Chereads / Maverick Davidson / Chapter 26 - Twenty Six

Chapter 26 - Twenty Six

"Kita akan kembali pagi nanti. Tidurlah," Mave mengusap rambut Valie dengan perlahan.

Gadis itu memejamkan matanya, ia belum mengantuk ngomong ngomong, "Mave," panggilnya.

"Ya?"

"Apakah Da Zera sudah meminta maaf atas apa yang sudah mereka lakukan di masa lalu?"

Mave menggeleng, membawa Valie ke dalam pelukannya seraya mengusap punggung gadis itu, "Tidak. Mereka tidak pernah meminta maaf. Bahkan aku yakin mereka tidak pernah merasa menyesal atas apa yang sudah terjadi di masa lalu,"

"Lalu mereka masih mencari masalah pada Calisto?"

"Ya, mereka masih ingin mencari masalah dengan Calisto. Mereka ingin mengambilmu dariku. Karena itu bisa memancing kemarahan mama. Mama jelas akan datang ke markas Da Zera jika mereka berhasil membawamu bersama mereka. Terlebih, Theodore Dominic sangat mempunyai obsesi berlebih padamu. Aku benci sekali padanya," jelas Mave dongkol.

Valie mengangguk anggukkan kepalanya, masih setia memejamkan mata, "Apakah mereka bisa membawaku pergi?"

"Tidak. Namun tergantung. Jika kau ingin pergi bersama mereka, tentu saja mereka bisa," balas lelaki itu santai.

Valie menggeleng ribut kala mendengarnya, tentu saja ia tidak bodoh dengan pergi bersama Da Zera, "Kau tidak pergi bersama teman temanmu Mave?"

"Tidak. Aku membutuhkan cukup istirahat supaya mampunyai cukup tenaga untuk kembali besok,"

"Mengapa begitu? Bukankah besok hanya penerbangan biasa. Kita bisa tidur di pesawat nanti," gadis itu mengerjabkan matanya beberapa kali, menatap sang kekasih dengan wajah penasaran.

Mave mengedikkan bahunya acuh, "Tidurlah Valie. Kau akan mendapat jawabannya besok,"

"Ayolah Mavieeee," Valie mulai merengek seperti bayi yang meminta permen kepada ayahnya.

Lelaki itu lantas membuka matanya, menatap sang gadis yang masih setia dalam pelukannya dengan tatapan dalam penuh akan makna, "Menikah, ingat?"

"Kau bahkan tidak melamarku," decak Valie seraya memutar matanya malas.

"Berhenti memutar matamu di hadapanku,"

"Terserah apa mauku, Mavie,"

Mave mendengus, tangannya menjulur menuju nakas sebelum membuka laci teratasnya, meraih sesuatu dari sana. Namun pandangan lelaki itu masih terfokus pada gadisnya. Valie yang cantik dengan wajahnya yang bersinar. Rambut gadis itu agak berantakan, dan Mave dengan cepat merapikannya, "Kau, cantik. Selalu seperti itu,"

"Aku tau," Valie terkekeh kecil, wajah kekasihnya memerah entah karena apa. Jarang sekali melihat Mave malu karena suatu hal. Namun yang ia rasakan kemudian adalah Mave yang meraih tangannya sebelum menyelipkan sebuah cincin di jari manisnya. Gadis itu tersenyum lebar, mengangkat jari jarinya untuk melihat cincin itu lebih jelas. Sebuah cincin silver dengan satu permata putih yang indah. Ia sangat menyukainya. Selera Mave memang tidak perlu di ragukan lagi, "Cantik sekali. Aku menyukainya, sangat,"

"Cantik sepertimu. Dan akan selalu begitu," bisik Mave sebelum mencium lama kening pujaan hatinya, "Menikahlah denganku,"

"Dasar tuan tidak romantis. Apakah aku harus bertanya terlebih dahulu baru akhirnya kau akan melamarku huh?" tuduhnya seraya terkekeh geli.

Mave ikut terkekeh mendengarnya, "Aku sengaja, menunggumu mempertanyakan hal itu. Aku yakin cepat atau lambat, kau akan menanyakannya,"

"Dasar menyebalkan sekali. Aku sudah menunggu lama untuk ini," Valie mencebikkan bibirnya kesal. Mave si menyebalkan itu, akan selalu bersikap menyebalkan di segala situasi.

"Yang terpenting kau sudah mendapat apa yang selama ini kau inginkan bukan?"

"Ya, kau benar,"

"Tidurlah,"

Valie mengangguk angguk pada akhirnya, hendak memejamkan matanya sebelum dering ponsel Mave mengagetkan keduanya.

Mave menoleh, meraih ponselnya, sebuah panggilan telepon dari Daniel, "Ada apa Daniel?" Mave mengubah posisinya menjadi duduk bersandar pada ranjang. Valie mau tidak mau mengikuti, duduk dan menjadikan dada sang kekasih sebagai bantalnya.

"Antonio dan Margareth mencoba untuk membobol ruang kerja anda Tuan," ujar Daniel dari seberang sana.

Mendengar hal itu, Valie menggeram kesal. Ia sudah benar benar nyaris habis kesabaran jika Mave tidak menahannya, "Apakah mereka berhasil Daniel?"

"Tidak tuan. Tentu saja. Namun itu sedikit menimbulkan kekacauan di mansion,"

Mave menghela napas pelan, "Biarkan saja. Urus penerbangan kita pagi besok. Kita akan kembali ke New York pukul 3. Siapkan jet pribadi,"

"Baik tuan. Di mengerti,"

Mave kemudian mematikan sambungan telepon itu. Menatap Valie yang masih memasang wajah masam, "Hey kenapa wajahmu sama persis dengan yougurt basi huh?"

"Jangan mengejekku Mave. Aku sedang kesal sekarang. Antonio dan Margareth benar benar tidak tahu malu. Bagaimana jika aku menelfon mereka?" tanyanya seraya mendongak menatap sang kekasih.

"Hey kenapa kau kesal huh? Mereka bahkan tidak berhasil menerobos pintu itu sayang. Kau tidak perlu khawatir," lelaki itu membalas disertai kekehan di akhir kalimatnya, "Kau tidak perlu mencemaskan apapun. Semuanya aman dalam kendaliku,"

"Aku kesal. Sangat kesal. Mereka paman dan bibiku. Namun mereka bersikap seolah mereka benar benar musuh terbesarku. Bukankah menyebalkan sekali. Sangat tidak tahu terimakasih saat aku membiarkan mereka tinggal di mansionmu. Aku bahkan malas sekali jika itu bukan rencana mama Mave. Mereka sungguh memuakkan," omel Valie dengan wajah memerahnya. Justru terlihat sangat menggemaskan di mata Mave.

Lelaki itu mengusap pelipis gadisnya, tersenyum menenangkan, "Tidak perlu memusingkan apapun Valie. Semuanya akan baik baik saja. Percaya padaku. Bahkan Da Zera pun tidak akan berani menyentuhmu barang satu inchi pun,"

"Kau akan melindungiku Mavie?"

"Tentu saja. Kau bisa melindungi dirimu sendiri. Namun aku yang akan menjadi pemimpin barisan terdepan untuk melindungimu. Kau tidak perlu khawatir," kata kata itu terus terucap dari bibir Mave. Seperti sihir, Valie mulai merasa lebih tenang sekarang. Setidaknya ketakutan pada entah apa pun itu berkurang.

Mave kembali membawa Valie kedalam pelukannya yang erat, "Aku ingin menelefon bibi,"

"Bsiklah jika itu yang kau inginkan," Mave mengangguk, meraih ponsel Valie yang berada di atas nakas sebelum memberikan benda itu ke pada sang empunya, "Bicaralah dengan perlahan,"

Valie mengangguk, menelefon sang bibi. Tidak lama, panggilan itu tersambunh, "Ada apa Valie kau menghubungi bibi di tengah malam seperti ini?" tanya Margareth dengan nada suara lembutnya.

Valie memutar bola matanya, berujar tanpa suata, "Pembohong yang buruk," sontak mengundang kekehan kecil dari Mave, "Apakah semuanya baik baik saja bibi? Apakah tidak ada kekacauan yang terjadi?"

"Ah kau tenang saja sayang, di sini semuanya aman terkendali. Tidak ada satu pun kekacauan yang terjadi. Pamanmu dan bibi yang mengurus semuanya di sini. Semuanya baik baik saja. Tidak perlu khawatir,"

Jawaban Margareth sontak membuat Valie menghela napas berat, "Aku harap paman dan bibi beserta Clau dan Brandon tidak mengacau di mansion Mave. Karena Mave bukanlah seorang yang bisa mentoleransi kekacauan barang sedikitpun di mansionnya. Aku tidak ingin paman dan bibi berakhir seperti yang lainnya. Mendapat siksaan yang mengertikan di bawaj tanah,"