Pagi ini aku merasa ada yang aneh, kenapa tidak ada suara bising Mama yang membangunkan batin ku dalam hati. Ah..iya aku lupa, bukannya semalam Mama baru saja meninggal. Tiba - tiba saja air mata ku kembali mengalir, aku masih belum siap menghadapi kenyataan jika saat ini Mama benar - benar sudah meninggalkan ku.
Aku duduk di tepi ranjang dengan mata sembab dan wajah yang ku rasa sangat kacau, karena semalaman ini aku tidak dapat tidur. Aku menatap nampan yang masih berisi makanan lengkap dengan lauknya, karena memang belum ku sentuh sedikit pun. Itu adalah makanan yang di bawakan oleh Ambu untuk makan malam tadi, tapi aku tak menyentuhnya karena benar - benar sedang tidak ada selera bahkan bergerak dari posisi ku yang meringkuk saja sangat enggan.
Ceklek
Ambu kembali datang membawakan segelas susu dan roti, ada juga sepiring nasi goreng yang lengkap dengan terlor ceplok di atasnya.
"Neng...makan ya, ini Ambu bawa kan sarapan" ucap wanita dewasa tersebut sambil meletakkan di atas meja.
Kemudian dia datang menghampiri ku dan mengusap rambutku yang berantakan, "Ambu tau Eneng masih sedih, Ambu juga sedih tapi Neng jangan sampai berlarut - larut nanti Neng malah sakit. Ambu jadi tambah sedih kalau lihat Neng Zia kaya gini" ucap wanita dewasa tersebut sambil mengusap rambutku, aku menatap matanya yang sudah ber air.
Aku memeluk pinggang Ambu yang sedang berdiri di hadapan ku sembari kembali terisak."Ambu...hiks...hiks...., Zia belum siap kehilangan Mama. Kenapa Mama gak bawa Zia pergi" ucap ku sambil menangis, wanita dewasa tersebut mengusap punggung ku lembut.
"Sssstttt...jangan bilang seperti itu Neng, Nyonya Alisha pasti sedih mendengarnya. Neng harus kuat ya, Neng harus belajar yang rajin biar Mama bangga sama Eneng, kan Nyonya pengen lihat Neng Zia ikut olimpiade" ucap Ambu memberiku semangat, aku ingat dulu Mama pernah bilang dia sangat bangga pada ku karena nilai ku tak pernah jelek.
Kata Mama jika ada olimpiade sains Mama ingin aku ikut karena dia dulu waktu remaja sangat ingin tapi tak kesampaian karena Mama gugur di seleksi sekolah.
Aku mengurai pelukan ku, kemudian mengusap pipi ku yang basah.
"Terima kasim Mbu" ucap ku lirih, wanita dewasa tersebut mengangguk sambil tersenyum.
Kemudian dia menarik tangan ku untuk duduk di sofa, "Ambu suapin ya, biar makannya habis" ucapnya, kemudian langsung menyendokkan makanan tersebut ke mulut ku.
Aku mengunyah makanan tersebut dengan malas, bukan karena tidak enak tapi karena perasaan ku yang masih sedih. "Eneng harus bangkit, gak boleh sedih terus. Nyonya pasti sudah tenang di sana, dan dia juga ingin Neng Zia hidup bahagia di sini" ucap nya lagi, aku pun hanya tersenyum hambar.
Setelah makanan ku habis, Ambu pamit keluar membawa nampan yang sudah kosong dan nampan yang masih berisi makanan tadi malam. Aku pun melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, kali ini aku benar - benar mandi hingga bersih.
Hanya butuh waktu sepuluh menit aku sudah selesai, dan langsung menuju walk in closet untuk mencari pakaian. Setelah berpakaian dan rapi, aku kembali duduk di sofa dan menatap kosong ke depan.
Tok..tok...tok
Ku dengar pintu kamar ku di ketuk, aku berjalan menuju pintu. Ternyata Kak Azam, "Kakak mau ke makam, apa kamu mau ikut?" aku mengangguk.
"Ya sudah siap - siap ya, Kakak tunggu di bawah" Kak Azam langsung meninggal kan kamar ku setelah menyuruh ku untuk bersiap.
Aku pun bersiap, setelah siap aku turun ke bawah menemui Kak Azam, ku lihat Kak Azam sedang duduk di ruangan keluarga bersama Papa.
"Sudah siap?" tanya Kak Azam begitu melihat ku.
"Sudah Kak"
"Kalian mau kemana?" tanya Papa, aku mengerutkan kening 'apa Papa tidak ikut' gumam ku dalam hati.
"Aku mau ajak Zia ke Makam Mama Pa, Papa Ikut?" tawar Kak Azam.
"Kalian berdua saja, Papa nanti sore saja minta antar sama supir" ucap nya.
Kemudian aku dan Kak Azam pun berpamitan dan meninggalkan rumah dengan menggunakan motor sport milik Kak Azam yang memang ada di rumah ini.
Tak butuh waktu lama, motor sport biru metalik dengan list putih milik Kak Azam sudah sampai di kawasan TPU Keluarga tempat peristirahatan terakhir Mama.
Begitu sampai di depan makam Mama, aku berjongkok dan diikuti oleh Kak Azam. Aku mengusap batu nisan yang ada di bagian ujung makam, "Ma....Zia datang, Mama baik - baik aja kan?" ucap ku lirih.
"Mama pasti baik - baik aja" ucap Kak Azam yang menjawab pertanyaan ku seraya mengusap punggung ku pelan. Aku pun kembali menangis, Kak Azam merangkul pundak ku sambil di usap pelan.
"Ma...Zia rindu Mama, hiks...hiks..."
"Sudah... tidak baik bersedih terus, bagaimanapun kita harus ikhlas. Karena cuma itu yang bisa kita lakukan sekarang" ucap Kak Azam menguatkan.
Hampir tiga puluh menit kami berada di makam setelah selesai kami pun kembali menunggangi motor sport milik Kak Azam, tapi sepertinya jalan yang di tempuh bukan menuju ke rumah. Tapi bibirku tetap enggan untuk bertanya alhasil aku hanya diam saja di belakang Kak Azam.
Hampir sekitar tiga puluh menit berkendara motor Kak Azam berhenti di sebuah taman.
"Kita ngapain ke sini Kak?" tanya ku akhirnya.
"Gak apa - apa, Kakak cuma pengen ngajak kamu kesini aja" ucap nya sambil melepas helm full facenya.
Kak zam menarik tangan ku agar mengikuti langkahnya, aku pun hanya menurut. Kami duduk di sebuah kursi yang ada di sini, sambil menghadap ke sebuah danau.
Di taman ini biasanya ramai orang yang berdatangan untuk berolah raga atau sekedar menghabiskan waktu bersama keluarga, tapi karena ini masih siang jadi tidak terlalu ramai orang hanya ada beberapa saja.
"Kamu mau ice cream?" Tanya Kak Azam.
"Boleh" ucap ku, terlihat Kak Azam menyunggingkan bibir nya tersenyum kemudian bangkit menuju gerobak ice cream di pinggir taman.
Tak lama Kak Azam kembali dengan membawa dua buah ice cream di tangannya, yang satu di berikan pada ku dan yang satu nya untuk dia, aku pun mulai menikmati ice cream tersebut.
"Kamu masih ingat gak dulu kamu sering sekali minta di ajak main ke sini setiap pulang sekolah" ucap Kak Azam, mengingat dulu setiap menjemput ku pulang dari sekolah pasti aku merengek minta di bawa main ke taman ini karena jika sudah sampai di rumah pasti Papa tidak mengizinkan ku untuk keluar rumah lagi.
"Iya dan dulu Kak Azam pernah di hukum Papa, karena terlambat bawa aku pulang ke rumah" ucap ku yang mulai mengingat dulu Papa pernah memukul Kak Azam pakai ikat pinggang karena terlambat membawa ku pulang, pasalnya aku sampai tidak jadi les bahasa inggris karena itu.
"Dan Mama yang membela Kakak hingga akhirnya Papa berhenti memukul" sambung ku lagi, dan kembali meneteskan air mata mengingat Mama yang selalu melindungi kami dari amukan Papa.
"Sudah jangan menangis lagi, ingat apa yang Kakak bilang kita harus ikhlas biar Mama tenang di sana" ucap Kak Azam sembari mengusap punggung ku, aku pun hanya mengangguk.
Kak Azam benar, aku harus ikhlas karena menangis terus juga tidak akan mengembalikan Mama lagi. Kami pun menikmati ice cream sampai habis, setelah itu kami kembali pulang menuju rumah.