Mave berjalan memasuki mansionnya dengan tatapan lurus ke depan mengabaikan keluarga Antonio yang menatapnya tanpa kedip.
Valie tampak berjalan di sisi lelaki itu. Auranya tampak begitu dominan dengan kesan congak yang begitu kental. Keduanya berhenti di samping ruang tamu. Menatap lurus ke depan sebelum menoleh dengan perlahan, Valie tersenyum miring, "Well, Tuan Antonio, apa yang anda inginkan hingga anda menyempatkan diri mengunjungi saya di sini,"
"Aku hanya ingin memeriksa kondisi keponakanku," jawab Antonio.
Valie tersenyum, bersama Mave duduk di hadapan Antonio dengan begitu berwibawa, "Sejak kapan paman peduli akan kondisiku?" tanyanya di sertai senyum miring, "Ah Angela, martini please,"
"Baik Nona,"
Valie tersenyum, mengangguk kecil sebelum kembali menatap keluarga pamannya, "Jadi paman tolong katakan apa yang kau butuhkan hingga kau menyempatkan diri diantara kesibukanmu itu untuk mengunjungiku,"
"Ah aku hanya ingin bertanya apakah kau membutuhkan teman di rumah yang besar ini karena aku pikir Clau bisa menemanimu di sini," jawab Antonio seraya tesenyum pengertian.
Valie menaikkan sebelah alisnya, menatap heran empat orang di hadapannya, "Ada total enam puluh orang di dalam mansion ini dan ku pikir, itu bukan jumlah yang sedikit. Dan lagi aku mempunyai Angela, dan Mave di sini. Aku tidak akan merasa kesepian,"
"Clau bisa menemanimu ketika Mave pergi bekerja," seru Margareth cepat.
Valie terdiam menimbang nimbang, "Well.. Mave selalu membawaku ketika dia bekerja. Atau mungkin aku akan menghabiskan waktuku untuk mengurus perusahaan yang Mave berikan untukku sehingga aku tidak mempunyai waktu untuk merasa kesepian. Tapi yah baiklah. Clau bisa tinggal di sini," finalnya mengundang senyum satu keluarga itu.
Mave melirik gadisnya, Valie jelas tengah merencenakan sesuatu. Perempuan itu jelas bukan seorang yang dapat berbaik hati kepada seseorang. Terlebih pada keluarga pamannya. Namun lelaki itu memilih bungkam. Tidak mengatakan apapun.
"Jika tidak ada yang harus di bicarakan, aku akan pergi. Aku harus mempersiapkan penerbanganku dan Mave ke Nevada. Dan aku harap kalian dapat mengerti hal itu. Kalian bisa tinggal dan bersantai di sini jika kalian mau," Valie beranjak, bersamaan dengan Mave. Keduanya berlalu menuju kamar Mave dengan cepat tanpa menoleh ke belakang.
Valie menutup kamar Mave, lalu menguncinya.
Sang empunya hanya menggeleng takjub, "Well nona. Jadi apa yang kau inginkan?"
"Aku hanya ingin tahu apa motif mereka sebenarnya," jawab Valie seraya tersenyum miring, "Sekarang biarkan aku membereskan barangmu terlebih dahulu, Tuan Mave,"
Mave mengedikkan bahunya, membiarkan Valie bergerak dengan lincah membereskan segala keperluannya selama mereka berada di Nevada nanti, "Ku dengar terjadi perubahan jadwal Mave,"
Lelaki itu mengangguk seraya membuka layar ponselnya, memeriksa seluruh pesan yang masuk, tentu tidak sedikit jumlahnya, "Kita akan pergi setelah makan malam nanti,"
"Masih ada beberapa jam untuk bersantai," balas sang gadis, masih sibuk dengan sejumlah jas serta kemeja sang kekasih, "Kau ingin aku membawa peluru? Atau granat?"
"Terserah padamu untuk granat. Dan tolong bawa banyak peluru. Para pemilik kasino di sana benar benar gila. Aku harus menangani mereka dengan cepat," ujar Mave. Masih sibuk dengan ponselnya.
Valie hanya mengangguk angguk. Membuka satu sisi lemari milik Mave yang hanya dapat si buka dengan sidik jarinya dan sidik jari sang empunya. Di dalamnya berisi sejumlah pistol, peluru, granat, dan bom. Juga beberapa senjata lain seperti pisau lipat dan mata panah, "Mave bisakah aku membawa simba?"
"Singa menyebalkanmu itu?"
"Simba adalah kucing! Kucing maine coon," seru Valie tidak terima, "Jangan samakan bayi kecilku dengan hewan buas milikmu itu,"
"Lulu bukan hewan buas," Mave berdecak, "Bahkan kucing besarmu itu sudah seukuran dengan bayi singa. Bukan salahku menyebutnya demikian,"
"Simba adalah kucing. Dan jangan pernah samakan simba menggemaskanku itu dengan Lulu singa buasmu itu. Dan kau! Bagaimana bisa kau menamai hewan buas mengerikan itu dengan nama Lulu? Demi tuhan Mave! Dia jantan," Valie mulai mengomel, matanya melotot menatap Mave yang balas menatapnya dengan sebelah alis terangkat.
"Well Valerie Helen kau yang pertama menamainya Lulu. Namanya Lucius tapi kau memanggilnya Lulu," balas lelaki itu tidak terima.
Valie terdiam, menyadari sesuatu sebelum akhirnya mengangguk, "Ah kau benar. Lucius. Itu membuatku teringat pada Draco Lucius Malfoy! Bagaimana bisa kau menamai singa menyebalkanmu itu dengan nama kekasih simpananku huh?"
"Draco Malfoy bahkan tidak akan sudi melihat wajah menyebalkanmu itu. Jadi tidak perlu bermimpi bisa menjadikannya kekasih simpanan," balas Mave tajam.
Valie berdecak. Menutup koper Mave dengan kasar. Lalu menjauhkan benda itu dari tubuhnya, "Oke Maverick Davidson kau sudah mengibarkan bendera perang hari ini. Aku benci kau,"
"Ya terserahmu,"
"Aku akan pergi dari rumah ini," Valie menghentakkan kakinya dengan keras, membuka pintu kamar Mave secara kasar lalu membantingnya hingga menimbulkan suara berdebum.
Antonio dan keluarganya yang berada di ruang tengah sontak menoleh. Senyum di wajah mereka tidak bisa untuk tidak terbit melihat keributan itu. Yah, itu yang mereka inginkan sejak awal. Perpisahan Mave dan Valie hingga Clau bisa mengisi posisi Valie saat ini.
Di sisi lain, Mave menghela napas lelah, Valie dan seluruh dramanya kadang membuatnya tidak habis pikir, "Valerie Davidson,"
"Valerie Helen," Valie membalas dari kamarnya, "Pergilah Maverick aku tidak ingin melihat wajah menyebalkanmu itu,"
"Mave,"
"Maverick,"
"Valerie,"
"Maverick,"
"Baiklah jika ini yang kau inginkan maka aku akan menjadikan singa kesayanganmu itu sebagai menu makan malam hari ini," Mave mulai mengancam. Berdiri tegak di hadapan pintu kamar Valie yang tertutup rapat.
"Simba adalah Kucing! Dan kau, bila kau menyentuh simbaku barang sehelai bulupun, aku akan benar benar membunuhmu, Maverick Davidson," Valie membuka pintu kamarnya, menatap Mave berapi api.
Maverick tersenyum tampan, "Jadi apa yang kau inginkan sayangku?" tanyanya seraya berbisik rendah.
Mendapat perlakuan seperti itu, Valie tidak bisa untuk tidak memeluk sang kekasih, "Bisakah aku membawa simba nanti?"
"Tidak,"
Valie lantas melengkungkan bibirnya mendengar jawaban Mave, "Ayolah Mave,"
"Valerie Helen,"
"Menyebalkan sekali," Valie melepaskan pelukannya.
Mave menggeleng pelan, "Ingin menonton Harry Potter and The Prisoner of Azkaban untuk sekian kalinya?"
"Baik kau selalu tahu apa yang aku inginkan," Valie tersenyum lebar, mencium kilat rahang kekasihnya, "Angela tolong siapkan camilan. Aku ingin macaron dan biskuit. Jangan lupakan susu. Aku masih punya empat jam untuk sampai di bandara. Menonton satu film ku rasa tidak masalah. Aku di kamar Mave. Ketuk saja pintunya jika camilanku sudah siap. Oh dan tolong kopi untuk Mave. Juga jelly dan permen gummy. Ah aku juga ingin coklat,"
"Baik nona," Angela mengangguk mengerti.