial medianya. Tapi perempuan itu, Arlyn. Memberitahumu untuk tidak membawa apapun?"
Adrian mengangguk lagi. Nevan sibuk dengan pikirannya. Perempuan macam apa Arlyn ini?
Dia mengesampingkan pemikiran itu dan menepuk bahu Adrian. Menggiringnya ke teras dimana mobilnya terparkir.
"Pergilah. Hubungi aku jika ada kesulitan."
Adrian tersenyum kecil. "Aku pergi."
Nevan mengangguk dan tersenyum puas. Menonton mobil sahabatnya melaju meninggalkan rumahnya.
Adrian tiba di depan rumah Arlyn. Langit sudah mulai terik. Pukul sudah menunjukkan pukul 12 siang. Waktu yang sudah disetujui olehnya dan Arlyn.
Dia membayangkan dirinya akan makan siang dengan Arlyn. Untuk sisanya, mungkin dia akan membiarkan Arlyn memilih. Mungkin dia ingin menonton bioskop? Seperti orang-orang lainnya?
Adrian memutuskan untuk tidak banyak berpikir. Dia membawa langkahnya ke depan pintu rumah Arlyn. Menekan tombol bel.
Beberapa detik berlalu. Ada suara seseorang melangkah di balik pintu. Membuka kunci. Lalu membuka kenop. Kemudian, sosok Arlyn muncul melalui pintu terbuka.
"Oh. Hai. Kau datang?" Sapanya.
Adrian tersenyum kikuk. "....Apa kau sudah siap?"
Arlyn mengedikkan sebelah bahunya.
Dia tidak mempersiapkan diri sama sekali. Dia hanya melakukan rutinitasnya seperti biasa. Dia mengenakan pakaian sederhana. Dia tidak merapihkan rambutnya dan hanya mengikatnya longgar.
Tapi dia hanya akan pergi ke mall. Bukannya acara apapun. Dan mungkin dia akan membuat laki-laki di pintu rumahnya ini kehilangan ketertarikannya pada dirinya.
Tidak buruk.
Arlyn tidak membawa apapun kecuali sebagian uang miliknya dan kunci rumah.
"Ayo."
Dia mendahului Adrian menuju mobil dan duduk di depan seperti kemarin.
Mereka tiba di mall. Keduanya jalan beriringan. Adrian merasa gugup tapi perempuan di sampingnya tidak terlihat begitu sama sekali.
"Ayo kesana."
Arlyn menunjuk salah satu restoran di mall dengan dagunya. Adrian mengiyakan.
"Oke."
Seorang pramusaji mendekati mereka.
"Untuk berapa orang?"
"Tidak ada. Kami akan membeli makanan untuk dibungkus." Jawab Arlyn.
"Baik. Silahkan langsung ke kasir."
Adrian terdiam. "....Kau tidak makan?"
Arlyn mengangkat bahu. "Makanan di sini mahal."
Adrian reflek menaikkan alisnya. "...Aku akan membelikannya untukmu. Kau masih tidak mau?"
Arlyn menggeleng. Membuat Adrian bingung. Kalau begitu, kenapa Arlyn membawa mereka kesini? Arlyn ingin membungkus makanan untuk siapa?
Adrian dibuat bertanya-tanya tapi dia tidak mengatakan apapun. Lagipula dari awal dia berniat untuk mengikuti kemauan Arlyn. Selama dia bisa melihat wajah perempuan itu, dia tidak akan mempermasalahkan apapun.
"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?"
Arlyn langsung menjawab. "Pesan paket nomor 3. Dibungkus. 3."
"Baik. Paket nomor 3. Dibungkus 3 ya." Sang penjaga kasir menekan tombol-tombol di layar komputer di depannya. "Totalnya jadi 232 ribu rupiah. Cash atau kartu?"
Arlyn langsung menyingkir. Mempersilahkan Adrian untuk membayar. Adrian memberikan kartunya.
Selesai membayar Arlyn menghampiri salah satu kursi tunggu. Adrian mengikutinya.
Mereka duduk bersebelahan. Menunggu makanan pesanan Arlyn selesai dibuat.
Arlyn menyenderkan punggungnya pada dinding restoran. "Adrian."
Adrian sejak tadi tidak mengalihkan pandangannya dari Arlyn. Terkejut mendengar perempuan itu menyebut namanya untuk pertama kali.
Arlyn dengan mata tidak peduli menoleh pada laki-laki di sampingnya.
"Kau bilang kau melihatku di supermarket? Kapan?"
Adrian merasa sedikit kecewa karena Arlyn tidak mengingatnya. Itu artinya dirinya tidak menarik sama sekali bagi Arlyn.
"...Waktu itu aku hendak mengambil keju. Lalu tanganmu terulur ke benda yang sama."
Arlyn mengernyit. Ingat dengan jelas kejadian waktu itu.
"Jadi kau pria waktu itu?" Tanyanya tidak peduli.
Adrian melebarkan matanya.
"Kau ingat?"
Arlyn berdecak. "Tentu saja. Aku tidak pikun."
Dia kemudian menyadari sesuatu.
"Kau tertarik padaku waktu itu? Langsung? Apa yang membuatmu tertarik? Aku tidak melakukan apapun selain mencuri bahan makanan darimu."
Arlyn mengerutkan kening. Menunggu respon seperti apa yang akan diberikan laki-laki itu.
Adrian dibuat berpikir oleh pertanyaan itu.
Benar. Apa yang membuatnya tertarik pada Arlyn?
Tapi, semuanya terjadi begitu saja.
Senyum itu. Adrian belum pernah melihat senyum seperti itu sebelumnya.
Dan ketika dia melihat sikap Arlyn waktu itu, dia hanya tau.
Perempuan ini berbeda.
Sisanya, insting dan kata hatinya yang membuat Adrian kini duduk dan memandangi wajah Arlyn.
Kata hatinya mengatakan, perempuan ini harus selalu berada di dekatnya. Adrian harus selalu bisa memandangi wajah Arlyn.
Dan dia ingin melindungi perempuan itu. Adrian merasa, apapun permintaan Arlyn, dia akan melakukannya. Apapun yang diinginkan Arlyn, Adrian akan memberikannya.
Pemikiran seperti ini, agak aneh. Tapi Adrian tidak bisa menolaknya.
Bibir Adrian mulai bergerak. "...Kau, berbeda."
Mulut Arlyn terbuka. Wajahnya menunjukkan kernyitan kening penuh keheranan. "Ha?"
Adrian menunduk. Membuat matanya memandangi lantai mall.
Hanya Arlyn yang membuatnya merasakan ini.
Bagaimana Adrian harus mengatakannya?
Arlyn melihat Adrian yang tampak sibuk bertarung dengan dirinya sendiri. Arlyn menolehkan matanya ke kaca mall dimana dia bisa melihat pemandangan langit siang dan gedung-gedung di luar.
"Tidak perlu menjawab. Aku tidak butuh jawabanmu." Ucapnya acuh.
Selama Adrian tidak membuat Arlyn merasa terganggu, maka Arlyn akan membiarkan laki-laki itu melakukan apa yang dia mau.
Adrian mendengar ucapan Arlyn langsung menutup mulutnya.
Perempuan itu bilang dia tidak membutuhkan jawabannya.
Di sisi lain Adrian bersyukur Arlyn mengatakan itu. Karena dia sendiri juga terlalu bingung dengan jawaban seperti apa yang harus dia berikan.
"Mas."
Penjaga kasir tadi mengangkat tangannya. Berusaha membuat Adrian menyadari panggilannya. Di sebelahnya satu bungkus plastik tersaji di atas meja kasir.
Arlyn membawa tubuhnya bangun. Menghampiri bungkusan makanan pesanannya itu dan berbalik setelah mengucapkan terimakasih pada sang penjaga kasir. Adrian menghampirinya.
"Biar aku yang membawanya." Ucapnya.
Dia menjulurkan tangannya. Arlyn memandangi tangan Adrian, mendongak melihat wajah laki-laki itu, sebelum dengan ringan hati menyerahkan bungkusan di tangannya. Adrian langsung menerimanya.
Dia terdiam sebentar sebelum bertanya. "...Apakah ada hal lain yang ingin kau lakukan?"
Arlyn langsung menjawab. "Tidak. Kita bisa pulang. Ke rumahku, tentunya. Kau harus mengantarku pulang."
Mendengar itu mata Adrian sedikit melebar.
"....Apakah kau tidak senang berjalan denganku?" Tanyanya. Wajahnya memasang ekspresi sedih.
Arlyn diberi pertanyaan itu langsung mengerutkan alisnya. "Kenapa kau bertanya begitu?"
Bahu Adrian merosot. Bagaimana tidak? Dia membayangkan waktu berjalan bersama dengan Arlyn. Membuatnya memiliki kesempatan untuk mengenal Arlyn yang tanpa si perempuan ketahui sudah menguasai pikiran dan hati milik Adrian.
Dia memikirkan dirinya mengunjungi beberapa tempat dengan Arlyn. Kemana, Adrian tidak tahu. Mungkin arena bermain? Bioskop? Taman mall?
Atau setidaknya waktu makan bersama. Dimana di situ Adrian bisa mengajak Arlyn berbincang. Mungkin menanyakan beberapa hal. Berbasa basi.
Tapi sekarang Arlyn mengatakan untuk pulang?
Adrian tidak bisa tidak kecewa.
Arlyn ditatap dengan mata sedih memelas itu tidak bisa tidak mengerutkan keningnya.
Orang ini, jangan-jangan.
"Kau, berpikiran untuk berkencan denganku?"
Adrian terdiam. Menerima pertanyaan itu dia merasa dirinya diselimuti rasa malu.
Arlyn, di sisi lain, bisa melihat warna merah di ujung telinga laki-laki yang lebih tinggi darinya itu.
Arlyn tercengang.
Dia memberi tawa mencemooh pendek. "Apa gunanya berkencan? Kalau kau mau mendekatiku, kau bisa melakukannya di rumahku. Tidak perlu di luar, di mall seperti ini."
Adrian melebarkan matanya.
"...Kau, membolehkanku berkunjung ke rumahmu?"
Arlyn menerima pertanyaan itu bergumam.
Dia belum pernah membiarkan orang lain bertamu. Karena dia memang tidak punya teman atau siapapun untuk membuatnya memiliki tamu.
Tapi sekarang ada Adrian. Orang yang mengaku memiliki ketertarikan dengannya, dan ingin mengenal dirinya lebih dekat.
Dia tidak berpikir membiarkan laki-laki itu bertamu akan menjadi masalah.
Dia mengangkat bahu. "Kau hanya akan berbincang denganku. Dan memandangiku terus menerus seperti sejak kita keluar dari mobil tadi."
Arlyn berujar cuek. Adrian mendengar itu dibuat terlonjak.
"...Kau sadar?"
Arlyn mendengus.
Dipandangi terus menerus seperti itu. Siapa yang tidak sadar?
Arlyn tidak merasa sepasang mata mengawasi segala pergerakannya akan menyakitinya jadi dia bersikap tidak peduli.
Tapi Adrian berpikir Arlyn tidak menyadarinya? Arlyn menganggap Adrian konyol.
"Ayo kita pergi. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini."
Arlyn bilang kalau Adrian bisa menghabiskan waktu bersamanya di rumahnya. Jadi Adrian tidak merasa pundung lagi. Dia dengan langkah tenang namun bersemangat mengikuti langkah Arlyn. Arlyn di sisi lain menertawakan perasaan yang dimiliki laki-laki itu terhadapnya.
Hanya sebuah perijinan untuk mendekat, dan mood laki-laki itu langsung membaik? Arlyn menganggapnya konyol.
Begitu mereka berdua sudah berada di dalam mobil, Adrian tersadar pada sesuatu.
"....Apakah ada orang di rumahmu?"
Adrian sudah tinggal di rumahnya sendiri. Terpisah dari orangtuanya. Membuat ayahnya dengan bahagia menghabiskan waktunya hanya berdua dengan ibunya.
Begitupun dengan teman-teman Adrian yang lain. Mereka semua sudah memiliki rumah mereka sendiri. Menggunakan rumah itu untuk menghabiskan waktu mereka bersama kekasih mereka--Adrian merasa wajahnya memanas memikirkan itu--yang mana membuat Adrian terlupa akan kemungkinan bahwa Arlyn masih tinggal bersama orangtuanya.
Arlyn di sampingnya bergumam. "Ya."
"Orangtuamu?"
"Tidak. Mereka sudah tidak ada."
Adrian terdiam.
"..Almarhum?"
Arlyn mengangguk.
Adrian hendak mengatakan 'aku turut berdukacita' tapi Arlyn mengangkat tangannya.
"Mereka sudah meninggal lama. Aku tidak butuh dukacita mu."
Adrian mendengar itu menutup mulutnya. Memutuskan untuk menanyakan hal lain.
"Lalu?"
Arlyn menjawab. "Anak-anakku."
Adrian terdiam. Matanya tak bergerak sedikitpun dari sisi wajah Arlyn.
"...Anakmu?"
Arlyn mengangguk. "Iya. Mereka habis menginap di rumah teman mereka. Jam 1 mereka pulang."
Arlyn melirik jam yang ada di layar dashboard mobil Adrian. Sekarang sudah jam 12.59. Ketika Arlyn pulang mereka pasti sudah ada di rumah.
Adrian masih kesulitan bergerak. Otaknya berkerja, dan dadanya menjadi sesak.
"...Kau sudah pernah menikah?"
Arlyn mengedikkan bahu.
Adrian terdiam.
"...Apakah suamimu di rumah?"
Arlyn menyenderkan punggungnya pada kursi yang didudukinya. "Tidak ada hal seperti itu. Hei. Ayo berangkat."
Adrian menelan ludah yang terkumpul di mulutnya. Dengan gerakan kikuk meletakkan tangannya di stir dan tuas gigi.
Perjalanan berlangsung dalam keheningan. Adrian memiliki keinginan untuk mengucapkan sesuatu tapi rasa syok yang masih belum hilang membuat lidahnya kaku.
Mereka tiba di depan rumah. Bersamaan dengan itu, tiga anak kecil berjalan beriringan ke arah rumah Arlyn. Ekspresi lucu terpasang di wajah ketiganya. Memandangi keberadaan sebuah mobil bagus terparkir di depan bangunan tempat tinggal mereka.
Arlyn membuka mulutnya. "Buka pintunya."
04/06/2022
Measly033