Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 26 - 13.01 Kelakar

Chapter 26 - 13.01 Kelakar

Pak Fadh melewati kelas XI IPA I ketika mendengar suara batuk berkali-kali. Pak Fadh berhenti di depan pintu dan mencari tahu apa yang sedang terjadi.

Izzatunnisa. Mendengar suara batuk anak itu berkali-kali membuat kelas yang sebelumnya berisik mendadak tenang. Tidak terdengar suara yang lain selain suara batuk Nisa. Anak-anak yang lain mulai duduk di bangku masing-masing. Mereka terlihat semakin tidak nyaman.

Sikap waspada diaktifkan.

Beberapa anak yang berada pada barisan terdekat dari tempat duduk Nisa mulai beranjak meninggalkan tempatnya. Bisik-bisik terdengar di sana-sini. Berbagai prasangka berhambur menghujat ke dalam ulu hati Nisa.

Ketika Nisa kembali terbatuk setelah berusaha susah payah menahannya, ia memuntahkan isi perutnya. Beberapa murid perempuan memekik terkejut, jijik. Seluruh kelas menjadi panik. Beberapa anak yang ingin membantu dihalang-halangi dengan isu yang masih sama, nanti tertular.

Nisa terlihat kesakitan, kemudian ambruk di dekat muntahannya sembari memegangi perut. Tidak ada yang bersedia mendekat. Tidak ada yang membantu.

"Ada apa ini?" Guru yang bertugas mengajar datang.

"Ck!" Pak Fadh berdecak kemudian masuk ke dalam kerumunan anak-anak dan mengangkat tubuh Nisa. Memindahkannya ke UKS.

Di koridor, Ilyas dan Alvian yang membawa setumpuk buku tugas melihat Pak Fadh menggendong tubuh seseorang dengan langkah-langkah cepat menuju ruang kesehatan. Mendapat firasat buruk, Ilyas dan Alvian saling bertukar pandangan dan sedetik kemudian berlari masuk ke kelas.

"Nisa!"

Bu Mawar masih terbengong-bengong berdiri di muka pintu. Sesuatu memang baru saja terjadi. Bisik-bisik di kelas yang tidak ada hentinya, muntahan di lantai, juga pemilik bangku paling pojok sebelah kiri yang tidak terlihat di mana pun.

"Apa yang terjadi?" tanya Ilyas. Semua orang bungkam, tidak ada satu pun jawaban terdengar.

"Apa kalian semua bisu?" sengit Alvian kesal.

Alvian yang bisa mengerti apa yang baru saja terjadi, meletakkan buku-buku yang dibawanya di atas meja guru, kemudian berjalan ke arah satu-satunya lemari besar dalam kelas yang digunakan sebagai tempat penyimpanan. Karena menjadi satu-satunya orang yang bergerak, setiap mata yang ada di kelas memperhatikannya dengan lekat.

Ember dan alat pel. Alvian mengeluarkannya dari dalam lemari.

"Kamu mau membersihkan ini atau pergi melihat keadaan Nisa?" Alvian berbicara pada Ilyas yang masih berdiri mematung.

"Nisa!" jawab Ilyas seolah baru kembali disadarkan mengenai hal terpenting.

Sebenarnya Ilyas masih belum mengerti semuanya. Tapi begitu mendengar apa yang Alvian katakan, ia tidak perlu berpikir dua kali untuk mengambil keputusan. Tidak penting untuk mengerti semuanya. Yang terpenting adalah orangnya.

"Bu, saya izin ke UKS sebentar." Ilyas meletakkan buku-buku yang dibawanya ke meja yang paling dekat dengan jangkauannya dan berlari keluar.

* * * * *

"Radang, ya?"

Nisa yang sedang diperiksa hanya mengangguk. Radang yang menjangkitinya sejak beberapa hari lalu membuatnya malas makan. Setelah menjadi batuk-pilek, nafsu makan Nisa berkurang dalam jumlah yang besar. Akhirnya mag kumat. Padahal pagi tadi sebelum berangkat Nisa sudah memaksakan diri untuk makan walau sedikit.

"Sebentar, saya carikan obatnya."

Petugas UKS kembali ke mejanya yang masih berada dalam ruangan yang sama. Tidak lama kemudian kembali dengan satu keping pil di tangannya dan menyodorkannya pada Nisa. Pak Fadh yang masih menemani, mengisi air dalam gelas dan ikut menyodorkannya pada Nisa.

"Nanti kalau masih terasa sakit dan tidak ada perubahan, kita ke rumah sakit," kata petugas UKS lagi. Nisa hanya bisa mengangguk pasrah.

"Terima kasih, Bu."

"Terima kasih, Bu." Nisa mengikuti apa yang Pak Fadh ucapkan.

Petugas UKS adalah perempuan muda yang berusia 25 tahun. Selain sebagai petugas UKS, ia juga bertugas membantu guru-guru di ruang TU. Tingginya tidak lebih dari 150 senti dan mengenakan kerudung panjang. Wajahnya putih, namun ada bekas jerawat yang pernah bertakhta di sana. Meski sedikit pendiam, namun sifatnya ramah sehingga banyak disukai oleh guru dan anak-anak.

"Boleh Bapak beri saran?" Pak Fadh berkata setelah petugas UKS kembali sibuk di mejanya. "Jika ada seseorang yang marah padamu kemudian hanya diam saja, kamu pasti tidak menyukainya, 'kan?  Kamu ingin orang itu mengungkapkan apa yang di pikirannya dan alasan kenapa dia marah agar kamu tahu apa yang harus kamu perbaiki. Jika kamu ingin orang lain melakukan hal itu, hal yang sama juga berlaku untukmu."

"Ha?"

Nisa tidak langsung mengerti. Awalnya ia pikir Pak Fadh akan menceramahinya mengenai kesehatan. Makan tepat waktu, mengatur pola makan dengan baik, atau menjaga kesehatan. Karena memang seharusnya nasihat-nasihat seperti itu yang ia dengar di kondisinya saat ini. Tapi ...

Kening Nisa berkerut dalam. Tapi kemudian Nisa menyadari arti di balik nasihat Pak Fadh ketika dari luar, terdengar suara Ilyas yang sedang meminta izin pada petugas UKS untuk membesuknya.

Sore itu, ketika Nisa dan Ilyas berbicara mengenai hubungan mereka, Pak Fadh ada di sana. Nisa tidak yakin Pak Fadh mendengar apa yang mereka bicarakan karena jaraknya cukup jauh. Bahkan mungkin pembahasan pribadi seperti itu tidak penting baginya. Tidak ada tempat untuknya ikut campur dan terlibat. Dan tentu saja karena selama beberapa hari ini, meski ada kesempatan, Pak Fadh juga tidak pernah menyinggungnya.

"Apa Bapak ..." Nisa ragu untuk bertanya.

"Kenapa? Saya ... kenapa ?" Pak Fadh menangkap suara Nisa tapi tidak terdengar jelas apa yang coba anak didiknya itu katakan. Ekspresinya terlihat ragu.

"Enggak apa-apa." Nisa menggeleng. Berpikir berapa lama pun ia tidak bisa menemukan kalimat yang tepat untuk bertanya. "Terima kasih atas bantuannya," tambah Nisa tulus.

Saat yang lain menjaga jarak, saat ia merasa kesakitan dan tidak satu orang pun yang peduli, saat banyak orang dipenuhi prasangka dan segala pikiran buruk, Pak Fadh datang dan memberikan bantuan. Sama seperti Ilyas, Alvian, dan Pak Budiman, Pak Fadh sama sekali tidak ragu memberi bantuan. Nisa merasa tersentuh. Sungguh.

"Kalau begitu kamu istirahat. Saya masih ada pekerjaan." Kalimat Pak Fadh mengakhiri segala pemikiran Nisa.

Begitu Pak Fadh keluar, Ilyas masuk.

"Bagaimana? Sudah baik-baik saja?" Kalimat ketus yang Ilyas katakan memberi kesan kalau ia sedang marah. Nisa mengangguk dengan canggung. "Sakit apa?" tanya Ilyas lagi.

"Radang." Nisa memberi jeda sebelum melanjutkan. "Flu ... mag."

"Mag?!" Ilyas mengulang. Nada suaranya meninggi. "Bukannya Nisa sudah tahu kalau punya mag, kenapa masih terlambat makan? Bukannya selama ini Nisa yang selalu cerewet kalau bicara tentang kesehatan. Bukannya itu salah satu alasan kenapa Nisa rajin olahraga. Bukannya selama ini apa pun yang terjadi Nisa selalu bisa makan dengan lahap. Jangan bilang hanya karena radang, nafsu makan jadi ..."

Ilyas terdiam seketika. Ini salah. Caranya khawatir salah. Tapi ia sadar setelah mengatakan terlalu banyak hal yang seharusnya bisa ia simpan untuk dirinya sendiri.

Dengan hati-hati Ilyas memperhatikan wajah Nisa yang hanya tertunduk. Yang sama sekali tidak memprotes atau membela diri mendengar ocehan-ocehan Ilyas. Ekspresi Nisa tersembunyi. Tertutup oleh rambutnya yang panjang.

Mendadak, bahu Nisa bergetar. Ada airmata yang jatuh ke atas selimut yang menutupi kakinya.

Ini salah. Ilyas salah. Tidak seharusnya ia mengungkapkan kekhawatiran dengan kalimat-kalimat yang memojokkan.

[]