Valie berjalan cepat menuruni tangga sontak membuat Mave di bawah sana menatap sang gadis dengan was was. Valie sangat ceroboh. Mave tahu itu, "Bisakah kau sedikit lebih berhati hati?" tanyanya seraya menggeram rendah.
Valie menggeleng polos. Gadis itu tampak membenarkan pakaiannya. Hanya dengan dress hitam tanpa lengan, dan hanya sepanjang lutut. Mave lagi lagi menghela napas, melepaskan jasnya sebelum memakaikannya pada gadis itu, "Kau dan kebiasaan berpakaianmu kadang membuatku jengkel,"
Valie terkekeh kecil, menempelkan keningnya pada rahang sang kekasih, "Kau yang paling mengerti aku, Mave. Well, aku akan pergi. Tidak masalah kalian akan menginap di sini berapa lama namun aku harap kalian tidak menimbulkan kekacauan dalam bentuk apapun," gadis itu berbalik untuk menatap Antonio, Margareth, Brandon, dan Clau bergantian. Keempatnya segera mengangguk tanpa sepatah kata.
Valie balas mengangguk, kembali berbalik sebelum melangkah cepat bersama Mave memasuki mobil.
Di kursi depan, Angela dan Daniel sudah siap. Sehingga ketika Mave dan Valie masuk, mereka segera berlalu dari mansion besar itu.
"Apakah tidak masalah membiarkan mereka tinggal dalam mansion Nona?" tanya Angela.
Valie mengedikkan bahu acuh, "Mari kita lihat bagaimana mereka mempermalukan diri. Ah bahkan mereka bisa begitu bangga memperkenalkan diri sebagai keluargaku setelah menyiksaku selama bertahun tahun. Bukankah itu sebuah ketidak-tahu-dirian?" sinisnya kesal.
"Aku bahkan tidak mengerti bagaimana kau mempunyai keluarga berwajah tebal seperti mereka," Mave mendengus, menyandarkan kepalanya pada bahu sang kekasih, "Kau tau Valie?"
"Hmm?" Valie menoleh, mengusap pelan rambut Mave.
Lelaki itu memejamkan matanya menikmati usapan itu, "Suatu saat, ketika aku ingin beristirahat, aku ingin membawamu pergi. Sejauh mungkin. Kau ingin ikut?"
"Aku akan selalu mengikuti kemana pun langkahmu Mave, tidak perlu khawatir. Aku akan selalu berada di sampingmu," Valie terkekeh kecil, menggenggam jemari pemudanya sebelum mengecupnya, "Tujuanku saat ini hanya dirimu, lantas bagaimana aku bisa hidup jika kau berada jauh dariku,"
Mave terkekeh mendengarnya, benar, Valie jelas tidak bisa berdiri sendiri tanpa dirinya. Begitu pula dengan Mave, ia tidak akan pernah menjadi apa apa jika Valie tidak berada di sisinya, "Terimakasih," gumamnya.
"Anytime, amour,"
Mave tersenyum, masih memejamkan matanya, "Pilih area parkir paling sepi Daniel, aku tidak ingin media tahu kepergianku kali ini,"
"Siap, Tuan,"
Valie memilih membuka ponselnya dengan sebelah tangan, membaca berita terbaru. Kebiasaan kecilnya. Gadis itu mengerutkan dahinya ketika menemukan sebuah artikel, "Di peluk seorang perempuan, pengusaha mega besar, Maverick Davidson di duga bantah secara halus dugaan hubungannya dengan Keylie, sang sekertaris. Berita apa apaan ini," Valie berseru jengkel, "Biar ku bunuh siapapun yang membuat artikel ini. Menyebalkan sekali,"
"Aku tahu. Menjadi pusat perhatian memang menyebalkan," Mave mendengus keras.
Valie mengangguk anggukkan kepalanya, "Terlebih jika orang orang mulai memanggil namamu dengan suara histeris mereka. Itu benar benar menjengkelkan. Aku benci mereka,"
"Bersabarlah sayang. Mereka akan mendapat akibatnya nanti jika mengusik ratuku," Mave terkekeh, mengusap lengan gadisnya, "Kau cukup diam dan menikmati," gumamnya kemudian sebelum menegakkan tubuh.
Mave membenarkan letak dasinya lalu menatap Valie, sedikit membenahi penampilan gadis itu, juga jas miliknya yang membalut tubuh Valie, "Kau tampak cantik. Apapun yang kau kenakan,"
Valie terkekeh lalu menyeringai kecil, "Aku tahu hal itu. Kau tidak perlu memperjelasnya,"
***
Valie memasuki pesawat. Kelas VIP tampak menyenangkan sekali. Ia sangat menyukainya. Gadis itu bisa bersantai dengan sepuas hati tanpa perlu memikirkan hal lain.
Mave yang berada di samping Valie menatap gadis itu nyaris tanpa kedip. Tersenyum dengan manis ketika melihat tingkah gadis itu yang sangat menggemaskan. Valerie Helen adalah gadis cantik menggemaskan yang begitu ia damba. Tidak tahu lagi ia bagaimana bisa sangat mencintai gadis itu. Walaupun kekanakan, Valie sangatlah manis dan pemberani. Gadis itu selalu bisa menempatkan apapun sesuai situasi yang tengah ia hadapi.
"Valerie Helen kau selalu tahu bagaimana cara untukku agar selalu mencintaimu," gumam lelaki itu seraya terkekeh kecil, "Kamu akan selalu bahagia bila bersamaku, tolong ingat hal itu," gumam lelaki itu.
Valie mengangguk kecil, memakan camilan yang sudah di siapkan khusus untuknya, "Aku ingin menonton 365 days,"
"Kau bercanda?" Mave mendengus keras seraya memutar bola matanya, "Film seperti itu sedikit menyebalkan bagiku. Aku tidak menyukainya,"
Valie menukikkan alisnya, menatap Mave dengan sinyal permusuhan yang ketara, "Kau ingin ku bunuh saat ini juga?"
"Ayolah sayang. Semua orang pun tahu aku tidak pernah menyukai menonton film,"
Gadis itu mencebikkan bibirnya, mengotak atik remote di genggamannya seraya menatap layar di hadapannya, "Aku akan menonton Avangers. Kau harus menemaniku,"
Mave menghela napas berat sebelum dengan enggan mengangguk dingan.
Keduanya segera terhanyut dalam film selama benerapa saat hingga dering notifikasi ponsel milik Mave terdengar, "Daniel mengirim email,"
"Bukalah," balas Valie tenang.
"Da Zera berada di sini," Mave menghela napas berat, mencoba untuk tenang dan kembali menfokuskan diri pada filmnya, "Dalam hitungan ketiga, menunduklah, satu, dua, tiga,"
Bertepatan dengan itu, sebuah peluru timah berhasil melewati mereka. Suara dor yang nyaring terdengar memekkan telinga, "Daniel bereskan mereka," seru Mave menoleh pada Daniel.
Pria itu segera mengangguk, bergegas berbalik bersama Angela menyergap pelaku penembakan. Sedangkan Mave lantas beranjak, menarik Valie berjalan memasuki toilet wanita.
"Mave kau gila? Kau memasuki toilet wanita?"
"Bukan itu poin pentingnya. Sekarang, lebih baik kau bersembunyi di sini. Aku akan mengirim pesan padamu jika seluruh situasi sudah terkendali saat ini. Jangan khawatir. Semuanta pasti akan baik baik saja. Jadi jangan panik," Mave berujar setenang mungkin. Memasukkan sebuah pistol ke dalam saku dress Valie tanpa banyak bicara, "Pelurunya penuh. Aku sudah bisa kemprediksi semuanya. Cukup gunakan semuanya jika mereka mulai mengancammu. Jangan khawatir untuk apapun. Aku di sini bersamamu. Jangan takut. Aku yakin kau pasti bisa,"
"Baiklah aku mengerti," Valie tersenyum seraya mengangguk, menepuk bahu Mave beberapa kali, "Aku percaya padamu. Jangan terluka barang sedikitpun. Aku membencinya,"
"Kau tahu aku tidak akan pernah membiarkan orang lain melukaiku selain dirimu. Jagalah dirimu,"
"Aku mengerti," Valie mengangguk.
Mave balas mengangguk sebelum berbalik. Berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Dengan depat Valie menutup pintu toilet. Gadis itu duduk di closet seraya memainkan ponselnya. Tidak, ia memantau situasi di dalam sana. Ia jelas tidak akan bisa dengan duduk dan menunggu seperti ini. Maka dari itu ia sudah menyiapkan chip super kecil yang ia letakkan pada bahu Mave sehingga ia bisa memantau situasi di luar sana dengan ponselnya. Tentu ia khawatir pada Mave, sehingga ia berbuat nekat. Entah apa yang terjadi jika Mave mengetahui apa yang sudah Valie lakukan.