".....Ar, lyn?"
"What? Siapa?"
Nevan langsung menjulurkan lehernya. Memelototi sosok perempuan yang tadi dirinya tunjuk.
Perempuan itu, memang memiliki wajah yang cukup cantik. Tapi untuk membuat seorang Adrian jatuh cinta..
.....Serius?
Sahabat yang bahunya dia rangkul tiba-tiba bergerak pergi. Kakinya melangkah ke sosok perempuan bernama Arlyn. Nevan terdiam di tempatnya berdiri.
"A, Arlyn."
Arlyn menyadari seseorang menghampiri dan menyebut namanya langsung menoleh kearah kedatangan orang yang bersuara. Suara ragu-ragu itu. Arlyn familiar dengannya.
"....Kau.. Lagi?"
Arlyn menaikkan sebelah alisnya. Memberikan ekspresi terganggu. "Kau mau bilang keberadaanmu di sini hanyalah kebetulan lagi?"
Adrian terkejut dan buru-buru menggoyangkan kedua tangannya. "Tolong jangan salah paham. Aku tidak punya niatan untuk melakukan hal-hal aneh. Aku.. berencana untuk ke rumahmu lagi sore ini. Temanku.. memberi tahuku untuk membawakanmu sesuatu. Jadi kami kesini.."
Adrian dengan was was memperhatikan wajah Arlyn. Sudah siap untuk mengucapkan sesuatu lagi barangkali si perempuan masih memiliki kecurigaan.
Adrian juga, tidak menyangka dirinya akan bertemu dengan Arlyn lagi. Di sini.
"...Apakah kamu sedang berbelanja?"
Arlyn menurunkan pandangannya. Ke arah salah satu tangannya yang menggenggam barang bawaan. "Ya.. Aku mau pulang. Kau pergilah dengan temanmu."
Dia mulai menggerakkan kakinya. Namun kali ini mulut Adrian bergerak lebih cepat dari otaknya.
"Tunggu!"
Arlyn dengan dahi berkerut menoleh pada Adrian lagi.
"Apa?"
"A, Aku.." Adrian merapatkan bibirnya. "Aku akan membantumu membawa tas-tas itu."
Arlyn mencemooh. "Tidak perlu."
Perempuan itu bergerak lagi. Tapi kali ini Adrian tidak akan hanya diam lagi.
"Tolong. Tolong ijinkan aku membantumu."
Adrian menggerakkan tangannya meraih segenggam tali dari tas belanja di tangan Arlyn.
Arlyn yang merasakan tangannya tersentuh oleh tangan hangat dan besar seseorang langsung mengangkat wajahnya pada si pemilik tangan.
Pemilik tangan itu mengambil tas-tas di tangannya. Membuat genggaman tangan Arlyn kini bebas dari berat barang bawaan.
Adrian membuka mulutnya lagi. "... Bagaimana kau akan pulang?"
Arlyn menjawab cuek. "Kendaraan umum."
Adrian berujar buru-buru. "Bolehkah aku mengantarmu?"
Arlyn menyipitkan matanya. "Kau. Kenapa kau harus melakukannya? Aku tidak mengenalmu dan kau tidak mengenalku. Hanya karena kau tertarik padaku setelah kau melihatku sekali, kau ingin mendekatiku sekarang?"
Adrian merasa panik. "...A, aku, aku juga tidak tahu. Tapi aku tidak bisa menahan perasaanku. Tolong.."
Adrian mulai memohon. Arlyn yang ditatap dengan kedua mata memelas itu tidak menghilangkan ekspresi terganggunya.
Tapi,
.....Dia tampan.
Laki-laki asing ini. Di memiliki wajah yang membuatnya mudah untuk disukai semua orang.
Pakaiannya. Dan kantong belanja yang meski kecil namun menunjukkan status barang yang ada di dalamnya. Tidak sulit membuat dugaan bahwa laki-laki di hadapannya ini, yang memiliki wajah memelas ini, adalah seseorang yang memiliki banyak uang.
Dan Arlyn suka uang.
Dia mulai tersenyum.
"Kau mau mendekatiku?"
Adrian membulatkan matanya. "..Apakah boleh?"
Arlyn mengangkat bahunya. "Aku tidak punya ketertarikan untuk dekat, apalagi memiliki hubungan dengan siapapun. Tapi mendapat pelayanan antar jemput tidaklah buruk." Dia memberi seringai menggoda. "Aku tidak perlu membayar kan?"
Adrian terperangah. "T, Tentu. Kau tidak perlu membayarku. Aku tidak membutuhkan uangmu. ....Kalau ada sesuatu yang kamu inginkan, aku akan memberikannya padamu." Dia menunduk ke tangan kirinya. Dimana tiga kantong kecil berisi barang pilihan Nevan terjinjing. "I, Ini. Ini untukmu."
Dia hendak memberikan ketiga kantong di tangan kirinya itu namun kemudian tersadar dan langsung dengan kikuk menggunakan tangan kanannya agar dia bisa menyerahkan ketiga kantong itu dengan kedua tangannya.
Arlyn menaikkan alisnya. Mengernyit bingung. "Ini untukku?"
"..Ya.."
Arlyn dengan acuh meraih pemberian Adrian dengan tangan kirinya yang kosong.
Adrian merasa senang melihat si pujaan hati menerima pemberiannya. Perempuan cantik itu mengintip isi di dalam ketiga kantong dan langsung memiliki dugaan bahwa isinya adalah perhiasan yang, pastinya mahal.
"Aku tidak butuh ini." Ucap Arlyn dengan kerutan di kening. Dia menjulurkan ketiga kantong itu kembali pada Adrian.
"...Ya?.."
Arlyn menatap si laki-laki tepat di mata. "Aku tidak suka memakai, benda seperti ini. Ambil lagi saja."
"...."
Adrian dengan kikuk mengambil kantong di tangan Arlyn.
Arlyn yang sekali lagi tangannya kosong menggerakkan tangan itu hendak meraih kembali tas-tas miliknya di tangan Adrian. Tapi Adrian menyadari itu dan langsung dengan kikuk menjauhkan tas-tas di genggamnya dari tangan Arlyn.
"Tidak. Biarkan aku membawanya. ...Aku akan membawamu ke mobil."
Arlyn menaikkan alisnya. "Kalau begitu bawakan yang ini juga."
Dia menjulurkan tangan kanannya. Menunjukkan tas-tas yang sama banyaknya. Adrian tanpa keraguan mengambil mereka dari tangan Arlyn. Membuat kedua tangannya penuh dengan barang bawaan, sedangkan Arlyn terbebas dari tali-tali tas.
Arlyn merasa puas. Tangannya mulai sakit membawa benda-benda itu. Sekarang tangannya benar-benar bebas dan ringan.
Dia memandangi wajah Adrian. Meneliti apakah si laki-laki terganggu dengan barang-barang di tangannya atau tidak. Tapi tidak. Wajahnya memberikan kesan kikuk. Yang dirasa lucu bagi Arlyn. Tapi dia tidak terlihat terganggu sama sekali. Seolah beban-beban di tangannya itu bukanlah apa-apa baginya.
Arlyn juga tidak peduli. Jika Adrian menolak untuk mambawakan barang-barangnya, maka Arlyn hanya perlu mengambilnya kembali.
"Apa kita bisa pergi sekarang?"
Arlyn bertanya. Adrian terlihat terkejut sedikit sebelum menjawab.
"Ya. Aku akan mengantarmu." Dia memberi senyum tulus.
Arlyn melihat itu, terdiam sebentar, sebelum langsung melangkahkan kakinya kearah eskalator supaya mereka bisa pergi ke area parkir mobil mall.
"H, Hei."
Nevan, muncul begitu Adrian sudah hendak mengikuti Arlyn menuruni eskalator.
"..Van.."
Adrian terperangah dengan dirinya yang melupakan keberadaan temannya.
Nevan, dari tempatnya tadi, bisa melihat bagaimana perempuan bernama Arlyn itu menolak pemberian temannya. Perhiasan pilihannya. Dengan harga jutaan rupiah.
Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia lihat. Tapi apapun itu, sekarang Nevan merasa senang untuk Adrian, dan akan mendukung laki-laki itu dengan sepenuh hati.
"Pergilah. Antar dia pulang. Aku bisa kembali dengan taksi." Ucapnya dengan senyum lebar.
Dirinya pergi dengan mobil milik Adrian. Jika Adrian pergi, maka Nevan tidak punya kendaraan untuk kembali. Dia bisa saja menumpang dengan Adrian. Tapi, tentu saja tidak.
Temannya akan berduaan dengan pujaan hatinya. Nevan bukanlah orang bodoh yang akan menghancurkan momen mendebarkan tersebut.
Adrian mendengar ucapan temannya memasang senyum kecil. Dia langsung membalikkan tubuhnya, melihat Arlyn tidak lagi ada di area pandangannya.
Dia sudah turun dari eskalator. Dia keluar dari area ber-AC dan melihat Arlyn berdiri di pinggir area tempat parkir, dengan dua tangan terlipat di depan dada.
Dia menyadari kedatangan Adrian.
"Oh. Kau datang?"
Adrian meminta maaf. "Maaf membuatmu menunggu. Temanku-"
Arlyn memotongnya dengan menggoyangkan tangannya. "Aku tidak peduli. Sekarang tunjukkan saja yang mana mobilmu."
Adrian menutup mulutnya. Mengangguk menurut, dan membimbing Arlyn ke tempat mobilnya terparkir.
Mobil Adrian adalah sebuah sedan putih bermerk terkenal yang juga berharga mahal.
Arlyn melihat pemandangan di depannya dengan alis terangkat.
"..Ini mobilmu?"
Adrian mengangguk ragu. "Ya.."
Dia memandangi Arlyn cemas. "..Apa kau tidak suka?"
Di luar dugaannya perempuan yang memegang hatinya itu membuat bentuk mulut mencemooh.
"Buka saja pintunya."
Adrian mendengar itu langsung buru-buru meraih tombol kuncinya. Setelah kesulitan dengan tas-tas di kedua tangannya.
"A, ...Aku akan meletakkan ini dulu."
Dia memandangi Arlyn. Perempuan itu menaikkan alisnya. Memberi persetujuan.
Adrian langsung menghampiri bagasi. Memindahkan tas-tas ditangannya kedalam sana.
Begitu dia menutup kap bagasi, dia melihat Arlyn tidak lagi ada di tempatnya barusan.
Dia dengan ragu membuka pintu stirnya, melihat Arlyn sudah duduk di kursi penumpang di sebelah penyetir.
Arlyn melihat Adrian tidak kunjung duduk di kursinya membuka mulutnya cuek.
"Kau tidak mau aku duduk di sebelahmu? Kau ingin aku duduk di belakang?"
Adrian menjawab buru-buru. "Tidak! Kau bisa duduk di situ."
Arlyn tentu tidak tahu bahwa Adrian justru senang Arlyn memilih duduk disampingnya. Adrian merasa hatinya menghangat. Dia langsung duduk di kursi stirnya, menyalakan mesin mobil, dan mengendarai mobilnya menuju area luar mall.
Arlyn hanya diam si sepanjang perjalanan. Begitupun Adrian yang terlalu bingung dengan hal apa yang harus dia katakan.
Mereka tiba di depan rumah Arlyn. Adrian langsung keluar dari mobil, menghampiri pintu Arlyn, dan membuka pintu itu tepat ketika Arlyn hendak menggerakkan tangannya.
Arlyn melihat wajah Adrian dari duduknya. Laki-laki itu adalah pria tinggi, bertubuh proporsional, dan memiliki wajah yang enak dipandang mata.
Sebuah tangan terjulur kearah Arlyn. Hendak membantunya keluar dari dalam mobil. Tapi Arlyn mengabaikan uluran tangan itu, dan keluar sendiri.
"Hei."
Adrian mendengar Arlyn bersuara. Perempuan itu meliriknya.
"Beritahu aku namamu."
Adrian tidak menyangka Arlyn akan menanyakan itu. Dia hampir menjawab buru-buru tapi dia berhasil mendapatkan pengendalian dirinya.
"Adrian."
Dia tersenyum lembut.
Arlyn diam dengan wajah datar sebelum tersenyum miring.
"Well, Adrian. Terimakasih sudah mengantarku pulang. Kau bisa kembali ke, kemanapun kau mau."
Hari ini hari kerja. Laki-laki bernama Adrian itu juga mengenakan pakaian rapih. Arlyn menduga laki-laki itu akan kembali ke kantornya.
Adrian terdiam sebentar, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk berkata.
"...Apakah aku boleh mengunjungi rumahmu kapan-kapan?"
Arlyn menaikkan alisnya. "Untuk apa?"
Adrian menundukkan wajahnya. Memaksa dirinya untuk mengungkapkan perasaannya. Dia tidak mau menyembunyikan perasaan dihatinya. Dan tidak punya niatan untuk menyembunyikannya.
"....Aku ingin menjadi lebih dekat denganmu. ...Aku ingin mengenalmu." Dia mengangkat wajahnya. Netranya memandang Arlyn memelas. "Bolehkah?"
Arlyn tercengang.
Tapi kemudian dia teringat. Laki-laki di depannya ini adalah seseorang yang memiliki banyak uang. Arlyn bisa memastikan itu.
Dia suka uang. Jadi,
Kenapa tidak?
Dia mulai tersenyum.
Adrian kembali dibuat terpana oleh senyum itu.
"Baiklah. Lakukan apa yang kau mau." Dia teringat dengan barang yang tadi diberikan Adrian padanya. "Tapi jangan bawa apapun."
Adrian terdiam. "....Baiklah. Aku mengerti." Dia merasa hatinya melega.
"Terimakasih."
Dia sungguh-sungguh dalam mengatakan itu. Dia berjanji pada dirinya sendiri. Kesempatan ini. Dia tidak akan membuatnya sia-sia.
Dia akan membahagiakan Arlyn.
Apapun yang Arlyn mau, dia akan memberikannya.
Arlyn menerima ucapan terimakasih itu hanya mengedikkan bahu. "Berikan barang-barangku."
"A, Ah. Ya."
Adrian langsung menghampiri bagasi. Mengeluarkan semua barang di dalamnya. Kecuali tiga kantong kecil tadi.
Dia kembali ke hadapan Arlyn. "Aku akan membantumu membawanya kedalam."
Arlyn memasang senyum. Tidak sadar dengan efek apa yang telah dia berikan pada si laki-laki. "Lakukan apa yang kau mau."
Adrian mengikuti Arlyn ke dalam pekarangan rumah perempuan itu. Arlyn membuka kunci pintu rumahnya, dan mempersilahkan Adrian masuk.
"..Permisi." Adrian mengucap salam canggung. Dia menginjakkan kakinya ke dalam rumah Arlyn.
"Letakkan mereka di sana."
Arlyn menunjuk sebuah sofa. Adrian mengikuti petunjuknya dan meletakkan semua tas di tangannya di sana.
Adrian agak terkejut dengan isi rumah Arlyn.
Dapur begitu masuk kedalam rumah?
Begitu seseorang masuk, mereka akan disambut dengan sofa dan meja. Lalu dibalik salah satu sofa, ada meja dapur. Lalu, kitchen set, dan kompor.
Dapur yang kecil. Dan rumah yang, menarik.
"Apa kau akan pulang sekarang?"
Adrian langsung menoleh pada Arlyn yang menyenderkan tubuhnya pada dinding dengan tangan terlipat.
"...Arlyn. ..Apakah aku boleh mengajakmu pergi besok?"
Arlyn terkejut terhadap pertanyaan tiba-tiba itu. "..Besok? Kemana?" Dia merasa waktu yang diminta terlalu mendadak.
Adrian menjawab. "Kemanapun kamu mau."
Adrian hanya ingin menghabiskan waktunya bersama Arlyn di waktu pekan besok. Dia ingin mengenal Arlyn. Semua tentang perempuan itu. Dia ingin tahu. Dan dia tidak bisa menahan keinginannya.
Arlyn bergumam.
"Kalau begitu bawa aku ke mall tadi lagi."
Adrian reflek menaikkan alisnya. "Mall tadi?"
Arlyn mengangguk yakin. "Ada yang mau kubeli." Dia tersenyum licik. "Kau bilang kau akan memberikan apa yang aku mau. Membelikanku sesuatu tidak akan menjadi masalah kan?"
Laki-laki di hadapannya ini adalah orang kaya. Sedikit uang tidak akan menyakitinya.
Lagipula dia sendiri yang bilang mau mendekatinya. Arlyn akan memanfaatkan itu. Jika suatu saat, atau, laki-laki bernama Adrian itu tiba-tiba memutuskan untuk pergi, tersadar bahwa Arlyn bukanlah orang yang baik untuknya, maka dia bisa pergi. Dan Arlyn akan kembali pada rutinitas biasanya.
Adrian mengedipkan matanya. "Y, Ya. Apapun. Aku akan membelikannya untukmu."
Adrian tersenyum senang. Selama itu bisa membuat Arlyn membiarkannya berada di dekatnya, maka Adrian akan melakukannya.
04/06/2022
Measly033