Banyu sempat terhenyak dengan panggilan yang Dipta sematkan padanya. Tidak lama karena setelah itu dia kembali terlihat tenang, seolah panggilan itu tidak berarti.
Selama ini hanya Hening dan teman-temannya yang memanggil dia abah, saat Dipta juga memanggilnya seperti itu tentu ada rasa haru.
Cucu juragannya ini sedikit angkuh dan juga sombong, tidak mudah menganggap orang lain ada. Tapi, dengan panggilan itu Banyu merasa di hargai.
Dipta mendengus lalu membuang muka, "aku gak butuh barang buangan orang lain."
Banyu tersenyum, "darimana kamu tau kalau semua yang ada di desa ini barang buangan? Kamu tau berapa yang di hasilkan desa ini setiap tahun? Abah yakin kalau kamu tau, biji matamu keluar."
Dipta gak bergeming.
Mau seberapapun hasilnya dia gak akan perduli. Dia bukan pengemis yang menerima semua pemberian orang lain. Lebih bagus lapar daripada ....
Eh ... tunggu! Lapar? Jangan lapar lah ... lebih bagus kehujanan daripada nerima harta kakeknya. Kehujanan kalo kenyang gak akan jatuh sakit.
Tapi ... kalo lapar terus kehujanan, innalillah ... pesta pora satu rumah besar tu kalo tau dia mati kelaparan. Nggak ... nggak boleh!
Dia harus dalam keadaan kenyang apapun yang terjadi. Udah cukup berapa hari lalu hampir innalillah gara-gara lapar.
Banyu duduk di sebelah Dipta, menatap jalan setapak yang lengang karena memang rumahnya jalan mentok. Satunya menuju sungai satunya menuju ladang miliknya.
Kalaupun ada yang lalu lalang pagi hari, saat anak-anak pigi sekolah dan memilih ladangnya sebagai jalan alternatif.
"Juragan mempersiapkan semua yang ada di desa ini khusus untukmu. Abah gak bohong, kalo bohong di sambar petir sekarang juga."
"Aku bukan anak kecil!" Kesal Dipta. Banyu ini ngeselin tapi ntah kenapa Dipta gak bisa besar suara. Kayanya pak Banyu ini ada khodam pengasih. Pikirnya.
Jangan heran Dipta tau darimana hal-hal mistis, pas masih sekolah dia dan teman-temannya sering gabut. Datang ke tempat angker, uji nyali tapi, pas abis maghrib nyali ciut.
Gak pernah berhasil uji nyalinya. Dan faedahnya gak ada, Dipta dan gengnya emang sengklek.
Kalo anak orang kaya lain gabutnya ngabisin uang ortu buat open table atau balap liar. Kalo Dipta dan gengnya gila cari hantu, mereka penasaran sama makhluk astral.
Kok bisa ada gitu! Mereka pengen liat.
Ah ... ingat-ingat masa sekolah rasanya pengen balik lagi. Gak ada beban pikiran, semua ngalir gitu aja. Baru enam bulan tamat sekolah, udah rindu aja.
Temen satu gengnya udah pada kuliah keluar negri, dia malah nyangkut di sini. Mungkin dia bakal jadi tukang cangkul, gitu reuni cuma profesi dia yang paling bikib monangis kejer.
'Cangkul cangkul cangkul yang dalam'
Angsat emang!
Banyu terkekeh, "Hening percaya!"
Banyu berdehem lalu melanjutkan, "tapi apa yang abah ucapin ini jujur. Juragan sangat sayang dan peduli padamu. Memang terkadang kita yang di sayang justru melihat yang sebaliknya."
Dipta masih diam seribu bahasa. Dia gak bisa liat darimana kakeknya itu sayang sama dia. Dari dulu apa yang dia mau satupun gak ada yang di turut.
Nurut kesiksa berontak dapat murka, emang susah jadi dia, gak enak. Kalo ada pangeran yang mau bertukar tempat sama dia, dengan senang hati dia ngasinya.
Gak pakek nolak.
Banyu menepuk pelan pundak Dipta sebelum bangkit, "besok dan lusa ada pasaran. Nak Dipta bisa belanja keperluan buat menyambut acara minggu nanti."
Setelah mengatakan itu Banyu beranjak, hari semakin larut dia harus tidur. Aktifvitas menunggunya besok.
"Bah ...." Langkah Banyu berhenti lalu berbalik, menunggu Dipta melanjutkan ucapannya.
"Aku gak ada uang buat belanja, dan lagi aku gak biasa pakek baju murah. Kalo emang harus datang keacara itu, aku pulang dulu ambil baju. Baju yang aku bawa, gak ada yang layak di bawa ke acara formal."
"Tubuhmu hampir sama dengan abah, pakai baju abah saja. Harganya lumayan, hadiah taunan yang kakekmu berikan. Seenggaknya gak semurah baju di pasaran."
Banyu meninggalkan Dipta dengan senyum lebar, dia tau akal-akalnnya Dipta. Anak itu pasti mau pulang kerumah dengan alasan dia yang kasi izin.
Dipta mendengus, "tau gini gue bawa lari celengan babi si Sheren sama Sandy." Sepupunya yang masih berusia lima tahun tapi, culasnya bukan main.
Kedua balita itu ada celengan babi banyak, mulai dari yang besar sampe paling yang kecil. Di curi satu pasti gak tau, isinya lumayan buat pigi dari desa ini.
Dengan uang itu bisalah dia bertahan sebulanan. Kalo dah gini, uang recehpun berharga kali rasanya.
Dia yang dulu gak sempat megang uang receh, paling kecil pecahan lima puluh ribuan. Di bawah itu, tangannya alerrgi megangnya tapi sekarang?
Rasanya uang seribupun mau di jadikan bestie. Mayan beli minuman sachet pakek es batu enak kali, di minum pas siang-siang, matahari lagi di atas ubun-ubun.
Ekspresinya pasti melebihi bintang iklan.
Mendesah pelan Dipta milih masuk rumah, udara dingin kali, gak cocok bagi jomblo kaya dia. Kecuali ada ayank, kutub selatan pun jadi hangat.
'Ayank angsat!' Geram batinnya.
*
"YA ALLAHHHHH ... DO'A HENING MASIH SAMA KAYA YANG KEMARIN. TAPI, UNTUK SEKARANG GAK BISA DI SEBUTIN DENGAN DETAIL, ADA YANG NGAMUK! ENGKAU MAHA PENGASIH LAGI PENYAYANG, KABULKANLAH DO'A ORANG TERANIAYA INI YA ALLAH ...."
Satu ....
Dua ....
Tiga ....
"Aamiinnnnnnn!" Jawab kedua orangtuanya dari luar. Senyum Hening mengembang. Inilah kenapa dia do'a dengan suara besar. Biar orangtuanya ngaminkan.
Do'a orangtua paling cepat di ijabah.
Hening mengerutkan alis, tumben anak monyet gak jadi reog. Dia mendekatkan telinganya kepapan yang menjadi batas kamar dia dan Dipta.
JEDAKKKKK ....
Hening tejengkang kebelakang, terkejut suara tunjangan papan yang cukup keras. Kepalanya terbentur semen, sakitnya gak tau bilang.
"BEDO'A GAK USAH JEMAAH KAMPRETTTTTTTT!"
Hening berdiri lalu memasang kuda-kuda, dengan sekuat tenaga dia menunjang papan pembatas, tampak lampu kamarnya bergoyang akibat getaran.
"DAJJAL GAK ADA OTAK!"
Hidung Hening kembang kempis menatap papan pembatas itu seolah itu mukanya Dipta. Sementara Dipta menggelung lagi tubuhnya dengan selimut ala kadar yang di berikan Susi.
Udara masih sangat dingin, artinya di luar masih gelap. Rumah kayu Banyu terdapat lubang angin yang banyak, hari panas pun gak perlu kipas angin.
Di luar Banyu dan istrinya hanya bisa mendesah lelah.
"Harusnya di tembok." Gumam Susi yang buat Banyu tersenyum kikuk.
Macam mana rumah kayu gini dindingnya tembok?
Hening keluar kamar sambil megangin dahinya, "bah, liat ini!"
Banyu dan Susi kaget melihat jidat Hening bendol.
"Kenapa? Sujudnya kelamaan?" Tanya Susi serius, gak ngejek sama sekali.
Hening mendengus, "anak monyet itu nendang papan, Hening kaget, nyungsep!" Matanya udah bekaca-kaca tapi, pas liat ibunya menahan tawa seketika airmata yang mau jatuh masuk balik kedalam mata.
"Ibu kok gitu? Bukannya liat gimana kondisi anaknya, malah ketawa!"
"Gimana gak ketawa, mukamu lucu kali, sumpah." Susi tertawa lepas setelah itu.
Oh ... pagi yang luar biasa.