Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 25 - 12.03 Fadh Ainurahman (Noni)

Chapter 25 - 12.03 Fadh Ainurahman (Noni)

Aku menghela nafas lega karena Ben tidak mengikutiku lagi. Biasanya kalau permintaannya tidak dituruti, dia akan mengikuti ke mana saja dan menghantui hari-hariku. Kelihatannya kali ini dia telah berpikiran terbuka dan tidak memaksakan kehendaknya padaku.

"Pak Fadh!"

Aku terkejut ketika mendengar namaku dipanggil. Sepertinya sebagian dari diriku masih tidak terlalu yakin Ben akan menyerah dengan semudah itu jadi secara tidak sadar masih mewaspadai kehadirannya.

Aku mencari sumber suara.

Seorang wanita tengah baya, tetanggaku. Aku tidak tahu namanya karena tidak ingat pernah bertanya. Aku hanya melebarkan senyum, berusaha terlihat seramah mungkin.

"Kebetulan. Tadi rencananya saya mau mampir. Tapi karena saya masih ada perlu di tempat lain, saya berikan di sini saja," katanya terburu-buru sembari menyodorkan kantong plastik hitam padaku.

"Apa ini? Kok repot-repot?"

"Enggak repot, seadanya saja. Keponakan Bapak kemarin sudah bantu-bantu saya membersihkan kandang si Empus, jadi ada sedikit hadiah."

Keponakan, ya, aku hampir lupa kalau tinggal dengan keponakan. Dan sepertinya kadang-kadang bocah itu juga lupa kalau dirinya seorang keponakan.

"Terima kasih banyak."

"Kalau begitu saya duluan," katanya pamit dan pergi ke arah yang berlawanan.

Aku menjalani hari-hari yang nyaris sempurna. Mengajar di sebuah SMA Negri, bersosialisasi dengan banyak orang, dan memperhatikan lebih banyak lagi. Makan, minum, bercerita, tertawa, mengumbar senyum ramah. Hanya perlu bertingkah sama agar terlihat sama. Hari-hari yang tenang ini, tidak lama lagi akan berakhir.

"Fadh, sudah pulang." Bocah itu menyambutku dari teras.

"Ini!" Aku menyerahkan kantongan hitam yang tadi aku terima.

"Apa ini?" Aku mengabaikan pertanyaannya dan masuk ke dalam rumah. "Wow, apel!" Serunya kegirangan. Seperti anak kecil yang baru saja mendapat mainan baru.

Aku berganti pakaian dan bersiap-siap melatih anak-anak tim atletik. Sebenarnya mengumpulkan anak-anak tim atletik adalah tugas dari guru sebelumnya. Sesuai arahan dari Bapak Kepala Sekolah dan Bagian Kesiswaan, aku hanya melanjutkan.

"Mau pergi latihan?" Bocah itu menggigiti apelnya bak seekor tupai kecil.

"Iya," jawabku. "Noni, jangan main jauh-jauh, ya. Atau kalau bisa, main di dalam rumah saja."

"Apa itu?" Bocah itu berhenti menggigiti apelnya. Ekspresinya penuh tanda tanya dan rasa curiga.

Ini memalukan. "Aku sedang bertingkah seperti paman sungguhan, tahu!" Hening. Kemudian bocah itu tertawa terpingkal-pingkal. Ia memegangi perutnya. Apel yang sebelumnya ia gigiti jatuh dan menggelinding di bawah kakiku. "Terserahlah." Aku tidak lagi peduli.

Jam 4 kurang 10 menit, aku meluncur ke tempat latihan. Lapangan latihan hari ini berbeda. Bukan lapangan sekolah seperti hari-hari sebelumnya. Aku menggiring anak-anak untuk merasakan suasana baru, lapangan umum di pusat kota.

Sesuai perkiraan, suasana baru mampu membuat mereka lebih bersemangat. Fokus utama latihan adalah ketahanan fisik. Setelah melakukan pemanasan selama 15 menit, latihan yang melelahkan pun dimulai.

Mendorong anak-anak sampai pada batas lelahnya adalah satu hal yang kusukai sebagai guru olahraga. Bukannya aku memiliki bakat untuk menyiksa. Hanya saja, manusia baru terlihat mengerahkan seluruh kemampuannya untuk bertahan saat berada di titik ini. Meski napas telah berada di ujung leher, selama tangan dan kaki masih bisa digerakkan, mereka akan terus bergerak. Mengikuti aba-aba.

Di tengah sesi latihan, Pak Hasan dari bagian kesiswaan datang untuk membagi-bagikan minuman.

"Istirahat lima menit!" kataku di tengah napas-napas berat kelelahan 8 anak didikku.

Pak Hasan memiliki penampilan yang rapi dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Semua serba licin dan mengkilap.

Dari kacamata yang digunakan sampai garis wajah, sekilas Pak Hasan terlihat mirip dengan Alvian Putra. Tapi kesan yang ditangkap oleh mata berbeda. Pak Hasan yang dewasa, berwibawa, dan bijaksana. Sementara Alvian yang masih remaja dan sedikit introvert.

"Bagaimana latihannya, Pak?" Pak Hasan bertanya setelah aku meneguk minuman milikku.

"Lumayan. Semangat anak-anak setidaknya jadi bertambah 40-50 persen."

"Kalau begitu metode latihan di kolam berenang dua hari lagi bisa dilanjutkan." Pak Hasan berbicara dengan memasukkan kedua tangan di saku celananya. Sementara matanya sibuk mengamati ke sana-kemari, memperhatikan anak-anak yang berkumpul.

"Iya, tolong diaturkan jadwalnya," kataku sesopan mungkin. "Latihan pernapasan di kolam berenang juga sangat anak-anak butuhkan. Terutama yang diam-diam masih suka merokok."

Pak Hasan menghela napas. "Mereka bandelnya memang ampun-ampun."

Pak Hasan begitu disegani karena auranya yang berwibawa sering membuat orang lain terintimidasi. Kepala sekolah dan wakilnya bahkan tidak jarang juga ikut terpengaruh.

Tepat pukul 18.00 aku mengakhiri sesi latihan untuk hari ini. Wajah-wajah lega tampak di balik keringat anak-anak yang bercucuran. Tidak lupa aku menyarankan mereka untuk istirahat lebih awal dan merendam kaki dengan air hangat.

Pulang latihan, aku mendapati Alvian Putra tengah menyibukkan dirinya di perpustakaan daerah yang buka sampai pukul delapan malam. Ia mengelilingi rak-rak favoritnya, mengambil beberapa buku, dan memilahnya.

Alvian Putra. Sebelumnya anak itu mungkin terlalu memaksakan diri untuk membuktikan kemampuannya. Tapi kini, belajar menjadi satu-satunya hal yang paling ia nikmati. Satu-satunya hal yang ia percayai tidak akan pernah menghianati keseriusannya.

Beberapa menit sebelum jam berkunjung habis, Alvian membawa pulang dua buku bacaan bertema berat dan satu novel fantasi.

Dalam perjalanan menuju rumah, aku melihat Ilyas Rasyid berkumpul dengan teman-temannya. Meski cerita demi cerita terdengar seru, tawa demi tawa terdengar pecah, Ilyas hanya memberi tanggapan seadanya. Ia tidak seantusias sebelumnya. Terlalu banyak diam dan melamun. Ilyas bahkan diam-diam pergi dan tidak seorang teman pun menyadarinya.

Aku juga melihat Izzatunnisa yang dalam perjalanan menuju tempatnya bekerja. Langkahnya yang lambat dan berat seperti telah menjadi ciri khasnya. Dengan wajah tertunduk saat berjalan, Nisa tidak akan bisa segera sadar jika ada orang yang diam-diam membuntutinya. Atau, Nisa pasti akan menabrak orang yang mendadak berdiri di depannya.

"Pak Budiman!" seru Nisa terkejut. Ia nyaris menabrak pria itu.

Aku terus berjalan. Kini tanpa menoleh atau memperhatikan hal lain yang terjadi di sekitarku. Seperti saat seseorang terdengar berteriak marah, atau ketika suara rem dari kendaraan roda empat mendecit di telingaku. Hanya terus berjalan dan pulang.

Rumah gelap gulita ketika aku sampai. Tidak satu pun lampu yang dinyalakan. Tampaknya bocah itu benar-benar mengabaikan nasihatku dan bermain sejauh-jauhnya. Aku benar-benar seperti lelucon baginya. Apa yang kularang, justru itu yang dilakukan. Apa yang tidak kusukai, bahkan menjadi favoritnya.

Aku merogoh saku kecil di sisi ranselku untuk menemukan kunci rumah cadangan. Tapi ketika coba kubuka, pintu ternyata tidak dikunci.

"Bocah itu benar-benar ..."

Aku menghela napas. Memang tidak ada apa-apa yang bisa dicuri dari rumah ini, tapi tetap saja jika bepergian dalam waktu lama harusnya rumah dikunci. Jika tidak berhati-hati, orang lain yang akan curiga.

Aku menyalakan lampu teras lebih dulu, kemudian lampu ruangan tempatku berada.

"Astaga!" Aku terkejut karena tahu-tahu bocah itu sudah berada di sampingku. Kemudian tanpa rasa bersalah karena telah membuat orang lain terkejut, bocah ini duduk di kursi depanku.

"Fadh," suaranya terdengar lirih. Meski memandangku, tatapannya tidak tertuju padaku. Aku menangkap dengan jelas ekspresi kesedihan dari sudut bibirnya yang tertarik ke bawah. "Mereka menjijikkan."

Jijik harusnya diucapkan dengan ekspresi jijik dan bukan sedih. Aku berusaha mengerti alasannya. Meski mengerti, aku tetap tidak akan tahu seperti apa rasanya.

Noni, 13 tahun.

[]