"Mas Dimas itu kaya yang paling ganteng aja." Kesal Jani.
"Nduk." Tegur bapaknya. Jani cemberut sambil melanjutkan makannya.
"Apa yang Jani bilang bener. Emang Hening kelewatan kalo nunjukkin rasa suka. Tapi, mas Dimas gak boleh gitu, gak mikir apa bisa kena karma? Lagian Hening begitu karena di kampung ini gak ada yang lebih ganteng dari mas Dimas, coba kalo ada. Pasti mas Dimas gak bakal di lirik sama Hening." Sahut Jana kesa.
Menurutnya mas-nya itu emang kelewatan. Gak suka boleh tapi jangan ngatain. Gak mikir apa punya adek cewe dua yang mungkih aja bisa ketula akibat ulahnya itu.
"Sudah, jangan bahas Hening lagi. Dan kalian, jangan sebut nama dia di depan mas, hargai perasaannya, kita tidak tau apa yang mas rasakan, paham?"
"Paham." Sahut Jani dan Jana.
Sementara itu di dalam kamarnya Dimas mencoba menetralkan emosi yang siap meledak. Kalo udah berurusan sama yang namanya Hening, emosinya gak bisa terkontrol.
Di tambah lagi adegan gelut gadis itu dengan pemuda kota yang gak ada sopan santun tadi sore di pinggir sunge, rasanya ingin sekali dia meneriaki gadis itu dengan keras.
"Sekalinya genit sampe kapanpun pasti genit," gumamnya.
*
Sementara dirumah Hening terjadi kegaduhan silent antara Dipta dan Hening. Dalam hati saling mengumpat yang di salurkan melalui tatapan tajam keduanya.
Susi habis energi ngadepin kedua anak yang gak akan pernah akur sampe kiamat. Padahal di depan mereka udah tersaji makan malam lezat yang di masak sepenuh hati oleh chef terbaik di rumah ini, siapa lagi kalo bukan chef Susi.
Menunya, tempe bacem, sayur pucuk daun labu siam yang di rebus, sambel terasi yang pedesnya ngalahin mulut tetangga, sama yang terakhir, ikan nila goreng.
Ikan nilanya beli sama haji Mansyur yang baru bongkar kolam. Enak parah udah pasti.
"Sampe kapan kami harus nungguin kalian ribut pakek tenaga dalam?" Tegur Banyu. Kedua anak ini gak sadar kalo sedari tadi Banyu dan Susi memperhatikan keduanya yang adu gelut dalam hati.
"Hening." Tegur Banyu lagi. Di menepuk pundak putrinya dengan sayang. Udah lima belas menit sejak dia minta kedua anak ini keluar kamar buat makan malam.
Pas bertemu tatap langsung saling angkat dagu dengan tatapan tajam ngalahin penagih hutang.
"Hening gak suka sama dia. Pulangin aja, bilangbke juragan kalo Hening gak mau ngerawat dia. Mendingan ngangon lembu."
Mata Dipta melotot, "lo gak perlu ngerawat gue. Rawat aja kulit lo yang dekil itu. Sok sok an mau ngerawat orang, ngerawat diri sendiri aja gak katam (tamat)."
Hening menatap abahnya, "dengerkan? Dia ini tipe manusia yang gak tau terima kasih. Untung kita mau nampungnya." Tunjuknya.
Dipta langsung menepis kasar telunjuk Hening yang hampir mengenai hidungnya. Jelas karena itu Hening meringis kesakitan, tanpa bebab Dipta menjawab, "gue gak merasa di tampung sama lo. Keberadaan gue di sini cuma buat liburan, tau? L I B U R AN!" Dipta mengeja kata terakhir dengan penekanan yang kuat.
"Yang namanya liburan ngeluarin biaya bukab bebanin hidup orang lain!" Ketus Hening. Rasanya dia pengen kali ngeremes muka songong si Dipta.
"Berhenti atau kalian berdua gak dapat makan malam." Banyu menengahi dengan suara yang tegas. Dipta dan Hening saling membuang muka.
Dipta kesal tapi, perutnya lapar. Kalo dia pergi dari tempat duduknya, udah jelas gak makan malam. Demi apapun dia gak mau malam kelaparan itu terulang lagi.
Dan pastinya kalo itu terjadi, si Jenong bakal ngabisin nasi sama lauk. Ujung-ujungnya dia nenggak air putih sampe kembung.
Sejak malam itu dia bertekad apapun cobaannya, perut harus kenyang.
Hening mendengus lalu mengambil piring kemudian menaruh nasi dan lauk pauknya dalam skala besar. Kalah porsi kuli, udah gitu dia duduk membelakangi Dipta, pas di balik tubuh ayahnya.
Banyu hanya bisa geleng kepala, Susi? Gak usah di tanya lagi. Saking keselnya, dia no koment. Malas ikur campur prahara kedua remaja ini. Lebih bagus makan abis itu tidur, besok harus ke kebun lagi.
Dipta gak mau kalah, dia ngambil nasi lumayan banyak padahal sebelumnya dia gak pernah makan dengan porsi besar. Tapi, semenjak dirumah reot ini, napsu makannya bertambah.
Mungkin karena gak jajan sana sini, ngandelin asupan pokok ya harus kenyang sekenyang kenyangnya. Kalo gak modarrrr.
Lauk yang di masak sangat sederhana tapi, entah kenapa Dipta lahap kali makannya. Hal yang gak biasa jadi terbiasa sama dia, salah satunya makan langsung pake tangan, pas dirumahnya mana pernah dia pake tangan gini, jijik.
Tapi, pas di rumah ini mau gak mau dia harus makan pake tangan, kalo gak ya gak makan. Sebab yang punya rumah gak pernah nyediain sendok untuknya.
Ah ... satu lagi. Dipta paling gak suka terasi tapi, nagih sama sambel terasi buatan chef Susi. Begitupun dengan sayur rebusnya, buat nagih.
Maka itu Dipta ngambil lauk pauknya agak banyak, biar gak nyesel. Dia gak malu, wong yang punya rumah suruh dia makan banyak.
Makan malam berjalan lancar, sebab keduanya sibuk menikmati sajian makan malam yang enaknya gak tau bilang. Hening sampe nyeruput kuah yang ada di piring hingga tetes terakhit.
"Alhamdulillah, kenyang!" Hening mengelus perutnya yang sedikit membuncit.
"Beresin, Ning." Perintah Susi yang langsung di anggukki Hening. Mang udah jadi tugasnya membersihkan tempat habis makan, kecuali pas sarapan.
Kam Hening harus go to school.
"Den, bapak ingin bicara." Dipta yang baru nenggak habis teh anget langsung ngangguk dan berdiri. Dia berjalan keluar mengikuti Banyu, gak lupa nyenggol tempat cuci tangan, airnya tumpah, nasibnya Hening yang harus beresin.
Hening yang melihat ity meremas kuat serbet yang di pegangnya lalu melemparnya kemuka Dipta. Oh ... Dipta gak mau kalah, dia lempar balik setelah itu melangkah cepat keluar rumah sambil menunjukkan jempol ke bawah.
"Anak setan!" Desis Hening sambil menggeram. Perut baru di isi, udah buang energi. Kampret!
Mau gak mau Hening membersihkan air cuci tangan yang tumpah. Di pel pakek pembersih lantai.
*
Kini Banyu dan Dipta duduk di bawah pokok mangga yang terdapat lesehan terbuat dari bambu, adem dan tenang. Gak ada nyamuk sama sekali.
"Minggu depan pesta panen di gelar. Biasanya kakek Aden yang datang untuk menghadiri acara tapi, sekarang di gantikan Aden. Hari itu juga akan jadi hari pengenalan Aden."
"Boleh aku bilang sesuatu?" Banyu mengangguk.
"Yang pertama jangan panggil aku Aden, cukup Dipta. Dan yang kedua, aku gak ada urusan sama segala sesuatu yang kakek punya. Apa dia mau jadiin aku jongos cucu kesayangannya itu?"
Banyu tersenyum, "kalau itu saya gak tau. Yang jelas perintah juragan, segala sesuatu yang berurusan dengan tanah dan kebunnya di desa ini. Menjadi urusan anda mulai sekarang."
"Oh ... aku tau sekarang. Cucu kesayangannya itu gak mau harta yang ada di desa. Gak tau mau kasi siapa, di sedekahin sama aku? Tolong abah bilang ke juragan itu, aku ogah. Kasi aja sama orang yang membutuhkan."
"Memangnya kamu gak butuh?"