Aku memutar keran di wastafel kamar mandi. Kututup lubang pembuangannya dan membiarkan airnya terus mengalir hingga meluap membasahi lantai di bawah kakiku. Dalam satu tarikan nafas, kubenamkan wajahku ke dalam air yang semakin meluap.
5 detik, 30 detik, 1 menit.
Kubiarkan mataku tetap terbuka.
Aku masih menahan napas. Bertahan lebih lama lagi. Mengerjapkan mataku yang mulai terasa perih. Aku telah berhenti menghirup oksigen sejak lebih dari satu menit lalu dan sejauh ini aku masih merasa baik-baik saja. Aku masih bisa bertahan.
Detik demi detik terus berganti. Suara air yang meluap dan tumpah, tik-tik bunyi jam yang teredam, aku dapat mendengar semuanya.
3 menit 5 detik.
Dadaku mulai terasa sakit dan kepalaku terasa berat. Ketika oksigen berhenti masuk ke paru-paru, hal seperti ini akan dirasakan. Meski rasanya aku akan menyerah, aku tetap belum melihat bayangan kematian. Ataukah kematian memang tidak memiliki bayang-bayang seperti yang dipikirkan oleh banyak orang.
3 menit 10 detik.
Aku mengangkat wajahku dari dalam air dan menghirup oksigen cepat-cepat. Secara rakus. Jika kematian itu mudah, mungkin aku sudah mati berkali-kali sampai sekarang.
Sembari masih mengatur napas, aku melirik pergelangan tangan kiriku yang selalu tertutup lengan panjang dari pakaian yang kukenakan. Di sana, ada bekas jahitan yang cukup panjang.
Keran yang masih mengucurkan air dengan deras kumatikan. Penutup lubang pembuangan kubuka. Aku beralih menatap diriku dalam cermin. Air menitik setitik demi setitik dari wajah dan rambut bagian depanku yang basah. Mataku memerah. Inilah gambaran diriku. Aku melihatnya dengan jelas. Hidup dan masih berusaha menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.
"Alvian!!!"
Suara histeris dari Ilyas ketika aku baru keluar dari kamar mandi membuatku terkejut setengah mati.
Anak itu, kenapa jadi kebiasaan masuk kamar orang seenaknya. Bukannya aku tidak menganggapnya sebagai satu-satunya sahabat terdekatku, tapi bagaimanapun juga, setiap orang memiliki privasi yang tidak boleh diganggu. Setidaknya aku berpikir seperti itu. Dan saat ini aku merasa sangat terganggu karena Ilyas sudah seenaknya memasuki daerah kekuasaanku.
Ya, meski aku sering menumpang di rumah Ilyas seenaknya, tapi aku masuk atas izin dan pengawalan dari tuan rumah. Caraku dan Ilyas jelas-jelas berbeda.
"Kenapa kamu di sini?" tanyaku defensif.
Dengan hanya handuk yang melilit di pinggangku, aku mengambil kacamata di atas meja belajar dan mengenakan kaus abu-abu berlengan panjang juga celana yang berada di gantungan.
"Sudah jelas, 'kan karena memarku masih belum sembuh," jawab anak itu seenaknya.
Aku tidak lagi menanggapi. Sedang tidak ingin berdebat atau mengomentari segala tingkah polahnya. Aku menarik salah satu buku bersampul putih dari deretan buku-bukuku yang Ilyas komentari memiliki ketebalan tidak manusiawi. Buku yang sebelumnya belum selesai kubaca, buku Psikologi Forensik.
"Kenapa jadi begini," desah Ilyas yang duduk di lantai. Ia menjatuhkan dagunya ke atas ranjang, kemudian pipinya. Tampangnya benar-benar putus asa dan terlihat menyedihkan. "Pesanku tidak dibalas, belum lagi seharian ini Nisa terus saja menghindariku. Kalau seperti ini mana aku tahu seperti apa perasaannya. Apa sedang marah atau dia membenciku."
Aku sebenarnya tidak ingin menanggapi. Hanya ingin mendiamkan saja sampai akhirnya Ilyas lelah bercerita dan pergi dengan sendirinya. Tapi ekspresinya yang menyedihkan membuatku tidak memiliki pilihan lain.
"Bukannya kamu sendiri yang minta putus? Terus sekarang kenapa kamu juga yang merengek?" Aku berkomentar tanpa melihat lawan bicaraku.
Ilyas tidak menyahut. Itu karena kata-kataku benar. Sekarang, Ilyas pasti sedang merenungi keputusannya dan menyesali pemikirannya. Dari awal sudah kukatakan bahwa hubungan mereka tidak akan berhasil. Aku tahu itu setelah memikirkan bahwa karakter mereka sama sekali tidak cocok.
Jika orang lain menyadari keberadaan Nisa sebagai gadis yang berbeda setelah apa yang menimpa keluarganya dan diberitakan di mana-mana. Yang membuat keberadaannya lebih mencolok karena terus-menerus dikejar para pemburu dan pembuat berita, aku berbeda.
Aku bisa melihat perbedaan dalam diri Nisa dari caranya tersenyum, berbicara, dan menilai sesuatu. Aku tahu itu jauh sebelum penyakit yang menimpa keluarganya terekspos ke publik. Sebelum dia melalui banyak hal hingga menjadi Nisa yang seperti hari ini.
Gadis setipe Nisa yang telah melalui berbagai masalah dan kehilangan banyak hal kemudian menjadi sebatang kara, memiliki seseorang seperti Ilyas tidak akan membuatnya bergantung pada laki-laki itu. Menurutnya, segala sesuatu yang akan merepotkan orang lain akan membuatnya merasa bersalah. Karenanya yang bisa Nisa lakukan hanya menyimpan segala sesuatu untuk dirinya sendiri.
Gadis setipe Nisa, aku paling tahu seperti apa wataknya. Dan Laki-laki seperti Ilyas, aku lebih tahu seberapa ceroboh sikapnya.
"Aku harus bagaimana?" Ilyas berkata lirih. Jelas sedang bertanya pada diri sendiri.
Yang harus kulakukan saat ini hanya berpura-pura tidak mendengar keluhannya dan fokus pada buku yang kubaca. Membiarkannya memikirkan semuanya sendiri.
Dibanding sebuah saran, hal yang paling Ilyas butuhkan adalah berada di sebuah tempat di mana ada orang lain di dekatnya. Memang otaknya tidak akan berhenti berpikir. Ilyas pun akan tetap merenungi masalahnya. Hanya dengan ada orang lain di dekatnya, akan ada perasaan aman yang menyelimuti. Itu yang dia katakan. Meski pikirannya penuh dan kepalanya seakan mau pecah, Ilyas akan tetap baik-baik saja.
Sebuah pemikiran yang tidak masuk akal.
Tipe seperti aku adalah orang yang tepat untuk berada di dekat Ilyas. Di saat dia ingin tetap ada orang di dekatnya, ia sekaligus bisa tetap menemukan ketenangan.
Aku adalah orang yang tenang. Saat sedang fokus membaca buku, aku benar-benar akan serasa seperti menghilang dari dunia ini. Tidak lagi mempedulikan waktu dan segala hal di sekitarku.
Tapi tidak untuk saat ini. Saat ini aku tidak bisa menghilang. Fokusku tidak bisa utuh. Walau Ilyas sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, tetap saja terasa mengganggu. Ia menghela nafas terlalu sering. Membuat suara berdecak, mengentakkan kaki, memukul-mukul wajah sendiri, itu mengganggu. Keberadaan Ilyas di kamarku benar-benar merepotkan. Mengusik privasiku.
Orang setipe aku dan orang seberisik Ilyas, aku tidak menyangka kalau pertemanan kami akan seawet ini. Benar-benar sulit dibayangkan.
'Apa kamu jatuh cinta pada Nisa?'
Ketika aku teringat pada pertanyaan Ilyas, aku mendengar suara pintu tertutup dan anak itu sudah lenyap dari kamarku. Ha, benar-benar seenak jidat. Apa dia pikir kamarku itu rumahnya, bisa keluar-masuk sesuka hati.
'Apa kamu jatuh cinta pada Nisa?'
Lagi, suara Ilyas mengiang di benakku. Dengan ekspresinya yang penuh kecurigaan. Lengkap pula dengan tatapan mata yang melihat keberadaanku sebagai sebuah ancaman.
Aku tahu perasaan ini bukan yang 'seperti itu.' Aku adalah seorang realistis dan akulah orang yang mengendalikan perasaanku. Aku tahu jelas seperti apa perasaanku yang sebenarnya.
Aku yakin. Sangat!
Kepergian Ilyas membuatku semakin hanyut ke dalam bacaanku. Hanyut dan akhirnya terbawa, tenggelam meninggalkan tempatku berpijak. Suara penggorengan dari lantai bawah, suara mesin pemotong rumput Pak Rahmat tetangga sebelah, semakin lama semakin samar, dan aku jatuh pada keheningan yang hanya milikku seorang.
[]