Chereads / Jodoh! Masa Gitu? / Chapter 23 - Jangan Genit Seperti Dia

Chapter 23 - Jangan Genit Seperti Dia

Rambut kedua anak itu acak adul dengan melempar tatapan saling membunuh. Jangan harap Dipta mau mengalah sama Hening, sampe bumi gonjang ganjing gak akan ngalah.

Moto hidupnya sekarang 'maju dan lawan cewe gila bernama Hening sampe merdeka'.

"Masih mau ribut? Baru habis maghrib, di langgar masih ngaji. Kalian berdia bisanya kesetanan. Macam tubuh gak pernah di ngajiin, terutama kamu, Ning!" Kesal Susi dengan mata melotot.

Dipta berdehem sambil duduk membenahi dirinya. Mana titid masih nyut-nyutan, si Hening datang dengan sepuluh jin yang merasukki. Emang cewe gila gak ada otak, pengen kali dia ngatain Hening kaya gitu tapi, belum sempat terucap sampe detik ini.

"Kok Hening! Ibu gak tau apa yang udah dia buat di sungai! Selalu gitu, gak pernah mihak Hening." Hening menghentak kesal kakinya dengan wajah cemberut.

"Hentak kaki sama orangtua? Gak ingat kalo itu salah satu ciri anak durhaka?" Susi berkacak pinggang sekarang. Dipta menatap malas keduanya.

Hari gini ancamannya masih anak durhaka? Ponakkannya yang baru berusia lima tahun gak akan percaya lagi di takutin dengan kata anak durhaka.

Apalgi cewe gila ini, harusnya bu Susi bisa upgrade ancaman. Dipta menggeleng pelan, tak habis pikir dengan ibu dan anak ini.

Tapi nyatanya yang dia liat, Hening takut. Cewe itu langsung nunduk sambil menggumamkan kata maaf, mirip anak anjing yang ketauan buat salah. Menggemaskan harusnya tapi, dimata Dipta sangat mengesalkan.

Masih terbesit dalam hatinya jorokkin Hening dalam got.

Menghela napas kasar Susi berkata sebelum balik ke habitatnya (kantor).

"Hening! Sekarang kamu balik kekamar, jangan ada adegan jambak-jambakkan apalagi sampe nendang pintu atau dinding. Rumah kita ini udah uzur, di tendang bekali-kali takutnya roboh. Mau tinggal dimana kalo rumah ini punah? Goa?"

Susi berbalik pergi sambil menggeleng kepala berkali-kali, gak habis pikir dengan dua anak yang lebih mirip anjing dan kucing. Saban hari ribut, pantang bertemu muka, pasti terjadi pembantaian.

"Heh ... urusan kita belom selesai. Jangan lo pikir gue bakal terima gitu aja sama perbuatan lo!" Hening yang udah bersiap keluar dari kamar langsung menoleh, menatap pemuda yang tingginya kaya tiang listrik dengan tajam.

"Masih kurang sakit? Ku jepit di pintu mau? Biar bengkak terus membiru. Lama-lama membusuk dan akhirnya tebuang karena sudah gak ada guna." Desis Hening sambil menatap tepat dimana benda pusaka Dipta berada.

Kaki Dipta agak gemetar, tangannya langsung tremor. Secepat kilat dia berbalik untuk menutup mata. Membayangkan ucapan Hening, seluruh saraf tubuhnya melemah.

Hening tersenyum sinis, "jangan pikir aku gak berani. Ku olah jadi makanan bebek juga bisa." Terlihat tangan Dipta mengepal kuat, dengan wajah merah padam.

'Makanan bebek katanya? Dasar, cewe psikoooooo!' Batinnya. Bulu romanyanya berdiri mendengar itu.

BRAKKKKK

Terdengar pintu kamar Dipta di banting Hening. Dipta yang sedang membayangkan tragedi itu terkejut. Jantungnya hampir copot, kakinya gemetar hebat, udah kehilangan tenaga.

"HENINGGGGGGGGG!" Jerit ibunya dari dapur yang buat Dipta terlonjak kaget sampe tersungkor. Demi Tuhan, dia gak sanggup uji nyali di pondok reot ini.

Gimana kalo titidnya benar-benar berakhir tragis!

'GAK MAUUUUYYY!!' Jerit batinnya..

"Anak monyet yang banting bu! Gitulah ... akibat di manja, jadinya ngelunjakkkkkkkkkj!" Balas Hening tepat di depan pintu kamar Dipta.

Setelah itu dia masuk kekamarnya, langsung duduk di sudut kamar. Di kamar sebelah Dipta juga duduk di temoat yang sama, mereka hanya terpisah dinding.

Hening lemas dengan sekujur tubuh gemetar, terutama tangannya yang jadi tersangka penarikkan benda bernama titid tadi. Hening menatap pias tangannya yang gemetar di luar kontrol.

'Tangan ini gak suci lagi' batinnya sedih sambil gigit ujung bantal dengan kuat. Nahan diri biar gak jerit dan meluapkan emosi kaya orang gila.

Di antara banyak makhluk yang punya titid, kok bisa titidnya anak monyet itu yang di pegangnya? Hening bergidik ngeri pas ngebayangin benda itu di tariknya dengan kuat.

'AKHHHHHHHHH' Jerit batin Hening karena masih terasa jelas bentuk dan ukurannya.

Sementara kedua anak itu meratip dan mengumpat dalam hati di kamar masing-masing. Susi mendumal sendirian di dapur sambil menyiapkan makan malam.

Kalo gak bisa kontrol emosu dengan dua itu anak, bisa-bisa dia mati muda. Kalo gak karena serangan jantung ya darah tinggi. Hening dan Dipta luar biasa menguji kesabarannya.

Sayang sih sayang tapi, gak gini juga kali ....

***

Di kediaman keluarga Bimo.

"Pak, ibu dengar cucunya juragan Bramantyo tinggal di rumah Banyu. Dia ada bilang sama bapak?" Tanya wanita cantik berpenampilan menarik khas ibu-ibu desa.

Dia Lailasari, ibunya Dimas alias istri bapaknya Dimas, juragan terkaya nomor dua di desa Suka Sari setelah juragan Bramantyo, kakeknya Dipta.

Mereka sedang di meja makan sekarang, mau makan malam, ada Dimas dan dua adik perempuannya juga. Rinjani dan Rinjana namanya, gak kembar cuma ibunya Dimas suka aja kasi nama yang mirip untuk anak gadisnya yang selisih umurnya tiga tahun.

"Sudah ... saat pertama kali anak itu datang, Banyu kasi tau bapak dan perangkat desa. Cuma belum di kenali aja, katanya pas acara di langgar nanti baru di kenalin secara resmi."

"Katanta ganteng ya pak?" Tanya Rinjani yang usianya di bawah Hening dua tahun, artinta baru kelas satu SMA. Dimas dengan adik nomor duanya terpaut usia yang lumayan jauh.

Maklum dulu ibunya niat punya anak satu tapi tujuh tahun kemudian hamil lagi, kebablasan katanya. Tapi, kok tiga tahun kemudian kebablasan lagi.

Kayanya emang sengaja.

"Jangan suka menyela, Jani." Dimas mengingatkan. Dia dalam diam menyantap makan malamnya. Kawannya yang lain ada dirumah kosong milik keluarganya yang lagi gak di sewain, disana mereka di urusin bok Darmi dan mbah Asep.

Jadi gak akan kelaparan.

Bimo terkekeh pelan, "katanya ganteng. Bapak belum pernah ketemu, anak itu tidak suka keliaran. Maklum anak kota, mana mau dia keliling desa yang menurutnya membosankan."

"Wah ... enak kali Hening tiap hari bisa mandangin dia. Itung-itung cuci mata, bosen kan liar pemuda desa yang itu-itu aja. Apalagi gak ada yang bisa ngalahin ketampanan mas Dimas, paling Bayu yang agak mendekati." Celetuk gadis dengan panggilan Jani.

Dia melihat adiknta yang baru naik kelas dua SMP, "Jana, besok kita pigi sekolah lewat depan rumah Hening yok ... kali aja ketemu pemuda kota itu!" Seru Jani yang di sambut antusias Jana.

Gadis yang baru masuk masa puber.

Laila menggeleng sambil tersenyum begitupun Bimo. Beda hal sama Dimas yang menatap tajam kedua adiknya dengan tajam.

"Jangan genit seperti dia." Jelas kata dia itu di tujukan untuk Hening.

Laila dan yang lain saling pandang, tak suka mendengar Dimas dengan cara Dimas bicara.

"Kamu itu kalau ndak suka jangan terlalu di perlihatkan. Bagaimanapun kami para orangtua punya hubungan yang baik, jangan sampai berselisih karena kalian. Kalau Hening ndak bisa dewasa, ya kamu yang harusnya dewasa secara umur kalian jauh." Tegur Laila.

Jujur dia senang dengan Hening walau agak terganggu dengan cara anak itu menyukai putranya. Tapi, selebihnya, Hening anak yang menyenangkan.

Begitupun bagi Jani dan Jana.

"Namanya juga anak baru gede, nanti kalau sudah paham sama perasaan pasti hilang dengan sendirinya. Apalagi, dia bakal lanjut sekolah jauh selesai SMA. Hem ... dan mungkin saja anak kota itu bisa mengalihkan perhatiannya terhadapmu," ucap Bimo bijak pada putranya.

Dimas ridak bergeming, dengan cepat dia menyelesaikan makan malamnya. Setelah itu dia masuk kedalam kamar tanpa mengatakan apapun.